Krek!
Gadis itu tersentak, spontan berpaling ke arah pintu. Perlahan pintu di terbuka. Mendadak sorot matanya menajam. Instingnya mengatakan yang akan masuk itu pasti itu Kakak Tirinya.
Christina terpaku. Dua cowok yang tidak asing lagi menyelonong masuk ke kamarnya. Yang satu berpenampilan urak-urakan, satunya lagi berpenampilan rapi. Namun memiliki wajah teramat datar.
"WOI! Ngapain kalian berdua masuk ke kamar gue sembarangan, Hah?!" sembur Christina tajam.
Vernandez dan Valentino malas menanggap ocehan gadis itu. Vernandez langsung merebahkan diri ke kasur Christina, sedangkan Valentino duduk di kursi belajar.
"Lo ngapain tidur di sini, Hah!? Kayak kagak punya rumah aja! SANA, KELUAR!" Christina mendorong-dorong tubuh Vernando kesal.
Vernandez melipat tangan di belakang kepala sebagai bantal sambil memejamkan matanya. "Jangan berisik. Gue mau tidur."
Mata Christina melotot. "Apa lo bilang!? Tidur?!" Darahnya langsung melonjak naik ke ubun-ubun. Christina segera mengambil bantal guling, lalu memukul-mukul tubuh cowok itu.
"KELUAARRR!!"
Valentino memutar mata malas, jenuh setiap hari harus menyaksikan kedua manusia stres itu berkelahi. Membuang-buang tenaga saja kalau melerai mereka. Dari dahulu sampai sekarang, peranakan makhluk astral dan makhluk tak kasat mata itu tidak pernah kunjung akur sama sekali.
Tetapi anehnya, Christina dan Vernandez tetap bertahan dengan status bersahabat hingga saat ini.
Valentino bangkit berdiri, memasukkan kedua tangan ke saku celana, lalu berjalan menuju pintu hendak mencari udara segar di taman. Daripada di sini, sangat membuang-buang waktu menonton bocah-bocah itu sibuk tawuran.
★★★
Christina, Vernandez dan Valentino duduk di meja makan tanpa bicara. Hanya dentingan sendok dan piring, yang memecah keheningan di antara mereka.
Christina hanya melintir-lintir spaghetti-nya dengan garpu sambil senyum-senyum sendiri. Bayangan cowok itu masih membekas di pikirannya.
Vernandez mengernyit memandang Christina, lalu menyikut Valentino. "Woi, Bro. Lihat tuh si Christina, udah gila." bisiknya.
Valentino menghela napas kasar, lagi-lagi ketenangannya diganggu. Ia meletakkan sendoknya kembali, terpaksa melihat Christina.
Valentino mengernyit heran. Gadis itu tampak bahagia dengan wajah merah merona. Padahal, bisanya Christina suka mengoceh saat makan.
"Lo kenapa?" tanya Valentino dingin.
Christina tak menjawab.
Vernandez menggebrak meja. Christina tersentak kaget setengah mati.
"APAAN MAKSUD LO GEBRAK-GEBRAK MEJA KAYAK ITU, HAH!?" Christina melotot Vernandez emosi.
Vernandez sibuk mengaduk-aduk makanannya dengan raut tak berdosa. "Salah sendiri lo dipanggil nggak nyahut."
"Suka-suka guelah! Memangnya lo—"
"Cukup!" tegur Valentino setengah kesal. "Kita lagi di meja makan. Tenanglah sedikit."
"Tapi dia mulai duluan!" sergah Christina tidak terima.
"Dia itu hanya cemas aja, Tin."
"Cemas apanya?!" tanya Christina masih sedikit kesal.
"Kenapa lo tadi senyum-senyum sendiri?" tanya Vernandez tajam.
Jantung Christina langsung berdebar-debar kencang. Pipinya seketika merah merona. "L-lo ngomong apaan, sih!? Gue nggak senyum-senyum sendiri!"
"Kalau pun gue senyum-senyum sendiri suka-suka guelah! Memangnya apa urusannya sama lo?! Memangnya ada larangan nggak boleh senyum!?" balas Christina sok marah, berusaha menutupi rasa gugup.
"Gak usah ngelak! Buruan bilang sama gue, cowok siapa yang lo taksir?" tuding Vernandez. Ia menaruh kembali sendok dan garpu di atas piring dan menatap Christina tajam, menyelidiki.
"C-cowok?" ulang Christina berlagak polos. "Maksud lo apa? Cowok apa maksudnya?! Gue nggak taksir siapa pun, kok! Gak usah nuduh yang macam-macam!" Ia berlagak pura-pura kesal.
"Udahlah!" bentak Vernandez kesal. "Lo nggak usah berlagak polos di depan gue! Buruan, jawab dengan jujur!" tegas Vernandez
Spontan Christina memukul meja hingga suaranya menggelegar di ruang makan. "GUE MEMANG GAK TAHU LO NGOMONG APAAN!" bentaknya murka, tersinggung.
Valentino meletakkan kasar kembali sendok dan garpu di piring, melonjak berdiri dengan wajah menahan emosi.
"Lo mau ke mana?" tanya Christina cepat.
Valentino segera mengenakan jaket kulitnya. "Pulang."
"Tumben. Biasanya lo suka numpang hidup di sini?" Christina mengernyit heran.
"Percuma." Valentino menatap Christina sedikit jengkel. "Buat apa gue ke datang sini cuma untuk dengerin kalian berdua ribut. Mending gue tidur di rumah. Kalau begitu Gue pamit dulu." Valentino berbalik dan pergi meninggalkan mereka.
Christina meremas-remas sendok dan garpu dengan hati terluka. "Kenapa?" tanyanya sinis, menahan kecewa. "Lo bosan berada di sini?" sindirnya.
Valentino seketika berhenti. Cowok itu langsung menghela napas kasar. Lagi-lagi drama ini harus terjadi.
Valentino berbalik dan menatap Christina lembut. "Gue nggak pernah bosan main ke rumah lo, Tin. Tapi lo tahu sendiri ... kalau gue suka ketenangan." Valentino tersenyum tipis, meskipun merepotkan.
"Ya udah! Hati-hati di jalan. Kalau lo nggak nyaman berada di rumah gue, lo nggak perlu datang ke sini lagi." Christina berdiri lalu berlari menuju kamarnya sambil menangis.
"Ayo, loh! Ayo, loh! Christina ngambek gara-gara ulah lo! Siap-siap aja lo bakalan dicuekin habis-habisan!" Vernandez tertawa terbahak-bahak.
Valentino menggeram kesal, mengacak rambutnya frustrasi. "Ini semua gara-gara lo!"
"Lah! Kenapa lo jadi nyalahin gue?! Lo sendiri yang salah!" balas Vernandez tak terima.
Valentino melotot tajam. "Awas aja lo! Gue akan kasih lo pelajar nanti!" kecam Valentino emosi, lalu bergegas pergi meninggalkan ruang makan untuk segera pergi menyusul Christina di kamarnya.
Kini Valentino terpaksa harus memikirkan bagaimana caranya supaya Christina mau memaafkannya.
Valentino berkali-kali menghela napas kasar. Bagi cowok berusia 22 tahun tersebut memikirkan semua itu benar-benar merepotkan.
Valentino terenyak, tiba-tiba terlintas kejadian mengerikan itu di benaknya.
Christina!
Matanya membelalak, jantungnya berdegup kencang, rasa bersalah langsung menyergapnya.
Valentino buru-buru menaiki tangga menuju kamar gadis itu.
Jangan sampai! Jangan sampai hal itu terjadi lagi! Maafkan aku, Christina, gue benar-benar menyesal, batin Valentino panik.
Jangan... Jangan sampai itu terjadi lagi!
***
Christoper menghela napas pelan sambil bersandar ke kursi kebesarannya, sejenak merelakskan pikirannya setelah berjam-jam berkutat dengan laptop.
Senyap.
Tidak ada suara yang terdengar, selain sayup-sayup suara gemuruh mesin AC.
Terlihat map-map tergeletak di atas meja kerja dan tumpukan berkas-berkas. Laptop dibiarkan terbuka, menampilkan sejuta kata-kata yang begitu rumit untuk dipahami.
Christoper memejamkan mata sembari memijat pangkal hidung perlahan. Matanya sedikit menegang dan kepalanya serasa berat, akibat terlalu lama berada di depan layar monitor sambil membaca berkas-berkas bertumpuk-tumpuk itu.
Tring.
Christoper membuka mata, melirik ponselnya yang tergeletak di sebelah laptop. Ia menghela napas panjang, lalu mengambil benda pipi itu.
Christoper mengernyit. Sebuah pesan dari orang tak dikenal. Ini nomor siapa?
Christoper menegakkan posisi duduk dan membuka pesan dari nomor asing tersebut.
+628900***** : Hai, Bro. Gue cewek yang di mall waktu itu. Lo masih inget, gak? Wkwkwkwk
Christoper menganga tak percaya.
Christina! Christoper menegang, jantungnya berdebar-debar tak karuan. Apakah benar ini cewek waktu itu? batinnya tersenyum.
Christoper menggigit kuku seraya berpikir keras. Apa yang harus kubalas?