Giana berdiri diatas podium tepat didepan cermin besar sambil menopang tubuhnya dengan malas, sudah sedari tadi Satya keluar bersama Caroline dan tak kunjung kembali. Tatapan para pegawai tempatnya mencoba gaun pernikahan itu membuatnya sedikit tidak nyaman, ditambah gaun yang dikenakannya seberat setengah dari tubuhnya.
Dia mendengar hentakan kaki dari arah pintu masuk dan melihat sosok Satya yang tengah berlari
menghampirinya, sepertinya masalah dengan Caroline sudah selesai.
"Gw datang ke sini bukan untuk dipermaluin sama istri lo, gak ada yang dalam rumus gw nikah konsep kayak gini." Suara keras Giana membuat Satya menatapnya keheranan.
Para pegawai yang lain pun menatapnya dengan tatapan yang sama, sampai designer utama memberitahu mereka untuk pergi kebelakang.
"Saya juga gak pernah menginginkan pernikahan seperti ini, kamu pikir hanya kamu yang menderita?" balas Satya dengan tatapan tajam.
Kini ruangan besar itu hanya diisi mereka berdua, dengan dihiasi suara protes yang dibalas bentakan.
"Terus? Ngapain lo bikin acara nikah gak masuk akal kayak gini?"
"Ini semua untuk Caroline, jadi jangan pernah berpikir kalo ini untukmu," cercanya dengan nada menjatuhkan.
Giana terasa terpojok saat itu juga, dia juga tahu alasan utama pernikahan mereka karena Satya mengorbankan dirinya untuk Caroline tapi bukankah dia tidak usah menjelaskannya dengan nada seperti itu.
"Wahh...," serunya setengah jengkel. "Lo benar-benar cinta yah sama istri lo itu! Semua orang bakal ngira lo cowok romantis yang mengorbankan dirinya nikah sama perempuan lain untuk istri kesayangannya." Giana bertepuk tangan seakan merayakan kata-kata Satya.
"Kamu lagi ejek saya?" tanya Satya tak mengerti dengan perkataan Giana.
"Dengar yah... Gw gak perduli sama pernikahan sialan ini, gw disini karena di tipu sama lo. Gw cuma mau kebahagiaan makanya gw melanggar prinsip gw sendiri dan bohong didepan semua orang untuk nolong penjahat kayak lo dan perempuan itu. Jadi, bilang sama istri lo itu jangan sampai merusak keinginan gw atau gw rusak semua rencana lo."
"Sudah marahnya?" tanya Satya sedikit mengejek.
Tanpa menunggu jawaban Giana dia segera berlalu setelah sebelumnya menyuruh Desainer untuk melanjutkan pemilihan gaun pernikahan Giana yang akan dia gunakan seminggu lagi.
Mengetahui kenyataannya saja membuat Giana merinding seketika, jika saja Kamran tahu dia bisa saja koma karena mendengar itu.
"Ibu Giana?" panggil desainer yang menggunakan setelan Jas dan rok serba hitam itu, di hiasi oleh syal putih di lehernya. "Sudah ada gaun yang cocok dengan seleranya? Atau mau lanjut coba gaun lain?" tanyanya dengan sopan, sepertinya kecuali pegawai lain, wanita ini tahu kalau dia dan Satya menikah bukan karena keinginan masing-masing.
"Gak usah , pakai yang pertama aja." Wajah Giana ketus sepenuhnya, mulutnya monyong Ke depan dan matanya terlihat penuh amarah.
Saat desainer itu pergi meninggalkan Giana untuk menyiapkan baju pesanannya, Giana masih berdiri di hadapan cermin dengan baju lainnya. Dia berbalik ke kiri dan kanan sembari memperhatikan baju yang dikenakannya.
"Coba aja ada yang warna hitam. Gw pake tuh gaun, seenggaknya buat ngerayain masa depan gw yang mati." Hembusan nafas berat terdengar saat Giana turun dari podium dan pergi melepaskan gaun itu dibantu pegawai lainnya.
&&&
Dengan malas dia berjalan sembari memegang gaun ditangannya, setidaknya dia bisa pulang ke rumah sakit sekarang dan bisa istirahat sambil melupakan semua rasa lelah sedari pagi.
"Cepat masuk," titah Satya yang ternyata menunggunya didepan gedung. Dia membuka pintu mobilnya saat melihat Giana mendekat padanya.
"Mau ke mana lagi?" tanyanya malas.
"Kamu harus ketemu sama keluarga saya. Saya harus memperkenalkan kamu."
Giana tak habis pikir, di mana Satya meletakkan kewarasannya? Bagaimana bisa dia membuat Giana menghadapi keluarganya di saat sebelum bertemu saja dia sudah masuk dalam daftar hitam?
"Lo itu pura-pura bego atau gimana sih? Lo gak nyadar posisi gw sekarang? Kalau gw datang dan ketemu sama keluarga lo bisa-bisa gw pulang udah jadi fosil tau!"
"Bukannya akan aneh kalau saya mau menikah tapi gak memperkenalkan sama mereka? Kita ketemu cuma sebentar dan kamu gak akan jadi fosil." tepis Satya mendengar perkataan Giana.
"Yahh terus... Kenapa gak kasih tau semua kenyataannya sama keluarga lo? Kalian keluarga kan? Bilang aja Caroline nabrak orang dan gw saksi matanya."
Satya mengendus kasar, membanting pintu mobil dan berjalan mendekat ke arah Giana.
"Kamu kayaknya belum paham juga. Yang bisa tau semua itu cuman saya, Caroline dan kamu. Selebihnya gak boleh. Tujuan utama saya untuk melindungi Caroline, kamu pikir dengan cerita semuanya Caroline bisa aman?"
"Jadi lo sekarang lagi bawa gw ke dalam masalah yang seharusnya Caroline terima?" tanya Giana dengan nada kesal, dirinya benar-benar bodoh untuk setuju. Benar kata orang-orang, bahwa orang kaya benar-benar licik.
"Bukannya itu balasan atas semua yang saya kasih ke kamu?"
Giana menggeliat kesal saat Satya tersenyum licik, tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain mengumpat pada dirinya sendiri. Dengan berat hati dia melangkah masuk kedalam mobil dan duduk di samping Satya yang tampak puas membuatnya kesal.
Dalam perjalanan Giana tak hentinya mengutuk Satya dalam hati, sesekali dia menatap wajah pria itu dengan penuh amarah dan kembali menatap keluar jendela. Perjalanan sore itu tampak sangat panjang sampai mereka berhenti di sebuah restoran yang tampak mewah dari luar.
Sesampainya di dalam terlihat dua orang wanita berpakaian mewah dan seorang laki-laki dengan setelan Jas mahal tengah duduk dan melambai kearah Satya, ekspresi mereka tampak baik-baik saja sampai Giana muncul di belakang Satya, seketika ekspresi mereka menjadi kecut masam.
Giana duduk tepat di samping Satya dan di hadapan salah satu wanita itu, Satya mulai memperkenalkan mereka pada Giana. Salah satu dari wanita itu adalah adik dari ayahnya dan lainnya adalah kakak dari ibunya beserta suaminya yang juga duduk di sana.
Giana hanya bisa tersenyum tipis karena terlalu kikuk menghadapi tatapan mereka, dia hanya bisa menelan ludah sampai salah satu dari mereka membuka suara.
"Jadi, apa pekerjaan calon istri kamu? Dia gak hamil di luar nikah kan? Atau kalian terjebak cinta satu malam makanya kalian menikah." tanya wanita itu dengan tatapan tidak suka pada Giana.
"Gak seperti itu, kami bertemu dan merasa cocok."
Mendengar jawaban Satya sontak Giana berbalik dan menatap pria itu tidak percaya, merasa cocok katanya? Mereka bahkan baru saja adu mulut beberapa saat lalu.
"Apa yang kamu sukai dari perempuan ini?"
Satya kebingunan mendengar pertanyaan itu, sesekali dia menoleh menatap Giana sambil terus berpikir untuk menemukan jawaban yang tepat.
"Dia..... terlihat lugu dan," jawabnya dengan gugup.
Giana ingin tertawa saat mendengar jawaban Satya, dalam hatinya berseru 'Lugu dari mana, bodoh kali.'
"Dia juga ekspresif dan orangnya jujur. Dia gak menyembunyikan isi hatinya," sambung Satya sembari melihat Giana yang sedari tadi memasang wajah geli padanya. Semua
'Tinggal bilang gw suka ngomel susah amat,' seru Giana lagi dalam hati.
"Dia juga sayang banget sama ayahnya, dia anak perempuan yang baik. Dia rela lakuin apa aja demi ayahnya. Saya suka cara dia menyayangi ayahnya." Kali ini jawaban Satya membuat Giana terdiam dan memasang ekspresi takjub, dari sekian jawaban yang dia berikan hanya jawaban ini yang membuatnya terkesima.
"Apa yang membuat kamu menerima pinangan Satya?" Tatapan wanita itu seketika berubah saat melemparkan pertanyaan pada Giana.
Dengan percaya diri Giana memperbaiki posisi duduknya dan menjawab, "Karena dia cinta sama istrinya."
Jawaban itu membuat yang lainnya terkejut, terutama Satya. Dia menegur Giana dengan menendang pelan kakinya sebagai tanda menyuruhnya menjawab dengan benar.
"Apa? Apa Kamu gak salah bicara?" tanya paman Satya.
"Salahnya di mana yah? Bukannya dia memang cinta sama istrinya? Jadi saya mau nikah sama dia biar bisa dapat kasih sayang yang sama."
Mereka bertiga saling menatap, sepertinya jawaban Giana membuat mereka tidak senang. Bagaimana tidak, siapapun yang mendengarnya pasti akan menganggap Giana hanya mengincar posisi Caroline.
"Kalau begitu pekerjaan kamu apa?" tanya wanita di hadapan Giana yang membuatnya kikuk, apa yang harus dikatakannya kali ini?
"Maa...nager," jawabnya dengan gugup, mata Giana dan Satya bertemu saat Giana mengatakan itu. Kini mereka sadar seharusnya sudah menyusun hal ini terlebih dahulu dibandingkan bertengkar dan adu mulut.
"Manager? Perusahaan apa itu?" tanya lelaki itu penasaran.
"Dia manager di cabang utama restoran milik saya paman," jawab Satya tidak kalah gugupnya.
Ketiga orang itu terdiam sejenak sembari kompak bersandar pada kursi, Giana dan Satya juga terdiam. Kemudian, sesaat kemudian suara ponsel Giana mengganggu keheningan itu.
Giana langsung berdiri dari tempatnya dan permisi untuk mengangkat telepon ketika melihat layar ponselnya dan terdapat nama rumah sakit di sana, dia menjawab dan mendengar bahwa terjadi sesuatu pada ayahnya. Dia benar-benar panik dan berlari mengambil barang-barang miliknya, dan berlalu begitu saja.
Baru beberapa langkah Giana menjauh Satya langsung datang dan memegang tangannya, mencegah Giana untuk pergi.
"Mau ke mana kamu?" tanya Satya dengan wajah penasaran.
"Rumah sakit baru aja nelpon, kondisi ayah gw gak stabil."
"Makan malamnya gimana?"
"Urus aja sendiri," jawabnya ketus, dia melepaskan genggaman Satya dan berlalu pergi. Dia bahkan meninggalkan gaun pernikahannya diatas kursi seolah gaun itu tidak penting.