"Loh Ta? Dhita! mau kemana?" tanya Dina dengan wajah polosnya.
"Cari udara segar!" jawabnya cuek. Entah kenapa ia makin kesal aja sama tu cowok apalagi pas ada cewek yang perhatian sama dia tadi.
Apasih yang mereka liat dari cowok brengsek kayak gitu?
Melangkah lebar keluar kelas, ia permisi dengan guru pelajaran yang baru saja mau masuk ke kelasnya untuk memulai pelajaran.
Langkahnya tak menentu karena rasa kesal, dan ternyata langkah yang tak ia pastikan akan menuju kemana itu membawanya ke kantin sekolah.
Jadi ia memesan teh hangat di gelas kecil, hanya untuk mengisi sedikit waktunya yang sedang ingin menenangkan diri ini sebelum kembali ke dalam kelas.
"Jadi lo gak deket lagi sama dia? gara gara dia jadian?" dua orang siswi berjalan ke kantin sambil berbincang ringan.
"Brengsek banget kan? padahal gue pikir dia bakalan nembak gue setelah sedekat itu dua hari terakhir ini, tapi tu cewek nikung gue," suara kekesalan dari dalam hati terdengar jelas di telinga Dhita yang gak sengaja mendengar pembicaraan itu.
"Di tikung? kasian banget?" Dhita kenal siapa orang itu, tapi dia lagi males gabung aja karena suasana hati yang kurang baik.
"Tapi kan Ma, bukannya dia gak pernah akur sama pacarnya itu sebelum jadian? kenapa tiba tiba buat adegan romantis gitu di Aula kemarin ya?" itu adalah Rahma yang baru saja patah hati karena di tinggal Zayyan kemarin, dan yang sibuk bertanya ini adalah bestie nya.
"Gue juga kurang tau, eh Dhita? ngapain lo di sini?" wajah cantiknya masih sangat cemberut memikirkan kata kata Zayyan kemarin, tapi itu seketika padam saat tidak sengaja melirik ke salah satu meja yang sudah di isi dengan Dhita. Terpaksa ia berubah menjadi ramah tamah.
"Nyantai doang, bentar lagi balik kelas kok." Dhita tersenyum ramah, mereka bukan teman satu kelasnya jadi tidak ada keakraban yang berlebih di antara mereka.
"Sendirian aja? pacar lo mana?" goda teman Rahma, sebenarnya dia Cuma pengen buat Rahma sedikit lebih kesel aja, namanya bestie kan seneng liat temennya patah hati, walaupun dia ikutan sedih juga.
"Ehem, nggak." Dhita berdehem canggung, gak mungkin kan dia marah marah sama mereka, kan mereka gak tau kalau hubungan ini pun sebenarnya gak jelas.
"Gak nyangka banget ya lo nekat nembak dia kemarin, sumpah demi apapun tu kejadian bener bener viral Ta! percaya deh sama gue. Bahkan adik kelas banyak yang buat snap quote yang sedih gitu di room chat, noh termasuk temen gue ni liat aja matanya bengkak," tawa temannya Rahma pecah saat itu juga.
"Isss! apaan sih Sha!" Rahma menyenggol bahu sahabatnya yang usil itu, jujur ia malu sekarang! mana baru aja ghibahin ni orang, malah ketemu di sini. Semoga dia gak denger.
"Oh gitu, yaudah sorry ya! lagian itu Cuma salah paham kok, gue aja gak tau kalau orang yang nyelamatin adek gue waktu itu ternyata dia." Dhita menggaruk pelipisnya, padahal tidak gatal.
"Gapapa kali, moga langgeng ya!" Sasha menepuk pundak Dhita sebelum melanjutkan langkahnya ke kedai ibu kantin, ia harus mentraktir sahabatnya hari ini biar moodnya kembali normal.
"Ehh? uhuk!" Dhita yang baru saja menyeruput sisa sisa terakhir tehnya langsung tersedak dan batuk setelah mendengar doa dari Sasha.
Sha! asal lo tau gue sebenernya mau putus detik ini juga! rintihnya dalam hati.
"Lo gak apa apa Ta?" Rahma mengelus pundak Dhita begitu mendengar orang itu terbatuk hebat barusan, walaupun kesal sama ni cewek ia masih punya nurani.
Lagian ia sadar betul kalau cewek ini sebenarnya gak nikung dia, kata katanya tadi Cuma bumbu buat ghibah aja.
"Gak apa apa kok, makasih ya! gue mau balik kelas dulu." mengatur napasnya yang sempat sesak, Dhita bangkit dan memesan segelas air putih untuk menenangkan tenggorokkannya.
"Hati-hati" kata Rahma dengan wajah yang rumit, ia masih tidak percaya rival idolanya Zayyan bisa memikat Zayyan buat pacaran.
"Loh kok udah balik dia?" Sasha yang baru kembali kaget melihat kursi Dhita udah kosong, padahal dia lagi pengen ngebully bestie nya ini karena kebetulan ada pacar mantan gebetanya.
"Gatau, udah habis waktu permisi kali," jawab Rahma acuh.
Melangkah dengan napas yang tidak stabil seperti baru saja maraton 12 putaran di monas, Dhita kembali kedalam kelas.
Niat hati pergi keluar kelas untuk balikin mood malah semakin merusak mood, sepertinya ini bukan hari yang baik.
Dhita belajar dalam keadaan kesal, bahkan sampai jam istirahat Dina dan Anjani sama sekali tidak dipedulikan olehnya. Dia benar benar butuh ketenangan.
"Dhita kenapa ya? kita bujuk ke kantin dia juga gak mau." dalam perjalanan ke kantin Dina dan Anjani terus membicarakan Dhita.
"Kesel kali gara gara lo bawa bawa Zayyan tadi." Anjani mencoba menganalisa, Dhita memang udah badmood sejak kembali dari piket keamanan sekolah, tapi ia pergi dari kelas tepat setelah Dina bawa bawa Zayyan.
"Eh, Dina, Anjani. Berdua aja ni? temen lo yang satu lagi tu mana?" sambil mencubit bakwan di tangan kiri dengan tangan kanannya, Zayyan menyapa 2 sohib pacar barunya.
"Gak tau kenapa, ga mau keluar kelas," jawab Dina dengan polosnya, jujur saja kalau dia memang gak tau.
"Oh, lagi nugas ya pasti, ambis banget tu orang," Zayyan menebak, cewek itu cukup ulet dengan pelajaran jadi ngapain lagi di kelas kalau gak buat tugas.
"Oh gitu ya? emang kita ada pr apa An?" memang gak ketolong lagi polosnya Dina ini.
"Pr apa sih Dinaaa, Dhita tu Cuma lagi bete aja makanya males keluar kelas." bentar
lagi gue ikut kesel ni Din! Anjani hanya bisa bersabar.
"Bete? sama siapa? heboh banget pake bete segala." Zayyan menaikkan sekali alis tebalnya.
"Gak tau, dah ah kami mau makan dulu." kalau diladenin ngomong lebih lama bisa sakit kepala mereka, jadi Anjani langsung mencegah perbincangan panjang.
"Memangnya gue ada larang kalian buat makan?" sentil Zayyan.
"Far lo masuk kelas gak tadi?" tanya Zayyan pada Farrel, ini mata mata paling bisa di andelin kalau bicarain Dhita.
"Lo mau nanya tentang ibu negara baru lo? di kelas noh dia mukanya masam bener kayak jeruk sangkis." celetuk Farrel.
"Kok sangkis? itu manis goblok!" Yuda menyela, memangnya sangkis masam apa manis sih?
"Ya kan memang mukanya manis, ngangenin tau gak!" Farrel menambahkan, itu bukan sebuah candaan tapi memang suatu kejujuran dari dalam dirinya.
Siapa disini yang gak mengakui kecantikan seorang Dhita, gak ada! atau mungkin cuma Zayyan.