Chereads / The last heart winner / Chapter 2 - Dua

Chapter 2 - Dua

Matahari pagi menyilaukan pandangan Giana dan membuatnya terbangun, tangannya terasa keram karena menopang wajahnya saat tertidur sambil duduk di samping ayahnya.

Dia memberikan senyuman pada sosok pria yang tengah terbaring di hadapannya itu, di temani dengan suara alat dan juga berbagai jenis selang yang terpasang pada tubuh ayahnya.

"Pagi pah," sapanya sembari tersenyum sambil sesekali meregangkan tubuhnya.

Sembari meregangkan tubuhnya ke kiri dan kanan Giana memperhatikan bagaimana pasien koma lainnya yang alih-alih diurus oleh keluarganya, justru diurus oleh para suster. Hati Giana seketika meringis jika kembali mengingat pilihan bodohnya kemarin saat ingin bunuh diri, entah beruntung atau tidak ketika dia bertemu perempuan itu kemarin yang kalau saja dia tidak bertemu pasti dirinya tidak akan ada di sini.

"Astaga…." Giana menggelengkan kasar kepalanya saat mengingat kembali kejadian pembunuhan itu kemarin, bisa-bisa memori itu membuat dirinya trauma mendekati jembatan.

Dia menyadarkan dirinya dan mulai mengambil handuk dan air hangat untuk membersihkan tubuh ayahnya, walaupun dalam keadaan koma para pasien harus tetap harus di urus mulai dari membersihkan tubuh dan mengganti popok.

Satu persatu jari tangan Kamran diusapnya dengan lembut menggunakan handuk hangat, wajahnya hanya di usap menggunakan tisu basah karenanya Giana takut alat yang terpasang pada ayahnya akan terganggu.

"Pah… tahu gak? kemarin aku ke jembatan," ucapnya sembari terus membersihkan tangan Kamran. "Trus pas aku mau lom..." Menyadari perkataannya Giana langsung menghentikan perkataannya. Walaupun ayahnya sedang koma, tidak menutup kemungkinan dia tetap bisa mendengar perkataan Giana.

"Pokoknya waktu ke jembatan aku liat ada cewek lagi dorong seseorang turun ke jembatan, padahal jembatan itu tinggi banget. Airnya dalam, keruh, arusnya juga deras. Kasian banget orang yang di dorong itu." Dia tak berhenti berceloteh, sesekali dia berpindah posisi untuk membersihkan tubuh Kamran.

"Permisi," celetuk seorang perawat yang datang menghampiri Giana.

Giana tidak menjawab, dia hanya berbalik sambil menatap pria itu.

"Keluarga pasien Kamran dipanggil ke meja administrasi, ada beberapa biaya tambahan yang harus dibayar."

"Saya akan ke sana setelah selesai." Giana memasang wajah muram saat mendengar perkataan perawat itu, baru saja kemarin dia menguras tabungan untuk biaya ayahnya. Dan sekarang ada biaya tambahan lagi?

Wajah muram itu seketika Giana ganti dengan senyuman lebar saat berbalik lagi menatap Kamran, tangannya masih gesit mengusap kedua kaki Kamran selagi berkata.

"Bapak gak perlu merasa cemas mikirin biaya rumah sakit, aku yang bakal bayar semuanya. Pekerjaan di jaman sekarang lumayan banyak . Jadi, bapak cuma harus istirahat aja, anggap ini cuti panjang bapak. Tapi, aku mohon cepat bangun kalau bapak udah puas istirahatnya." Suaranya terdengar gemetar saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Walaupun memang jaman sekarang pekerjaan sangat banyak tapi tetap saja tidak mudah untuk mendapatkannya, apalagi dengan bayaran tinggi.

Giana tersenyum saat melihat ayahnya yang terlihat bersih, setelah ayahnya sekarang harus dirinya yang membersihkan tubuhnya dan sarapan. Selain itu dia harus mengurus administrasi untuk kesekian kalinya.

&&&

Giana sibuk mengunyah sepotong roti di tangannya sembari berjalan di koridor panjang rumah sakit, menatap layar ponsel dengan serius sembari menghitung keuangan yang tersisa. Kali ini dia harus benar-benar hemat, untuk makan bisa roti saja setiap saat karena harganya murah dan untuk minum dia bisa mengambil air gratis dari rumah sakit.

Sesekali dirinya membuka puluhan tawaran pekerjaan yang sekiranya cocok untuk dirinya, mulai dari jadwal hingga gaji dari pekerjaan itu. Banyak yang dia dapatkan yang cukup baik dalam hal gaji, tapi tidak dengan jadwalnya. Rata-rata jadwalnya sampai larut malam, tidak mungkin Giana meninggalkan ayahnya sendiri di rumah sakit.

"Ayolah….. Gak ada gitu pekerjaan yang cocok buat gw? Satupun?" gerutunya sembari terus menggeser layar ponsel.

Kakinya terus saja melangkah tanpa memperhatikan jalan sedikit pun, mata Giana terlalu fokus pada ponselnya dan akhirnya dia menabrak seorang pria yang datang dari arah yang berlawanan.

"Akkkh." Refleks dia memegang kepalanya yang mengenai pundak pria itu. "Maaf gw gak sengaja," sambungnya saat menyadari orang dihadapannya itu juga terlihat kesakitan.

Roti di tangannya jatuh dengan mulus saat menabrak pria itu membuatnya mendesah kesal, padahal itu sarapan satu-satunya dan sekarang dia harus menahan laparnya hingga makan siang.

Niat hati Giana ingin langsung bergegas sesaat setelah meminta maaf, tapi pria itu justru bergerak dengan cepat dan memegang erat lengan Giana.

Sedikit tersentak Giana secara spontan melirik ke pria yang tampak dingin itu, sorot matanya yang tajam membuat Giana seketika membeku melihatnya. Dia tidak nampak seperti orang yang ramah.

"Kenapa?" tanyanya kebingungan. "Ada perlu apa? Lepasin tangan gw."

"Berapa banyak yang kamu tahu?"

"Ngomong apa sih? Kalau perlu sesuatu bilang sekarang, kalau gak Lepasin tangan gw. Gw gak ada waktu buat ladenin lo," titahnya sambil berusaha menarik tangannya, tapi cengraman pria itu jauh lebih kuat.

"Gw bilang lepas….."

Selagi Giana memberontak seorang wanita muncul dari balik tiang yang besar, dia menggunakan syal tebal yang menutupi sedikit wajahnya. Giana terpaku pada wanita itu dan memerhatikan siapa sosok itu, dia menyadarinya dan terbelalak saat itu juga.

"Looo...!! Cewek yang di jembatan itu?!" teriaknya melihat sosok wanita itu, Giana menunjuknya dengan wajah kaget yang membuat Caroline terbelalak saat melihat Giana ternyata tetap mengingat wajahnya.

"Kamu kenal dia?" tanya Satya penasaran.

"Jelas lah," jawab Giana spontan."Dia berdiri di jembatan pas malam itu, sambil dorong perempuan dari atas jembatan. Tengah malam lagi, mukanya serem banget kayak penampakan tau! Lo pembunuh yah? Yang kayak di film-film itu?" sambungnya lagi.

"Ternyata kamu benar-benar tahu semuanya," timpal Satya sambil tersenyum miring, garis bibirnya terlihat menyeramkan saat tersenyum ke arah Giana.

Giana menatap Caroline kemudian kembali menatap Satya, beberapa saat dia berpikir keadaan apa yang sedang terjadi kali ini. Apa dia mengenal wanita itu?

"Tunggu?! Kalian berdua saling kenal?!" Giana terkejut dan berteriak tepat ke arah wajah Satya. "Mau apa lo kesini? Mau culik gw? Mau bunuh gw juga?"

"Apa maksud kamu?"

"Lepasin gw, dasar kalian berdua penjahat berdarah dingin, psikopat dasar," umpatnya sembari berusaha menarik tangannya yang masih tetap berada di genggaman Satya.

"Saya perlu bicara sebentar," pinta Satya.

"LEPASIN!!" Giana sama sekali tidak mendengarkan permintaan Satya, dia tetap berusaha melepaskan genggaman Satya. "Gw bakal teriak kalau lo gak Lepasin gw, Lepasin gak? LEPAS!!!"

"DIAM!!" Bukannya berusaha membujuk Giana, Satya justru kembali berteriak pada Giana yang membuat gadis itu diam terpaku.

"Yang pertama saya bukan mau membunuh kamu dan yang kedua saya hanya mau bicara sama kamu, lagian mana ada pembunuh yang pakai baju seperti ini?" jelas Satya karena frustrasi melihat tingkah Giana yang sangat ketakutan.

Satya melepaskan tangan Giana dari genggamannya, tangan gadis itu terlihat memerah karena terus memberontak sedari tadi.

"Bisa aja lo pembunuh elit gitu, yang penampilannya mahal, mafia mungkin." Giana memandangi tangannya dan mengelusnya pelan karena terasa lumayan perih.

Satya mengendus kasar saat mendengar perkataan Giana, bisa-bisanya gadis itu berpikir demikian.