ESOK harinya.
Suara riuh piuh memenuhi Kantin Kesatuan Bangsa. Matahari bersinar begitu teriknya. Semua siswa-siswi berkumpul di kantin untuk mengisi perut mereka yang keroncongan di jam istirahat siang.
Christoper, Niko, Vernando, dan Michelle berkumpul di salah satu meja kantin.
"Bro," panggil Michello. "Cewek yang kemarin lo ceritain itu namanya siapa, sih?" tanya Michello pada Christoper, penasaran.
"Memangnya kenapa, Hah?!" sergah Vernando tajam.
"Biasa aja kali nanyanya, Woi! Nggak usah nge-gas gitu." balas Michello ketus.
Christoper tersenyum malu, pipinya sedikit memerah. "Namanya, Christina, Bro."
Michello mengernyit. "Christina?"
Christoper mengangguk sambil tersenyum.
"Btw ... nama lo dan cewek itu hampir mirip, yak, Bro," goda Michello.
"Benar juga!" seru Vernando heboh sendiri. "Inilah yang dinamakan jodoh!" Vernando tertawa lepas.
Pipi Christoper bersemu merah.
"Maksud lo?" tanya Michello pada Vernando, tak paham.
"Dasar, Sipit! Maksudnya ... itu tanda kalau Christina adalah jodohnya Christoper!" ketus Vernando. "Lo lambat amat mikir! Percuma lo sekolah!"
"Berarti Christoper bakalan tidak jomblo lagi?" timbrung Niko datar.
"Jomblo... jomblo!" protes Vernando. "Christoper bukan jomblo! Tapi single!" sergah Vernando tak terima.
"Apa bedanya?" tanya Niko datar, sorot matanya seakan tidak tertarik.
"Single itu pilihan; Tapi jomblo itu kayak lo! Nasib!" Tawa Vernando meledak. Cowok itu tertawa terbahak-bahak.
"Sorry ... gue bukan jomblo," tegas Niko dingin.
"Terus apa, Hah?" ejek Vernando setengah meremehkan. "Pacar aja lo nggak punya."
"Gue punya pacar, meskipun dia sekarang tinggal di luar negeri," tegas Niko, terpancar kesedihan di sorot matanya.
Suasana mendadak berubah.
Niko menatap Vernando agak tajam. "Dan gue yakin ... dia pasti bakalan pulang ke Indonesia, suatu saat nanti." Meskipun wajah Niko berusaha sok tegar, tetapi dari sorot matanya malah mengatakan sebaliknya.
Christoper menepuk pundak Niko sambil tersenyum, berusaha memberi kekuatan.
"Sorry, Bro, sebelumnya. Bukannya gue mau mengompor-ngompori lo. Tapi menurut gue nih ...," Vernando berusaha memilih kata-kata yang tepat. "sebaiknya lo lupain dia aja. Gue takutnya dia udah ada yang lain di luar negeri sana."
Vernando tersenyum menenangkan. "Apalagi ... dia yang pergi ninggalin lo, kan? Itu besar kemungkinan dia nggak peduli lagi dengan lo."
Mata Niko menajam. "Maksud lo!?"
"Kagak! Kagak!" ralat Vernando cepat sambil terkekeh kikuk. "Maksud gue ...," dia berpikir keras mencari kata yang tepat. "Dia pasti pulang ke Indonesia, kok! Gue yakin itu!" Ia terkekeh cengengesan.
Niko langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan mereka begitu saja.
"Ya elah! Malah tersinggung lagi, tuh, Bocah!" Vernando mendengus kesal.
"Gara-gara lo, sih!" protes Michello kesal. "Tuh mulut atau parang?! Tajam amat!"
"Biasa aja lo ngomongnya, Woi! Gak usah nge-gas!"
"Lo duluan yang cari gara-gara!" kesal Michello. "Mulut lo ember banget kayak cewek!"
"Iya, iya! Gue minta maaf. Gue 'kan nggak bermaksud buat dia tersinggung," jujur Vernando. "Gue cuma kasihan sama dia. Itu doang, kok. Memangnya gue salah?!" Ia berusaha membela diri.
Christoper beranjak berdiri. "Kalian berdua tunggu sini, biar gue yang berbicara dengan Niko."
"Tolong kasih tahu ke dia gue minta maaf," pinta Vernandez menyesal.
Christoper mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah."
***
Christoper berjalan melintasi koridor sekolah sembari menengok ke kiri dan ke kanan, berupaya mencari sahabatnya itu.
Dreet... Dreet... Dreet...
Christoper berhenti, merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Ia mengernyit. Dewi?
Christoper langsung mengangkat panggilannya. "Halo, Dewi. Ada apa?"
"Tuan ada di mana sekarang?! Cepat ke rumah! Clara sakit demam tinggi!" seru Dewi panik.
"APA?!" Mata Christoper terbelalak. "Bagaimana bisa!?" Jantung Christoper seakan mendadak berhenti dalam dadanya. "Sudah kamu kasih obat?" tanyanya panik.
Christoper langsung menyimpang menuju tempat parkir mobil dengan tergesa-gesa.
"Sudah, Tuan! Tapi demamnya nggak menurun juga," jelas Dewi panik.
Tangan Christoper sampai gemetar menggengam ponsel. "Saya akan segera pulang. Tolong kamu jaga Clara baik-baik." Ia mematikan sambungannya begitu saja dan kembali memasukkan ke saku celana. Cowok itu mempercepat langkahnya menuju tempat parkir.
***
Sesampainya di rumah, Christoper langsung bergegas menuju kamar Clara di lantai dua.
Tanpa basa-basi Christoper langsung membuka pintu pink itu dengan cepat.
"Tuan!" seru Dewi setengah kaget. Terpancar kecemasan di mata gadis itu.
Jantung Christoper makin tak karuan melihat ekspresi Dewi yang terlihat panik.
"Bagaimana, Wi?" Christoper tergesa-gesa menghampiri Clara yang sedang tidur di kasur. Kain basah menempel di dahi gadis kecil itu. "Clara baik-baik saja, kan? Apa demamnya sudah turun?"
Dewi menggeleng pelan. "Belum, Tuan."
Christoper menempelkan punggung tangannya ke dahi Clara. Rasa panas langsung menyengat permukaan kulitnya.
Ya, Tuhan.
Christoper buru-buru menggendong Clara. "Ayo! Kita harus bawa Clara ke rumah sakit!" Christoper tergesa-gesa ke luar menuju lantai bawah.
Christoper bergegas menuju mobil, membukakan pintu penumpang lalu membaringkan Clara. Christoper mengitari mobil dan masuk. Dewi, babysister Clara, masuk di belakang kursi penumpang.
Christoper segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga menerobos lampu merah dan mendapat umpatan para pengendara lain akibat hampir tertabrak.
Sayang, Kakak mohon jangan tinggalkan Kakak, batin Christoper sambil mengelus rambut Clara dengan tangan lainnya. Air matanya seketika tumpah.
***
Christoper tidk bisa berhenti berjalan mondar-mandir di depan pintu UGD sambil menggigit kuku. Rasa cemas terus-menerus menghantui hati dan pikirannya hingga tak bisa tenang.
Dewi duduk di bangku panjang dengan perasaan cemas, menanti sang Dokter yang sedang menangani Clara ke luar.
Kenapa lama sekali? batin Christoper sangat khawatir.
"Tenang aja, Tuan. Pasti si kecil akan baik-baik saja," hibur Dewi tersenyum, meskipun hatinya sendiri sangat tak karuan.
Christoper mengabaikan ucapan Dewi, pikirannya benar-benar kacau. Ia terus mondar-mandir dengan perasaan tak karuan.
Krek.
Pintu ruang UGD terbuka. Seorang pria paruh baya mengenakan jas putih, ke luar dari ruang dengan wajah sedikit tegang.
Christoper mendekati Dokter itu. "Bagaimana keadaan adik saya, Dok? Dia baik-baik saja, kan?" sergahnya cemas.
Dokter itu tersenyum. "Dia baik-baik saja. Dia hanya sedang mengalami demam bisa karena sedang merindukan seseorang. Apa Ibunya ada di sini?" Dokter itu melihat ke sekelilingnya.
Christoper berusaha menahan perasaannya. Hatinya berdenyut sakit. "Tidak ada, Dok."
"Bisa panggilkan Ibunya ke sini?" pinta sang Dokter tersenyum. "Karena pasien sangat merindukan sang Ibu."
Christoper tidak bisa berkata apa pun. Bagaimana ini?
"Maaf, Dok. Ibu pasien lagi kerja di luar kota, jadi dia tidak bisa datang ke sini," sela Dewi tersenyum.
"Begitu, ya." Dokter itu mengangguk paham. "Kalau begitu, bagaimana dengan Christina? Apa beliau bisa dipanggilkan ke sini?
Christoper langsung mendongak. "Christina?" ulangnya kaget. "Memangnya apa hubungannya dengan dia, Dok?"
"Karena pasien selalu memanggil-manggil nama 'Kak Christina dan Mama'," terang Dokter itu. "Bis panggilkan beliau ke sini?"
Christina? batin Christoper heran.