"Baik, Dok. Saya akan segera menghubungi Christina. Permisi." Christoper sedikit menjauh. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan dengan tangan gemetar tergesa-gesa mencari nama Christina di daftar kontak, kemudian berusaha menelepon gadis itu.
Nada sambung bersenandung di telinga Christoper. Ia menggigit kukunya. Entah kenapa, nada sambung telepon makin menambah pacu jantungnya.
"Halo, Christo—"
"Halo, Christina. Maaf mengganggu. Tetapi kamu sedang berada di mana?" potong Christoper berusaha tak panik.
"Lo kenapa, bro? Kok kayak panik gitu?" tanya Christina cemas.
"Clara masuk rumah sakit, Tin. Apa—"
"APA?! CLARA MASUK RUMAH SAKIT?!" pekik Christina syok. "KOK BISA, BRO?! DIA SAKIT APA?!" serunya panik.
"Saya akan jelaskan nanti, tetapi bisakah kamu datang ke rumah sakit sekarang? Saya butuh sekali bantuan kamu," mohon Christoper penuh hara
"Oke! Lo langsung share location-nya aja. Biar gue segera ke sana," suruh Christina.
"Baik. Saya akan kirim sekarang."
***
Christina terburu-buru menyelusuri koridor rumah sakit yang dingin dan sunyi sembari fokus memperhatikan setiap plang nama yang tertulis pada pintu-pintu yang berjajar di kiri-kanannya.
Valentino dan Vernandez ikut berjalan tergesa-gesa di belakang gadis itu.
"Memangnya siapa yang sakit, sih, Tin?" tanya Vernandez heran.
"Udahlah! Lo fokus aja nyari ruangan VIP!" ketus Christina di tengah panik.
Vernandez mendesis pelan.
"Lo ngga usah banyak omong, ikuti aja Tina ke mana pun," sindir Valentino dingin.
"Iye!" ketus Vernandez pasrah.
***
Christoper duduk di samping ranjang adiknya yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Ia mengelus-elus rambut Clara sambil memandangi gadis kecil itu.
"Di mana Mama, Kak? Kenapa Mama belum jenguk aku juga?" tanya Clara dengan suara serak. Telah ribuan kali pertanyaan itu terucap dari mulut Clara, tetapi selalu berakhir dengan jawaban tidak masuk akal.
Christoper tersenyum lembut. "Mama pasti datang, Saya—"
"Tetapi kapan, Kak?!" potong Clara kecewa. "Apa Mama sudah tidak sayang dengan kita lagi, kan?! Makanya Mama pergi meninggalkan kita! Apa Mama sebenarnya tidak akan pernah pulang lagi, seperti Papa!?" Mata Clara berkaca-kaca.
Christoper bungkam. Perkataan Clara sangat menghancurkan jiwanya. "Kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Sayang. Mama pasti pulang."
"Kakak bohong!!" Air mata Clara mengalir deras membasahi kedua pipinya. "Kalau Mama sayang dengan kita, tidak mungkin Mama pergi meninggalkan kita selama bertahun-tahun!"
Christoper tidak mampu berkata apa pun.
Suasana mulai tidak kondusif. Dewi segera tersenyum sambil mengelus-elus rambut Clara ketika Christoper tidak sanggup mengelak lagi. "Adik jangan teriak-teriak dulu, ya. Mama adik bukannya tidak mau pulang, tapi sedang bekerja."
"Bohong!!" teriak Clara. "Mama pergi tinggalkan kita!" jeritnya histeris.
Christoper menunduk dalam, berusaha menahan perasaannya yang hancur berantakan. Matanya berkaca-kaca.
Maafkan Kakak, Sayang. Maafkan Kakak karena Kakak tidak bisa membahagiakan kamu, seperti seharusnya, batin Christoper penuh rasa bersalah.
Krek
Christoper dan Dewi serempak menoleh ke arah pintu.
"Permisi ...."
Mata Christoper melebar.
"Maaf, gue datangnya agak lama." Christina tersenyum kikuk.
Christoper tersenyum ramah sambil bangkit berdiri, menyambut kedatangan gadis itu. "Tidak apa. Terima kasih kamu sudah datang."
Christina mendekati Clara sambil tersenyum lebar. "Sayang, bagaimana kead—" Mata Christina membulat sempurna. "Sayang, kok kamu nangis!? Kenapa!? Apa yang terjadi?!" tanyanya cemas.
"Mama, Kak!" Clara terisak-isak kuat. "Aku sangat merindukan Mama! Apa Kakak bisa panggil Mamaku ke sini?" mohon Clara penuh harap.
Christina mengernyit heran. Bagaimana mungkin dia melakukannya? Apalagi dia belum pernah berkenal, bahkan melihat orang tua Clara.
Christina menatap Christoper bingung. "Memangnya Mama lo ke mana, Bro?" bisiknya, berusaha menjaga notasi suaranya di depan Clara.
Christoper menunduk, tak tahu harus menjawab apa.
"Bro?" panggil Christina makin heran.
"Mama pergi meninggalkan kami, Kak!" Tangis Clara meledak. "Mama sudah tidak sayang dengan aku lagi!"
Mata Christina membulat sempurna. Ia lantas menatap Christoper terkejut. "Apa itu benar, Bro?"
Tak ada satu kata pun yang terucapkan dari bibir Christoper.
"Bro, jawab gue," desak Christina pelan. Ia berusaha menjaga notasi suaranya di depan Clara.
***
Christina mengelus-elus rambut Clara hingga gadis kecil itu terlelap. Sudah dua jam lebih dia duduk menjaga gadis kecil itu, tetapi Christoper tidak kunjung kembali.
Christina memandang ke arah pintu.
Ke mana, Christoper? Kenapa nggak balik-balik juga, sih? batin Christina. Tersirat rasa cemas di hati gadis itu.
Christina merapikan selimut Clara yang agak melorot, lalu bangkit berdiri dari kursi. "Mbak, tolong jagain Clara sebentar, ya. Aaya mau keluar dulu," pamit Christina pada Dewi.
Dewi, yang duduk di seberang Christina, mengangguk sopan. "Baik, Mbak. Silakan,"
"Terima kasih," Christina tersenyum, lalu beranjak ke luar.
Christina kembali menutup pintu di belakangnya sambil menoleh ke kiri-kanan. Tanpa sengaja matanya menangkap seseorang tengah duduk sendirian di bangku agak jauh dari kamar inap Clara.
Christina berjalan menghampiri cowok itu, lalu duduk di sampingnya. Christina melirik cowok itu, yang masih tidak menyadari kehadirannya.
"Apa benar yang dikatakan oleh adik lo tadi, Bro?" Christina menatap datar lurus ke depan.
Christoper tersentak kaget, sontak menoleh. "Christina?!" Ia terkejut mendapati Christina tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
Christoper tersenyum canggung. "Maaf ... kamu bilang apa tadi?" tanya Christoper sopan.
Christina menoleh, menatap mata Christoper lekat-lekat. "Gue tahu ... lo sebenarnya dengar apa yang gue bilang barusan."
Christoper menunduk tanpa mengatakan apa pun.
"Gue bisa jaga rahasia, kok, kalau lo mau cerita sama gue," tawar Christina penuh harap.
Rasa hangat melingkupi dalam hati Christoper. Namun, tidak mungkin dia akan menceritakan masalah yang sedang menimpanya pada siapa pun, apalagi Christina. Meskipun hati Christoper seolah mendesaknya supaya mengungkap apa yang terjadi, tetapi otaknya seakan melarangnya.
"Kamu tidak perlu memedulikan perkataan Clara tadi," pinta Christoper lirih.
Christina terdiam. Sepertinya cowok ini sangat penutup. Ia menghela napas pelan sambil berpaling menatap ke depan. Pikirannya menerawang kembali ke masa lalu.
Suasana kembali hening. Christoper dan Christina tidak ada yang membuka suara, hanya hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
"Chris?" panggil Christina pelan.
Christoper langsung menoleh ketika gadis itu membuka suara. "Ya?" dia tersenyum.
"Gue paham kalau lo nggak mau ceritain tentang masalah keluarga lo sama orang lain," ucap Christina tanpa berpaling. "Tapi ...," dia terdiam, seolah ada yang menusuk hatinya. "gue ngerti apa yang dirasakan adik lo saat ini."
Christoper memandang Christina tidak mengerti.
"Gue nggak punya ibu dan bapak lagi ...." Christina berusaha menahan dadanya yang sesak dan matanya yang mulai memanas.
Christoper terpaku tak percaya.
"Jadi gue sangat paham bagaimana perasaan adik lo saat ini ...." Christina menatap hampa ke depan. "Jadi, kalau gue boleh tahu ...," Christina berpaling, tersenyum pada Christoper. "Ibu lo kenapa pergi?"
Christoper perlahan menunduk. Pertanyaan Christina sangat susah untuk terjawab, bahkan dia sendiri pun tahu pasti alasannya.
"Bro?" panggil Christina hati-hati.
"Saya juga tidak tahu ... dia pergi begitu saja tanpa kabar," ungkap Christoper pelan.
Christina bisa merasakan luka di balik setiap kalimat Christoper. "Lo udah pernah coba cari Mama lo?"
Christoper mengangguk pelan. "Sudah. Tetapi Mama saya tidak bisa ditemukan di mana pun juga."
Hati Christina ikut tersayat. Ia menggenggam tangannya Christoper, berusaha memberikannya semangat.
Christoper menatap Christina ketika merasakan kehangatan menyentuh kulitnya.
"Gue yakin, Mama lo pasti akan kembali lagi, kok. Percaya sama gue. Karena seorang Ibu tidak mungkin melupakan anaknya." Christina tersenyum, menguatkan.
Christoper terdiam sesaat. Kata-kata itu seakan memberikannya kekuatan dan pengharapan baru.
Christoper tersenyum lebih lebar. Semangat kembali menggebu-gebu dalam hatinya.
"Terima kasih banyak, ya. Penghiburanmu sangat berarti bagiku."
Christoper dan Christina bertatapan tanpa saling bicara, menyiratkan arti tersembunyi di balik mata mereka.
"Menghibur, sih, boleh. Tapi nggak usah pegang-pegang tangan juga, kali!" sindir Vernandez sewot.
Christoper dan Christina sontak menoleh dan melepaskan genggaman mereka. Ternyata Vernandez dan Valentino sudah berdiri di samping mereka.