Terdengar teriak keributan di sebuah rumah mewah bergaya Eropa. Kata-kata makian serta bentakan menggelegar di salah satu kamar.
Sepasang suami-istri tengah bertengkar hebat. Mereka saling meninggikan suara dan tidak mau mengalah. Terdengar jelas suara barang-barang yang dibanting ke lantai dengan beringas.
Cowok tampan bermata biru berdiri di depan pintu kamar itu. Ia hanya menangis mendengarkan Papa dan Mamanya terus-menerus bertengkar.
Air matanya tak bisa berhenti mengalir, membasahi pipi cowok blasteran Italia-Amerika itu.
Pertengkaran seperti ini hampir setiap hari dia dengar. Kata-kata kasar yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya begitu membekas di ingatannya. Sungguh, menyiksa batin dan jiwa cowok itu.
Krek.
Pintu itu tiba-tiba terbuka. Christoper tersentak kaget. Seorang pria tampan, mirip cowok bermata biru itu, muncul dengan wajah memerah menahan amarah.
Napas Christoper tercekat. Ia mematung di tempat. Aura sang Papa tampak begitu menyeramkan. Seperti singa yang siap menerkam siapa saja.
"Christoper?!" William tersentak kaget mendapati anak sulungnya berdiri di depan pintu. "Apa yang kaulakukan di sini, Hah?! Kau pasti menguping, kan?!" bentak sang Papa murka.
Christoper tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia segera menggeleng cepat. "Tidak, Pa! A-aku... aku hany—"
Christoper terpaku pada koper di samping sang Papa. Ia menatap William syok. "Papa mau ke mana?! Kenapa Papa bawa koper?!" sergahnya panik.
"Kau jangan ikut campur! Itu bukan urusanmu!" William menerobos melewati Christoper dan sengaja menabrak bahu anaknya sampai cowok berusia 16 tahun itu terdorong terhuyung-huyung hampir terjatuh.
William berjalan terburu-buru menuju pintu rumah sambil mendorong kopernya.
"Wiliam, tunggu! Kau mau pergi ke mana, Hah?!" Seorang wanita bermata biru tergesa-gesa ke luar dari itu sambil menangis histeris.
Lilyana bergegas mengejar William dan berhasil mencengkeram tangannya kuat.
"Kau mau per—"
"LEPASKAN TANGAN SAYA!" bentak William, menepis tangan Lilyana kasar.
Lilyana menangis terisak-isak.
"Apa kau tega pergi meninggalkan Clara dan Calvin begitu saja, Hah?!" bentak Lilyana murka.
Christoper kembali menangis menyaksikan kedua orang tuanya lagi-lagi ribut, tepat di depan matanya.
"Saya tidak peduli dengan mereka! Karena saya tidak sudi lagi tinggal denganmu! Sikap kau benar-benar memuakkan!" maki William emosi.
"Apa kaubilang!? Gara-gara sikap saya?!" Lilyana melotot murk, lantas dia terkekeh jahat. "Bukannya semua permasalahan ini terjadi karena kau yang biadab!?" bentak Lilyana murka.
"Pa, Ma, cukup," Air mata Christoper meluncur deras membasahi pipinya. "Aku mohon .... jangan ribut lagi," pintanya lirih.
William melotot ke arah Christoper. "Kau jangan ikut campur, Christoper! Cepat masuk kamar!"
Christoper menggeleng cepat. "Tidak, Pa! Aku akan tetap di si—"
"PAPA BILANG MASUK KAMAR!!!!" teriak William mengangkat telunjuk di udara.
"Tidak. Aku tidak mau—"
"OH, SEKARANG KAU MULAI BERANI MELAWAN PAPA, HAH?!" kecam William menunjuk Christoper emosi.
"Sudah, Sayang," Lilyana tersenyum lembut. "Ayo masuk kamar, nanti Mama susul kamu." Wanita itu tetap tersenyum, meskipun air matanya terus mengalir deras.
"Tapi—"
"Please, Sayang ...." Lilyana memohon. "Tolong dengarkan Mama untuk sekali ini saja. Mama janji akan menyusul kamu sesudah ini."
Christoper menghela napas berat, terpaksa mengangguk pelan. "Baiklah, Ma," Dengan berat, dia melangkah pergi menuju kamar. Sejujurnya, Christoper sama sekali tidak ingin meninggalkan sang Mama menghadapi pria kasar dan egois itu seorang diri.
***
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sudah dua bulan berlalu sejak William pergi meninggalkan keluarganya.
Pertengkaran itu membuat segala-galanya berubah. Dahulu keluarga itu sangat harmonis dan bahagia hingga semua orang iri. Namun sekarang, keluarga itu hancur berkeping-keping sampai tak berbentuk. Semuanya berawal saat William salah dalam mengelola perusahaannya, sehingga mengakibatkan perusahaannya terancam gulung tikar.
Tetapi, dalam keadaan genting demikian, William malah berselingkuh dengan wanita lain. Padahal, seharusnya lelaki itu berjuang memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah di kantor. Namun, dia malah menghancurkan keluarganya sendiri sebagai pelampiasan depresinya.
Alhasil, setelah William meninggalkan keluarganya dan memilih pergi dengan selingkuhannya, Lilyana harus menggantikan posisi William menjadi Direktur Utama di Perusahaan Lion Corp.
Setiap jam, menit, hingga detik, Lilyana tak berhenti berpikir keras mencari jalan keluar agar bisa menyelamatkan perusahaan itu dari kubang kebangkrutan. Wanita itu telah berjuang susah payah mencari berbagai investor dari mancanegara. Namun sayang, tiada seorang pun dari mereka yang rela menolongnya. Sebab, para pengusaha seluruh dunia sudah mengetahui, bahwa perusahaan milik William itu tengah berada diambang kehancuran. Dan, tak ada kemungkinan bangkit kembali.
Lilyana duduk termenung di meja kerjanya. Pikirannya kalut, otaknya buntu. Berkali-kali dia menghela napas berat sembari bersandar lemah ke kursi kerjanya. Perlahan, wanita itu memijit pangkal hidungnya frustrasi. Memikirkan segalanya ini membuat kepalanya seolah akan meledak.
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus melakukan hal ini?
Lilyana beranjak dari kursi dan memutuskan ke luar dari ruang kerjanya.
Dari jauh terlihat pintu kamar Christoper sedikit terbuka. Lilyana mendatangi kamar anaknya itu, lalu dengan hati-hati mendorong pintunya. "Sayang?" Lilyana menengok ke dalam. Tampak Christoper tengah belajar di meja belajar.
"Iya, Ma. Masuk saja." Christoper tersenyum manis pada Lilyana.
Lilyana tersenyum. "Sedang apa kamu, Sayang? Ia berjalan menuju kasur Christoper lalu duduk.
Christoper membereskan semua buku pelajaran dan peralatan tulisnya. "Aku tadi sedang menyelesaikan pekerjaan sekolah, Ma. Tapi sekarang sudah selesai, kok." Cowok tampan itu sekilas tersenyum pada Lilyana, lalu kembali merapikan buku-bukunya.
"Rajin sekali anak Mama," puji Lilyana tersenyum bangga. Jangan diragukan lagi soal kecerdasan Christoper. Sejak kecil anak sulungnya itu memang sangat gemar belajar. Tak heran jika Christoper selalu ranking satu dalam bidang akademik hingga selalu mewakili nama sekolah dalam adu kepintaran di dalam Indonesia maupun luar negeri.
Christoper terkekeh malu-malu. "Terima kasih, Ma."
Lilyana memandang sedih Christoper yang sedang berdiri memunggunginya. Lilyana memang sangat mencintai Christoper dan kedua anaknya. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain sampai harus melakukan hal ini.
"Ada apa, Ma? Tumben Mama ke kamar aku?" Christoper mendekati Lilyana, lalu duduk di sebelahnya.
Christoper mengernyit. "Ma?" Christoper memperhatikan wajah Lilyana yang terlihat sedih. "Mama tak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Lilyana tersentak kaget, sontak tersenyum kikuk. "Y-ya, kenapa, Sayang?" tanyanya
spontan.
Christoper terkekeh. Wajah sang Mama tampak begitu menggemaskan saat terkejut. "Tadi aku tanya 'Tumben Mama ke kamar aku'?" ulangnya menahan senyum.
Lilyana terkekeh kikuk. "Mama benar-benar tidak dengar kamu tadi, Sayang. Maaf," dia menunduk malu.
Senyum Christoper memudar ketika memperhatikan wajah Lilyana. Terpancar jelas dari senyumnya seolah tengah menyimpan sejuta kesedihan.
"Ma …," Christoper menggenggam tangan Lilyana. Lilyana terkejut saat tangannya disentuh.
Lilyana mengernyit bingung. "Kenapa, Sayang?"
"Apa ada masalah di kantor, ya?" tebak Christoper sedih.
Lilyana terdiam seribu bahasa. Jantungnya seakan berhenti. Sesaat Lilyana tidak mampu berkata-kata karena tebakan Christoper sangat tepat.
Lilyana berusaha tetap tersenyum. "Tidak ada masalah apa pun, Sayang." Lilyana membelai pipi Christoper lembut.
"Tetapi," Christoper menatap Lilyana ragu- ragu. "kenapa Mama sering melamun?" tanya Christoper cemas. "Mama pasti sedang memikirkan sesuatu, kan?"
Lilyana menggeleng sambil tersenyum lembut. "Tidak ada, Sayang. Mama tadi cuma memikirkan kamu saja."
Lilyana menghela napas panjang dalam hati, lalu menunduk.
Apakah ini saatnya? batin Lilyana lirih.
"Namun ...."