Chereads / Christoper, Cinta, dan Luka. / Chapter 12 - Pertengkaran Sengit

Chapter 12 - Pertengkaran Sengit

Christina tiba di rumah. Ia menaiki tangga menuju kamar sambil menguap lebar. Matanya tampak mengantuk. Dia melihat jam di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul 01.30 subuh.

"Dari mana saja lo!?"

Seketika Christina berhenti. Seketika rasa kantuknya lenyap. Ia menghela napas kasar, lalu kembali menaiki tangga.

"Woi! Jawab gue!!" teriak Sara kesal.

Christina memutar bola matanya malas, suara cempreng itu membuat darahnya mendidih. Namun, kali ini Christina terlalu mengantuk menanggapi Kakak Tirinya itu.

"WOI!! BURUAN JAWAB GUE!!"

Christina tetap tidak menanggapinya. Ia menaiki tangan dengan begitu santai, hingga tiba di ujung tangga atas.

Christina mendapati anak pembantu di rumahnya sedang mengepel lantai.

"Din, tolong bikinin gue teh manis anget, yak?" pinta Christina tersenyum lebar.

Dina lantas menoleh. "Mbak!?" Spontan, gadis itu mengangguk cepat. "B-baik, Mbak. Akan saya buatkan."

"Tolong antar ke kamar, yak?" sambung Christina lagi.

Dina mengangguk sopan. "Baik, Mbak. Nanti saya antarkan ke kamar."

Christina tersenyum lebar. "Makasih... Gue masuk dulu." Ia meninggalkan Dina dan kembali berjalan menuju kamarnya.

★★★

Dina meletakkan cangkir berisi teh ke atas nampan dan mengangkatnya. Ia keluar dari area dapur dan berjalan menuju kamar Christina.

Sara duduk di sofa, menatap TV dengan sorot malas. Hampir setiap channel menayangkan acara-acara yang membosankan menurutnya.

Sara menghela napas kasar, lalu berpaling ke sembarang arah. Tak sengaja dia melihat Dina hendak menaiki tangga sambil membawa nampan.

"Itu buat siapa!?" tanya Sara ketus.

Dina tersentak, lantas menoleh. "I-ni... buat Mbak Tina, Non." jawab Dina terbata.

"Bawa sini," suruh Sara dingin.

"Tapi, Non—"

"Gak ada tapi-tapian! Bawa sini!" bentak Sara emosi. "Atau Lo mau gue pecat, Hah!?" ancam Sara tak main-main.

Dina mengangguk cepat. "B-baik, Nona." Dina segera membawa teh itu dan meletakkan cangkirnya ke atas meja tepat di depan Sara.

"Sudah, pergi sana!" perintah Sara.

"B-baik, Nona." Dina mengangguk sopan, lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah dapur. Ia harus segera membuatkan teh lagi sebagai ganti buat Mba Christina.

"Eh, tunggu," panggil Sara tiba-tiba.

Dina berhenti, tubuhnya seketika menegang. Suara Sara terdengar berbeda. Perlahan dia menoleh pada gadis itu. "A-da apa, Nona?"

"Bagaimana dengan cowok itu?" Sara menyeruput tehnya perlahan, lalu meletakkannya kembali ke atas meja. "Dia mau ngajari lo?" Tatapannya tak beralih dari Tv.

Sara tersenyum miring. "Pasti dia nggak mau, kan?" tebaknya meremehkan.

Dina menunduk dalam, terselip rasa sedih di hatinya. Sara selalu saja semena-mena padanya dan menganggap dirinya rendah.

"Jawab! Malah diam aja lo!?" bentak Sara kesal.

"D-dia... mau ngajarin saya kok, Non." jawab Dina sedikit terbata-bata. Ia memeluk nampannya dengan erat.

"APA!?" Sara ternganga syok. "Dia mau ngajarin lo!?"

Dina mengangguk pelan. "I-iya, Nona."

Sara menggeleng tak percaya. "Nggak! Itu pasti nggak mungkin! Lo pasti lagi bohongi gue, kan?!" bentaknya emosi. Mana mungkin Christoper, cowok tertampan di sekolah, mau ngajarin si Cupu ini!

Dina menggeleng cepat. "T-tidak kok, Non. Saya benar-benar nggak bohong." jujurnya gugup.

"KENAPA LO NGGAK KASIH TAHU GUE, HAH?!" teriak Sara murka.

"Ma-maafkan saya, Nona. S-saya tidak tahu kalau harus kasih tahu Nona Sara," Dina menunduk ketakutan.

"LO ITU ...!" Sara langsung mendekati Dina dan melayangkan tangannya untuk menampar Dina. "MEMANG HARUS DIKASIH PELAJARAN!"

"WOI!!"

Tangan Sara terhenti di udara. Ia sontak menoleh ke arah tangga.

"Maksud lo apa mau tampar Dina, Hah!?" bentak Christina geram. Gadis itu berdiri di ujung tangga.

"Memangnya kenapa!? Ada masalah buat lo!?" balas Sara murka.

Christina meremas-meremas jemarinya. Amarahnya semakin berkobar-kobar.

"Lo bilang apa barusan?" ulang Christina dingin. 'Ada masalah'?!" Ia mendekati Kakak Tirinya itu, lalu berdiri di hadapannya dengan tangan menyilang.

"Kenapa?! Lo mau nantangin gue!?" Sara ikut melipat tangan angkuh sambil tersenyum sinis.

Christina melirik ke arah meja. Ada sebuah cangkir berisi teh dengan asap masih mengepul-ngebul, tampak masih panas.

Christina tersenyum miring, lalu kembali menatap Sara sinis.

Sara sedikit menegang, was-was pada setiap gerik-gerik Christina. Senyuman Christina seakan mengisyaratkan kejahatan. Terlintas semua kejahilan Christina paling buruk yang tidak akan pernah dia lupakan, saat Christina selalu menjahilnya dengan sangat keterlaluan.

"Ngapain lo senyum kayak gitu, Hah?! Lo nantangin gue!?" Sara melotot kesal. Tersirat ketakutan di sorot matanya.

Christina menyeringai. "Kenapa? Lo takut?" ledeknya.

"Mba, sudah... Saya mohon, jangan ribut." mohon Dina ketakutan.

"Sebaiknya lo ke dapur saja sana, Din. Ini urusan gue sama wanita ini." suruh Christina tanpa menoleh.

"Tapi—"

"Dengar apa kata gue," pinta Christina tegas.

"Jangan! Lo tunggu di sini!" Sara menatap Dina tajam.

Christina langsung tersenyum miring. "Kenapa? Lo takut?"

"Gue? Takut sama lo?" Sara lantas tertawa. "Gue nggak akan pernah sudi takut sedikit pun sama lo! Ngerti!" bentaknya tajam.

"Oh, ya?" Christina tersenyum mengejek.

"Iya!"

Secepat kilat, Christina menyambar cangkir itu, lalu menyiramkannya ke wajah Sara. Air itu mengguyur wajah dan tubuh gadis itu.

"AGRH!! PANAS! PANAS!!" Sara mengipas-ngipas wajahnya sambil menjerit-jerit.

Christina sengaja tertawa terbahak-bahak. "Mampus! Anggap saja itu hadiah dari gue! Enak!?"

"Ya ampun! Mbak nggak boleh kayak gitu!" seru Dina amat panik.

"Biarin saja, Din." Christina tertawa puas pada Dina. "Itu pembalasan karena dia sudah berani ganggu lo."

"DINA! CEPAT AMBILKAN AIR, BURUAAAN!!!" teriak Sara mengibas-ngibas wajahnya dengan tangan.

Dina langsung mengangguk. "B-baik, Nona." Ia bergegas menuju kamar mandi.

Sara menjerit histeris. Air teh itu seakan membakar seluruh permukaan kulitnya.

Christina duduk di anak tangga sambil tertawa menonton Sara. Wajah Kakak Tirinya itu sekarang memerah tampak melepuh.

"YA AMPUN! SAYANG!" Teriakan histeris seorang wanita menggelegar di ruangan itu. "Kamu kenapa!? Kenapa dengan wajahmu!?"

"Mama! Tolongin Sara! muka Sara disiram air panas!?" rengek Sara.

"Apa?!" teriak Marina. "Siapa yang siram kamu!? Siapa!?" tanyanya emosi.

"Christina, Ma!" adu Sara histeris.

"Apa?! Gadis itu?!" Wajah Marina langsung memerah. Ia berpaling pada gadis yang tengah tertawa di anak tangga.

"Apa yang kaulakukan terhadap anak saya, Hah!?" Marina segera menghampiri Christina dengan wajah emosi.

"Apa ya?" Christina pura-pura berpikir, lalu mengedikkan bahu. "Lupa." Ia tersenyum enteng.

"BERANI-BERANINYA KAU!!" Marina menarik tangan Christina kasar hingga gadis itu melonjak berdiri.

Christina langsung menghempaskan tangan wanita itu sangat kasar. "LO JANGAN BERANI-BERANI NYENTUH GUE!" teriaknya murka.

"Seharusnya saya bilang begitu! Berani-beraninya kau menyakiti anak saya! Sekarang kau sudah berani menantang saya, Hah!!!" bentak Marina murka.

"MEMANGNYA SEJAK KAPAN SAYA TAKUT SAMA LO?!" tantang Christina emosi.

Marlina menggeram, meremas-remas jemarinya. "Kalau kau bukan anak bawaan dari suami saya! Sudah saya tendang kau dari rumah ini!!"

Christina berusaha menahan tertawa. "APA LO BILANG!? 'TENDANG GUE DARI RUMAH INI?!" Tawanya seketika pecah. Ia tertawa keras. "SEHARUSNYA GUE YANG BILANG ITU KE LO, BIADAB!" dia melotot tajam.

"KAU PIKIR KAU BISA MELAKUKAN ITU, HAH?!" teriak Marlina murka. "ASAL KAU TAHU, SEMUA UANG BAPAK KAU ADALAH MILIK SAYA!!"

"Kasihan! Kasihan!" Christina terkekeh sinis, geleng-geleng prihatin. "Mau hidup doang harus meloroti orang! MEN-JI-JIK-KAN!" ejeknya tertawa puas.

"KURANG AJAR—" Marlina melayangkan tangannya menampar Christina.

Spontan Christina menangkap tangan Mama tirinya itu, mencengkeramnya kuat-kuat. "JANGAN BERANI-BERANINYA LO NAMPAR GUE! KARENA GUE GAK AKAN SEGAN-SEGAN USIR DARI SINI!!!" teriaknya murka, menghempaskan tangan Marlina kasar.

"KURANG AJAR KAU! BERANI KAU BERKATA SEPERTI ITU KEPADA SAYA!" Marina menunjuk kasar wajah Christina.

"MEMANGNYA KENAPA? LO PIKIR GUE TAKUT, HAH?!" Christina melotot murka.

"Ma, sudah." Sara menyentuh pundak sang Mama. "Kita nggak usah ngeladenin orang kayak dia ini," dia menatap Christina sinis. "Buang-buang tenaga aja."

Marina menghela napas panjang, lalu tersenyum membelai pipi Sara lembut. "Iya, Sayang. Kamu benar."

"Lebih baik kita pergi ke rumah sakit aja, Ma. Untuk mengobati wajah aku," keluh Sara cemberut.

"Ayo kita ke rumah sakit." Marlina tersenyum manis. Keduanya meninggal Christina begitu saja.

Christina bergegas masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan kasar. Ia melemparkan diri ke atas kasur, menelungkupkan badannya di tempat tidur.

"Gue harus menguasai kembali harga bokap gue! Bagaimanapun caranya!" geram Christina kesal. "Gue berjanji, nggak akan biarin mereka menghambur-hamburkan uang bokap gue lagi!"

"Tapi ... gimana caranya? Gue 'kan nggak ngerti soal perusahaan kayak gitu." Christina mendengus kesal. Ia mengubah posisi tubuhnya menjadi terlentang, memandang langit-langit kamarnya dengan wajah bingung.

Lampu di kamarnya sesekali berkelip. Christina memandanginya.

Gue harus minta tolong sama seseorang! batin Christina bertekad. Ia kembali menghela napas kasar. "Tapi sama siapa? Gue 'kan nggak punya teman atau orang yang bisa ngajarin gue!"

"Mana lagi ...," Christina terkekeh geli. "Gue kelewatan pintar. Alias bodoh!"

"Udah ah." Christina duduk. "Mendingan gue minum susu, buat makin pinter." Dia ke luar menuju dapur.

Christina duduk di meja bar. Dina tengah membereskan kitchen set sampai tidak menyadari kedatangannya. "Din?"

"Iya, Mbak?" Dina spontan berbalik, sedikit kaget.

"Tolong buatin gue susu, yak." Christina tersenyum lebar.

Dina mengangguk sambil tersenyum sopan. "Baik, Mba." Ia segera mengeluarkan bahan-bahannya dari dalam kulkas.

Christina memperhatikan Dina tengah sibuk meracik susu. "Memangnya tadi kenapa, sih? Sampai Nenek Lampir marah sama lo?"

Jantung Dina berdegup kencang. Ia segera menggeleng sambil tersenyum kaku. "Tidak ada apa-apa, Mba."

Christina terkekeh. "Lo jangan bohong sama gue, Din. Lo tahu 'kan lo itu gak cocok jadi tukang bohong," candanya.

Dina menunduk sedih. "A-aku cuma nggak mau lagi Mba ribut sama Nona Sara gara-gara saya." Tersirat ketakutan di nada suaranya.

Christina lantas tertawa. "Lo nggak usah takut sama Duo Siluman Ular itu. Mereka nggak bakalan bisa pecat lo." hiburnya. "Udah, cerita saja." Ia tersenyum semringah.

Dina menyajikan susu itu ke depan Christina.

"Jadi lo masih enggan cerita, nih?"

Dina menggeleng cepat. "B-bukan gitu, Mba," jelasnya gugup, tak enak.

"Makanya cerita, dong. Gue penasaran, tahu," bujuk Christina terkekeh.

Dina menunduk dalam sambil memainkan ujung celemeknya. "A-nu... tadi nona Sara marah ... karena cowok yang dia suka mau mengajari saya, Mba," jelasnya pelan.

"Cowok yang dia suka?" Christina mengernyit. "Memangnya siapa?"

Pipi Dina memerah. Ia tersenyum malu-malu. "Itu ..." Terlintas sosok cowok itu di benak Dina. "dia cowok Most Want di sekolah kami, Mbak."

"Cie... Cie... Kayaknya lo juga suka sama cowok itu, yak?" goda Christina menyelidik.

Dina menggeleng cepat. "T-idak kok, Kak!" sangkalnya gugup.

Christina bertopang dagu sambil tersenyum menggoda. "Memangnya siapa namanya?"

Dina semakin tersenyum malu-malu. Senyum cowok itu begitu terngiang-ngiang di benaknya. "Namanya ...."

***

Christoper membuka pintu rumahnya, lalu berdiri di sisi pintu, mempersilahkan babysister Clara masuk lebih dahulu, karena sedang menggendong adiknya yang tengah terlelap.

"Bawa langsung ke dalam kamarnya ya, Wi." pinta Christoper.

"Baik, Tuan."

Christoper menutup pintunya kembali, lalu menguncinya. Rumah cowok itu begitu gelap, hampir semua lampu di rumahnya telah dimatikan.

"Dari mana aja lo?"

Christoper tersentak. Seketika langkahnya terhenti. Ia berpaling ke sumber suara yang berasal dari sofa ruang tamu.

"Nando? Apa itu lo?" Christoper meraba-raba dinding, mencari sakelar lampu. Lampu seketika menyala. Mata Christoper membulat.

"Kalian?" Christoper terkejut. "Kenapa kalian pada tidur di sofa?"

Niko, Vernando dan Michello asyik rebah-rebahan di sofa ruang tamu.

"Abisnya lo kelamaan, sih." protes Vernando sambil mengucek-ucek matanya.

"Lo abis dari mana sih, Bro? Lama amat," tanya Michello lalu menguap.

Christoper tersenyum kikuk, menggaruk tengkuk. "Gue ... habis ...."

Vernando, Michello, dan Niko mengernyit.

"Gue habis ...," Christoper sedikit ragu mengatakannya.

"Lo ngomong apa, sih, Bro?" tanya Vernando kesal.

Niko menguap. "Sebenarnya lo mau ngomong apa?" tambah Niko serak khas bangun tidur.

"Pasti ada yang lo sembunyikan, kan?" tuduh Michello tersenyum curiga.

Jantung Christoper berdebar-debar tak karuan. Pipinya memerah. Ia menunduk, tersenyum malu. Mulutnya terkatup rapat, seolah melarangnya untuk mengatakan apa pun.

"Oh, gue tahu!" seru Vernando teringat sesuatu.

"Apa?" Niko dan Michello menatap cowok itu penasaran.

"Ada deh!" Vernando menyengir lebar.

Niko dan Michello mendesis tajam, memutar mata malas. Mereka kembali melihat Christoper.

"Lo sebenarnya dari mana, sih?" protes Michello kesal. Ia seperti dipermainkan.