Christoper berusaha mengetik sesuatu, tetapi jemarinya kembali tertahan di atas keyboard ponselnya. Sejuta kata-kata yang ada di kepalanya, seolah hilang tertelan bumi.
Tenang, hanya tenang.
Christoper perlahan mengetik, kata demi kata tersusun menjadi sebuah kalimat.
Christoper : Hai juga. Ini dengan Christina, ya
Christoper menatap kembali pesan yang telah diketiknya itu.. Apa ini sudah benar? Gumamnya bimbang.
Christoper menghela nafas panjang, Sudahlah, ia segera menekan tombol send. Pesan itu segera terkirim lalu centang dua.
Christoper mematikan layar ponselnya, jantungnya makin berdebar-debar. Gugup menunggu jawaban dari gadis itu. Tenang, jangan tegang. Christoper meremas-remas jemarinya, berusaha mengendalikan rasa gugup.
Tring!
Christoper segera memeriksa ponselnya dan membuka pesan itu.
Christina: Yoi. Masih ingat Lo ternyata. Wkwkwk.
Christoper senyum-senyum membaca pesan itu.
Christina: Gimana kabar lo dan adik lo, Bro?
Christoper mulai mengetik.
Christoper: Baik, kamu?
Christina: Gue juga baik. Lo lagi sibuk gak hari ini?
Christoper mengernyit.
Christoper: Tidak, kenapa? J
Christina: Gue mau minta tolong sama lo. Bisa?
Christoper terkejut membaca pesan tersebut.
Christina bangkit dari posisi telungkup, beranjak dari kasur dan mengambil jaket hitam yang ditaruhnya di sandaran kursi belajarnya.
Tok...Tok...Tok...
Secepat kilat, Christina menghapus bercak air mata di pipinya.
"Siapa, Hah?!" tanya Christina ketus.
"Ini gue ... Valentino," jawab Valentino lembut. "Gue mau ngomong sebentar sama lo. Lo bisa keluar sebentar?"
Sorot mata Christina berubah tajam. Ia menatap penuh kilat amarah pintu putih itu, yang di baliknya terdapat Valentino.
"Tin?" panggil Valentino, memastikan. "Lo dengar gue, kan?"
Christina berdecih. Ia bergegas menuju pintu, lalu membukanya kasar.
"Apa?!" bentak Christina.
Valentino tersentak kaget, langsung menciut. Ia tersenyum lembut. "L-lo jangan marah dulu, Tin. Gue ke sini cuma mau minta maaf, gua sama sekali bermaksud untuk menyakiti hati lo." Valentino memandang Christina penuh rasa penyesalan.
Christina berdecih. "Sudahlah," Ia menabrak bahu Valentino dan pergi meninggalkannya begitu saja.
"Lo mau ke mana, Tina!?" seru Valentino saat Christina mulai menjauh.
Christina tidak menjawabnya.
"Apa jangan-jangan dia mau ke jembatan itu seperti waktu dulu?" Valentino buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu mengetik cepat sebuah kalimat singkat.
Valentino: Christina pergi, buruan lo tahan dia! Jangan biarkan dia lolos!
★★★
Gelas jus alpukat terletak di atas meja, hanya menyisakan setengah. Lagu classic bersenandung merdu. Paduan suara biola dan piano membuat suasana di restoran itu terasa begitu romantis.
Gadis berambut sebahu itu memainkan ponselnya dengan wajah murung. Ia hanya bolak-balik memutar video di YouTube. Namun, semua video yang telah ditontonnya terasa membosankan.
Atau mungkin ... berasal dari hatinya. Atau ada yang salah dengan dirinya?
Hidup Christina terasa hampa, bagaikan lembaran foto hitam-putih yang tak berwarna. Seperti ada lubang hitam dalam hati gadis itu. Yang seorang pun tidak mungkin bisa memahaminya. Kecuali dia sendiri.
Saat-saat seperti ini, ketika dalam kesendirian, kenangan kelam di masa kembali berputar bagaikan video di benaknya.
Flashback on.
Seorang gadis kecil yang ceria dengan senyum manisnya, membuat siapa saja yang melihat dia, pasti mengatakan, dia adalah anak yang sangat beruntung di dunia.
Memiliki orang tua yang mengasihinya, selalu menjaganya dengan sepenuh hati, memiliki harta berlimpah, membuat kehidupan gadis itu sempurna.
Memiliki seorang Ayah pengusaha ternama di dunia. Mempunyai gedung-gedung hampir di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Perusahaan yang bergerak di bidang properti, membawa keuntungan yang besar bagi Ayahnya.
Dia bisa membeli apa saja yang dia inginkan, tanpa perlu bersusah payah. Dia tinggal meminta pada orang tuanya, dan semuanya pasti akan dituruti.
Namun, semuanya berubah dalam sekejap mata. Bagaikan diterjang ombak. Kematian Ibunya yang mendadak, menghancurkan hidupnya, seolah dia telah kehilangan separuh jiwanya.
Dia menjalankan hidup tanpa arah. Senyum ceria di wajah cantiknya seolah sirna bagai gulali terkena air. Hari-harinya berubah gelap, seperti kehilangan cahaya di tengah-tengah kekelaman.
Tidak sampai di situ kesedihannya. Beberapa tahun kemudian, Ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang wanita yang sangat dia benci.
Bukan saja dia mau merebut harta kekayaan Ayahnya, tetapi juga kasih sayangnya. Ditambah lagi anak perempuan bawaan wanita itu, membuat kasih sayang Ayahnya semakin lama semakin berkurang untuknya.
★★★
"Kakak!"
Christina tersentak, lantas menoleh ke sumber suara. Senyum gadis itu langsung mengembang sempurna. Clara tengah berlari ke arahnya sambil tersenyum semringah.
"Kakak!" Clara memeluk Christina erat. "Aku rindu sekali dengan Kakak."
Christina membalas pelukan gadis kecil itu. "Kakak juga kangen banget sama kamu, Sayang."
Christoper datang terakhir, berdiri di belakang Clara.
Christina tersenyum pada Christoper. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Makasih," bisiknya bahagia.
Christoper tersenyum.
"Kakak, Kakak!" Clara melerai pelukannya. "Nanti kita main seperti di mal itu lagi, ya?" seru Clara antusias.
Christina terkekeh, lalu mengelus rambut Clara lembut. "Iya, Sayang. Pasti! Nanti Kakak akan ajak kamu main lagi Timezone, kayak waktu itu."
"Asyik!!" Clara melompat-lompat kegirangan. "Terima kasih, ya Kakak." Ia tersenyum lebar.
Christina berpaling pada Christoper. "Duduk, Bro. Nggak capek apa berdiri terus." godanya terkekeh.
Christoper mengerjap, lalu menunduk malu, ketahuan memandangi gadis itu tanpa berkedip.
"Iya," Christoper menarik kursi di depan Christina dan duduk.
"Sini, Sayang. Biar kakak pangku." Christina mengendong Clara dan memangkunya "Adek mau makan apa? Biar kakak pesankan," tawarnya antusias.
Clara berpikir sejenak dengan wajah menggemaskan. "Tidak usah, Kak. Adek masih kenyang." Clara dengan wajah polos.
"Memangnya Adek tadi makan dengan lauk apa?" tanya Christina tersenyum.
"Ayam goreng!" seru Clara tersenyum, memperlihatkan deretan gigi susunya.
"Wah, enak dong!" Christina terkekeh, kalau dia beralih pada Christoper. "Lo mau pesan apa, Bro?" tawarnya ramah.
Christoper menggeleng sambil tersenyum. "Tidak apa, terima kasih."
"Kenapa? Memangnya lo sudah makan juga pake ayam goreng?" Christina terkekeh lepas.
Christoper terpesona ketika gadis itu tertawa, seperti ada aliran listrik yang mengalir di pembuluh darahnya, menentramkan perasaannya.
"Saya hanya belum lapar saja." Christoper tersenyum.
"Oh begitu," Christina manggut-manggut dengan pipi memerah.
★★★
Clara tertidur di pangkuan Christina. Setelah beberapa lama mereka mengobrol, akhirnya gadis kecil itu terlelap. Memang, saat ini adalah waktu tidur Clara.
Christina tersenyum memandangi wajah polos Clara. Wajah gadis kecil itu begitu lucu. Bulu matanya lentik, hidupnya mancung, bibirnya merah muda, dengan kelopak besar.
Christina jadi teringat, saat dirinya sering tertidur di pangkuan Mama atau Papanya saat sedang menghadiri pesta. Karena begitu lama acara itu berlangsung, Mamanya pasti menggendongnya dan membelai rambutnya supaya terlelap. Ia masih bisa merasakan, betapa nyamannya dia berada di pangkuan mereka.
Christoper terenyak saat air mengalir dari mata gadis itu.
"Christina," panggil Christoper. "Are you oke?" tanyanya cemas.
Christina tersentak, secepat kilat dia menghapus air mata di pipi. Ia tersenyum. "Gue nggak apa-apa, kok." Ia segera menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.
Seketika terlintas kejadian di club kemarin di benak Christoper. "Kenapa kamu menangis?" tanyanya hati-hati. "Apa ...," Christoper hati-hati memilih kata-kata. "kamu mengingat sesuatu?"
Christina terperangah. Sangat terkejut karena Christoper bisa mengetahui isi pikirannya.
"Kok lo—" Christina menggeleng pelan. Nggak ... Nggak ... Gue nggak boleh kasih tahu dia.
"Ada apa?" Christoper menatap Christina lembut.
"Nggak apa." Christina tersenyum kikuk. Ia kembali melihat Clara dengan tegang.
Christoper tersenyum. Meskipun Christina berbohong, namun dia bisa mengetahui dari mata gadis itu bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.
"Ya sudah, Bro, kasihan Clara, mendingan lo pulang aja. Kasihan adik lo tidur kayak begini, pasti dia nggak nyaman." Christina tersenyum, mengalihkan kecanggungan di antara mereka.
Christoper mengangguk. "Baiklah." Ia bangkit berdiri, mendekati Christina. Christina memberikan gadis kecil itu pada Christoper.
Christoper menggendong Clara, meletakkan kepala gadis itu di pundaknya. Ia mengambil ponselnya di saku celana untuk menelepon babysister Clara. Namun, dia kesulitan.
"Pasti lo mau mengambil ponsel, yak." tebak Christina terkekeh.
Christoper tersenyum malu. "Iya. Bisa tolong ambilkan?"
"Siap." Christina tersenyum dengan senang hati. Ia bangkit berdiri, membantu Christoper mengambilkan ponselnya dalam saku celana.
"Nih," Christina menyodorkan ponsel cowok itu. Christoper berusaha mengambilnya. Christina menariknya kembali. "Sudah, gue aja yang bantu Lo. Nanti Clara jatuh lagi. Lo mau nelpon siapa?"
Christoper tersenyum. "Terima kasih, tolong hubungi Dewi, ya?"
Christoper membuka kontak, mencari nama Dewi, lalu menekan tombol memanggil dan mendekatkannya ke telinga.
"Dewi, tolong ambil Clara ke sini, ya?"
"Baik, Tuan."
"Terima kasih." Christoper menjauhkan telinganya dari benda pipi itu. Christina mematikan salurannya.
"Terima kasih banyak," Christoper tersenyum.
Christina menyengir lebar. Pipinya memerah. "Yoi! Santai waja "
Tak lama kemudian, Dewi datang. Lalu dia mengambil Clara dari gendongan Christoper.
"Kamu duluan aja, nanti saya menyusul." suruh Christoper pelan.
Dewi mengangguk sopan. "Baik, Tuan." Dewi kembali ke mobil.
"Kenapa lo masih di sini?" tanya Christina.
"Saya mau bayar bill-nya dulu." Christoper tersenyum sambil kembali duduk, ia mengambil dompet dari saku celananya.
"Enggak usah!" potong Christina cepat. "Biar gue aja yang bayar. Kan gue yang ngajak lo ke sini," sergah Christina.
"Tidak apa-apa, biar saya saja yang bayar." Christoper tersenyum, lalu mengangkat satu tangannya. "Tolong, bill-nya."
Seorang pelayan datang sambil membawa buku hitam berisi sepucuk kertas putih, ia meletakkannya di depan Christoper.
"Ini dia bill-nya, Tuan."
Christoper menaruh beberapa lembar uang ke dalamnya, menutupnya kembali lalu memberikannya pada pelayan itu.
"Terima kasih, Herry." Christoper tersenyum ramah.
"Baik, Tuan." Herry mendekatkan mulutnya ke telinga Christoper. "Pacar lo, yak?"
Seketika pipi Christoper memerah. "Bukan, kok."
Herry tersenyum. "Ya sudah, terima kasih, Tuan Muda." Pelayan itu pergi meninggalkan mereka.
"Lo kenal sama pelayan di sini?" tanya Christina kagum.
"Tidak, kok. Hanya dengannya saja." Christoper tersenyum.
Christina fokus memandangi wajah Christoper. "Lo punya alergi, ya?"
Christoper mengernyit. Ia menggeleng pelan. "Tidak, kenapa?"
"Kenapa pipi lo merah begitu?" tanya Christina polos.
Refleks, Christoper memegang pipinya. "Memangnya iya?" tanyanya menahan malu.
Christina mengangguk. Ia terkekeh "Habisnya kulit lo putih banget kek kapas."
Christoper tersipu malu, ikut terkekeh.
"Sudah, sana, buruan lo pulang. Kasihan Clara," suruh Christina disela-sela tawanya.
"Kamu pulang naik apa?" tanya Christoper. "Biar saya sekalian antar."
"Sudah, lo pulang saja." tolak Christina halus. "Gue bisa pulang sendiri, kok."
"Tapi—"
"Sudah, lo pulang saja. Gue punya sopir pribadi." Christina terkekeh.
"Begitu, ya." Christoper tersenyum, berusaha mengerti privasi Christina. "Kalau begitu, saya
pamit dulu, ya." Christoper bangkit berdiri.
"Hati-hati yak." Christina tersenyum cengengesan.
Christoper tersenyum. "Kamu juga,"
"Pasti."
"Bye ..."
"Bye ..." Christina melambai sambil tersenyum.
Christoper melangkah menjauh, lalu dia menghilang dari pandangan Christina.
Christina menghela napas kasar. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ia menekan nomor seseorang, mendekatkan ponselnya ke telinga.
Sambungan telepon tersambung, seseorang dari seberang sana mengangkat panggilannya.
"Halo"
"Woi, jemput gue! Buruan!"
"Busyet! Lo kira gue ini sopir lo."
"Buruan!"
Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Oke. Lo di mana?"
"Gue di restoran," ketus Christina, masih kesal dengan kejadian di rumah tadi.
"Ngapain lo di sana?" tanya Valentino.
"Gak usah banyak omong! Buruan jemput gue!!" Lalu Christina memutuskan sambungan teleponnya begitu saja.