"Kau memang tidak becus seperti papa kau, Christoper!" Teriakan Pria paruh baya menggelegar di ruang kerja Christoper. "Bagaimana bisa sahamnya anjlok, Hah?! Kau tahu! saham yang saya masukkan ke perusahaan kamu itu tidak sedikit?!"
Christoper hanya menunduk dalam, penuh penyesalan. "Maafkan saya, Pak. Tapi saya akan segera—"
"Sudahlah!" Pak Anton mengibas tangannya kesal. "Anak bau Kencur kayak kamu itu tahu apa soal bisnis, Hah!?" maki Pak Anton berteriak.
Christoper dan Karina terdiam, hanya menunduk.
Pak Anton mengetuk-ngetuk meja rapat dengan jari. "Saya tidak mau tahu! Sekarang kembalikan semua uang yang saya tanamkan di perusahaan kamu, sekarang!" tuntutnya.
Christoper tersenyum sopan, menatap Pak Anton sungguh-sungguh. "Pasti. Saya akan segera kembalikan uang Bapak. Tapi, tolong berikan saya kelonggaran wak—"
"Tidak!" bentak Pak Anton. "Saya mau uang saya dikembalikan, SEKARANG!" Pak Anton melotot emosi.
Karina tersenyum sangat manis, berusaha menarik simpati pria itu. "Saya mohon sekali untuk pengertian Bapak. Karena perusahaan kami benar-benar sedang mengalami masa—"
"Kau pikir saya peduli, Hah?!" teriak Pak Anton murka. "Tidak!" bentaknya. "Saya sama sekali tidak peduli! Mau perusahaan ini hancur! Bangkrut, sekalipun! Itu bukan urusan saya! NGERTI!" Pak Anton melotot emosi.
Karina terdiam seribu bahasa.
"Saya mohon ...," sela Christoper tersenyum, "jangan membentak Sekretaris saya. Masalah ini tidak ada hubungannya dengan dia. Silakan Bapak maki saya saja."
Sontak Karina menoleh cepat. "Chris?" tegurnya spontan, berbisik. Bagaimana bisa Christoper menantang orang yang telah menanamkan saham ke perusahaannya.
"Oh!" Pak Anton manggut-manggut jahat. "Jadi kau berani menantang saya?! HAH?!" maki Pak Anton murka.
"B-bukan begitu, Pak. Bapak salah paham." ralat Christoper tersenyum sopam. "Saya hanya mau kasih tahu saja, rasanya tidak pantas membentak wanita kasar seperti itu." jelasnya.
Pak Anton menggebrak meja sambil melonjak berdiri. "Kau tidak usah sok-sok-an mengajari saya!" bentak Pak Anton, merasa dipermalukan. "Kau saja tidak becus menjadi pemimpin perusahaan! sekarang mau sok-sokan menjaga perasaan seorang wanita?!" Pak Anton berdecih, jijik. "Keluarga kau saja hancur! Ibu dan Bapak kau sekarang jadi buronan para penanam saham! Dan sekarang kau masih berlagak mengajari saya?!" maki Pak Anton murka.
Christoper mematung tidak percaya. Seakan ada belati yang menusuk tepat di jantungnya.
Suasana mendadak menegang. Rekan-rekan Pak Anton yang ikut rapat terdiam. Mereka melirik Christoper tak enak.
"Cukup!" Karina ikut bangkit berdiri. Sontak semuanya berpaling pada gadis itu. "Jaga ucapan Bapak!" Karina tidak segan-segan menunjuk wajah Pak Anton kasar. "Anda boleh menghina saya! Tapi jangan berani-beraninya Anda menghina keluarga Tuan saya!" bentak Karina murka.
"Kenapa?" Pak Anton tersenyum miring. "Kau tersinggung?" ejeknya. Ia tertawa sinis. "Memangnya kutu kayak kalian itu bisa apa, Hah?" Pak Anton memandang Christoper dan Karina remeh. "Kalian tahu? Saya cuma sentil kalian berdua saja, kalian bisa-bisa jadi gelandangan di jalan. Makanya jangan macam-macam kalian dengan saya!! NGERTI!!" maki Pak Anton emosi.
Wajah Karina seketika merah padam, meremas-remas jemarinya emosi. Ia ingin sekali menyiramkan air dari gelas ke wajah pria tua menyebalkan itu.
Christoper menyentuh tangan Karina sambil tersenyum. "Sudah Karina, tenanglah," pintanya lembut.
Karina mendengus kasar, lalu kembali duduk dengan kesal.
"Maafkan Sekretaris saya." Christoper tersenyum sopan. "Kalau Bapak mau uang Bapak kembali, saya akan menyediakannya besok."
"Bagus!" Pak Anton menatap Christoper tajam. "Saya tunggu besok! Awas kalau kau sampai bohong!" kecam Pak Anton.
Pak Anton menatap pada rekan-rekannya. "Ayo, kita pergi!" Pak Anton segera meninggalkan ruangan itu diiringi rekan-rekannya.
Christoper memandangi kepergian Pak Anton sampai benar-benar menghilang dari balik pintu. Ia menghela napas berat, bersandar lesu ke kursi sambil memijit pelipisnya.
"Apa yang kamu bilang tadi, Christoper!?" Akhirnya kekesalan Karina meledak. "Kamu akan melunaskan semua utangmu ke pria itu, besok!? Bagaimana caranya!?" omel Karina habis akal.
"Kamu tahu utang kamu itu tidak sedikit?" Terpancar kekhawatiran di wajah cantik gadis itu.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi aku akan memikirkan jalan keluarnya. Kamu tenang saja." Christoper tersenyum, meskipun dia sendiri ragu berhasil menemukan solusi.
Karina menghela napas panjang sambil bersandar kesal. "Kamu benar-benar nekat, Chris," dia memijat pangkal hidungnya, frustrasi.
Christoper tersenyum menggoda, mencondongkan tubuhnya dekat Karina. "Tapi kamu lebih nekat, kan? Berani melawan Pak Anton?"
Sontak Karina menatap Christoper kesal. "Ya! Itu karena aku menci—" Karina langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Christoper mengernyit, menunggu kelanjutannya. "Karena apa? Kenapa tidak dilanjutkan?" tanyanya bingung sekaligus penasaran.
Karina segera membuang muka, menyembunyikan pipinya yang memerah. "Sudahlah. Itu tidak penting," kesalnya dengan jantung berdebar kencang.
Christoper terkekeh. Karina tampak menggemaskan saat benar-benar kesal akibat ulahnya. Ia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat.
Karina refleks menoleh. Ia terpaku memandangi tangan Christoper, kemudian dia beralih menatap mata cowok itu, jantungnya berdegup makin cepat. Beberapa saat dia terbius oleh sorot lembut cowok itu.
Christoper menatap mata Karina lembut sembari mengusap-usap tangannya.
Sesaat Christoper dan Karina berpandangan tanpa saling berbicara.
"Terima kasih." Christoper tersenyum, terdengar begitu tulus. "Kamu selalu ada untukku, meskipun keadaanku sekarang benar-benar sangat kacau."
"Aku benar-benar beruntung sekali memiliki sahabat sepertimu."
Senyum Karina sirna. Sorot matanya meredup. Ada kekecewaan yang mengikis hatinya. Perlahan, dia menunduk tanpa mau mengatakan apa pun.
"Kamu kenapa?" Christoper menatap Karina cemas. "Apa aku sudah salah bicara, ya? Maafkan ak—"
"Tidak! Tidak!" Karina berusaha tersenyum lebar, bersikap normal. "Aku baik-baik saja."
Christoper menghela napas lega, lalu mengacak kepala Karina, gemas. "Kamu selalu saja membuatku jantungan." Ia terkekeh.
Karina tersenyum dengan pipi merona.
***
Christoper berjalan menyusuri pinggir danau, lalu duduk di salah satu bangku. Ia memandangi air danau yang begitu teduh.
Malam semakin larut. Hawa dingin bertiup menerpa kulit Christoper. Tak ada seorang pun terlihat di taman itu
Christoper menengadah ke langit.
Ma, aku harus bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan?
Hanya embusan angin yang terdengar. Kesunyian semakin terasa. Mata Christoper berkaca-kaca.
Aku berharap Mama ada di sini... menenangkan aku seperti waktu kecil. Air mata Christoper meluncur bebas. Aku sangat merindukan dirimu, Ma.
Christoper menangis kecil. Bayang-bayang masa lalu itu selalu menghantuinya. Ia mencengkeram dadanya yang begitu sesak. Kenapa Mama tega meninggalkanku? Apa salahku?
Ponsel Christoper berdering. Refleks dia menghapus air matanya dan buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku jas.
Michello.
Christoper mengatur napasnya, sebelum mengangkatnya. "Halo, Br—"
"Bro! tolongin gue! Koko gue mabuk lagi!" seru Marcello, adik Michello. Suara dentuman DJ membuat suara Marcel nyaris tak terdengar.
"Mabuk?" Christoper agak terkejut. "Memangnya kamu ada di Club mana sekarang?" Christoper tergesa-gesa menuju ke mobil yang terparkir tak terlalu jauh dari tempatnya berada.
"Seperti biasa, Bro! Di—" Sambungan terputus. Christoper sontak memeriksa layar ponselnya. Apa yang sedang terjadi? Christoper segera masuk ke mobil dan bergegas melajukan mobilnya meninggalkan area taman.