CHRISTOPER berusaha menerobos kerumunan orang yang tengah berjoget di dance floor. Kilatan lampu blitz memantul tak karuan. Dentuman musik DJ terdengar sangat keras, memekakkan telinga Christoper. Teriakan kegirangan dari para pengunjung menggema di ruangan itu.
Christoper mengedarkan pandangannya, berusaha mencari keberadaan Michello serta adiknya, Marcello.
Bruk!
Christoper tersentak. Refleks menangkap gadis yang menabraknya ketika akan terjatuh. Mata Christoper membulat sempurna, dadanya bergejolak.
Gadis ini?
Christoper terpaku cukup lama memandang gadis itu. Hingga lupa di mana dirinya berada sekarang dan tujuannya datang ke sini.
Gadis itu berusaha kembali bangkit berdiri dengan gontai. Di tangannya dia memegang botol minuman beralkohol.
Gadis itu tertawa tak jelas dengan mata setengah terpejam, seolah sudah sangat mabuk berat.
Hati Christoper ikut teriris. Pasti telah terjadi sesuatu pada gadis ini, sampai melakukan hal negatif sebagai wujud pelampiasan. Seperti sahabatnya, Michello dan Niko.
"Apa kamu ...," Christoper hati-hati memilih kata-kata. "baik-baik saja?" Sepertinya, gadis itu telah begitu banyak menegak alkohol.
Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
Christoper mengernyit, baginya tak ada yang lucu.
Gadis itu menatap Christoper dengan mata memerah. "Maksud lo apa, Hah!?" ejeknya. "Lo buta!? Lo bisa lihat sendiri kalau gue baik-baik saja!" balasnya menantang.
Gadis itu kembali menegak minumannya sembari berdiri semakin gontai, seakan bisa terjatuh kapan saja.
Christoper merentangkan kedua tangannya, berusaha menjaga gadis itu jika sewaktu-waktu terjatuh tanpa diduga.
"Btw ...," Gadis itu menyipitkan mata. "Lo siapa, sih?" tanyanya sedikit melantur.
"S-saya ...," Christoper berusaha mencari kata-kata.
Gadis itu mendekati Christoper, menjinjit untuk menatap cowok itu lebih dekat. Dengan kesadaran minim dia berusaha meneliti setiap sudut wajah cowok itu.
Christoper menahan napas, menegang. Jantungnya berdegup tak karuan. Pipinya memerah.
Senyum tersungging di bibir gadis itu. "Lo ganteng amat, dah!" Ia terkekeh tak karuan. Bau menyengat alkohol menyeruak dari mulutnya.
"CHRISTINA!"
Seorang cowok menarik lengan gadis itu ke dekatnya, lalu menatap Christoper tajam. "Lo siapa!?" tanyanya ketus.
Christoper tersentak kaget, namun berusaha tetap tersenyum sopan. "S-aya ... hanya menolong dia saja," jelasnya agak gugup.
Valentino tak merespons. Ia segera mengangkat gadis itu ke bahunya. Gadis itu langsung meronta-ronta dan berteriak-teriak hingga memukul-mukul punggung cowok itu. Valentino hanya diam dengan wajah datar dan tetap membawa gadis itu pergi menjauh.
Christoper memandangi kepergian mereka sampai menghilang dari pandangannya, ikut bercampur ke antara kerumunan orang.
Siapa cowok itu? Apa dia pacar gadis tersebut? batin Christoper. Hatinya seolah ada yang menusuk. Jadi gadis itu bernama Christina?
Suara pecahan kaca membuyarkan lamunan Christoper. Terdengar suara keributan di suatu titik.
Christoper berpaling ke sumber arah. Michello! Ia bergegas pergi ke sana untuk memeriksa.
Kerumunan orang menghalangi pandangan Christoper. Ia berusaha menerobos.
"Permisi, permisi ...," ujar Christoper sopan.
Sampai di depan, Christoper terbelalak sempurna.
Sahabatnya itu mengamuk tak jelas hingga menonjok salah satu pengunjung Club sampai babak belur. Pecahan kaca berserakan di mana-mana. Beberapa cowok berusaha menahan Michello agar jangan kembali menonjok sang korban.
Christoper berlari ke arah Michello, bergegas menahannya dari belakang. "Tenang, Bro! Sadar!!" teriak Christoper.
"LEPASIN GUE!!" Michello berbalik, refleks menonjok rahang Christoper. Christoper terhuyung-huyung hampir jatuh.
"LO GAK USAH GANGGU GUE!!" Mata Michelle memerah akibat alkohol. Terpancar aura membunuh di wajahnya. Tubuhnya sedikit gontai.
"KO! TENANG, KO! SADAR!" teriak Marcello kalang kabut.
"DIAM LO!" maki Michello menunjuk ke arah adiknya.
Kerusuhan itu mengundang perhatian banyak orang. Hampir seluruh pengunjung club berkerumun di sekeliling mereka, menonton.
"Sorry, Bro ...."Christoper mendekati Michello dari belakang dan menghantam tekuknya. Michello seketika pingsan.
***
Christoper dan Marcello memapah Michello menuju ke lobi.
Vernando geleng-geleng sambil berjalan di belakang mereka. "Nih orang mabuk nyusahin orang aja kerjaannya!" sungutnya.
"Sebaiknya lo diam. Nih ...!" Niko melemparkan sebuah kunci mobil ke arah Vernando. Tak siap, Vernando kelimpungan menangkapnya. "Mending lo bawa mobil Michello ke sini," suruh Niko datar.
"Enak aja! Memangnya lo siapa biasa nyuruh-nyuruh gue!?" ketus Vernando, tetapi tubuhnya tidak menolak mengikuti perintah Niko. "Dasar, Pemalas! Ya udah! Tunggu sini!" Cowok itu segera pergi meninggalkan mereka menuju tempat parkir.
"Sorry, karena udah merepotkan kalian semuanya gara-gara ulah Koko gue," ujar Marcello dengan wajah putus asa.
"Hm," sahut Niko datar.
Christoper tersenyum ramah. "Tidak masalah, Bro. Santai saja."
Sebuah mobil Ferrari putih berhenti tepat di depan mereka. Vernando segera turun dengan wajah ketus.
"Nih kuncinya! Udah gue bawa mobilnya! Puas!" sindir Vernando pada Niko.
Niko mangut-mangut tanpa ada raut penyesalan.
Christoper dan Marcello memapah Michello untuk memasukkannya ke kursi penumpang.
"Makasih ya, Guys." Marcello tersenyum pada mereka bergantian.
Christoper tersenyum. "Iya, sama-sama."
Niko mengangguk singkat."Iya! Tapi, ingat! ini untuk terakhir kalinya!" ketus Vernando. "Masa iya selama gue hidup, tengah malam gue harus keluar cuma gara-gara ngurusin Koko lo doang!"
Niko menatap Vernando tajam. "Biasa aja kalau ngomong," sinis Niko.
"Memangnya kenapa!?" sewot Vernando tajam.
Christoper tersenyum tak enak pada Marcello. "Tak usah kamu masukkan dalam hati ucapan Vernando, ya. Dia cuma bercanda saja."
"Gue serius!" sela Vernando tanpa dosa.
Niko sontak menginjak kaki Anak Mami itu.
"ADOH!" Vernando menjerit kesakitan sambil loncat-loncat kesakitan. "APA MAKSUD LO APA INJAK KAKI GUE SEMBARANGAN, HAH!? NGAJAK GELUT!?"
"Gue cabut duluan." Niko pergi meninggalkan mereka begitu saja.
"WOI! TUNGGU, MUKA TRIPEKS! JANGAN KABUR LO!!" teriak Vernando makin menggebu-gebu
"Gue juga mau pamit. Duluan, semua," pamit Marcello.
Christoper mengangguk ramah. "Iya, Bro. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue saja."
Marcello mengangguk sambil tersenyum. "Makasi—"
"Dengar, tuh!" sergah Vernando ketus. "Hubungi Christoper, bukan gue!"
Christoper segera merangkul Vernando sambil tersenyum lebar pada Marcello. "Iya, Bro. Sama-sama. Sebaiknya lo segera pulang. Kasihan Michello. Biar dia bisa cepat istirahat."
Marcello mengangguk. "Gue duluan," dia tersenyum singkat sebelum masuk ke mobil dan pergi meninggalkan Club.
Vernando menatap Christoper kesal. "Lo kenapa, sih? Kayak nyuruh gue nggak boleh ngomong."
Christoper tersenyum. "Bukan begitu. Tapi gue takut adiknya Michello tersinggung dengan ucapan kamu itu, Bro," jelasnya. "Ya sudah, tidak perlu dibahas. Sebaiknya kamu pulang saja. Kamu pasti mengantuk, kan?"
Vernando langsung menguap lebar sambil mengangguk. "Abis ini lo mau ke mana, Bro?" tanyanya.
Christoper tersenyum kikuk, berusaha mencari alasan. "Gue ... ada urusan di sini dulu sebent—"
Vernando terbelalak, sampai berhenti menguap. "LO MAU MABUK, BRO?!"
"Bukan!" Christoper menggeleng cepat.
"Terus!?" sergah Vernando curiga.
Christoper menggaruk tengkuknya. "G-gue ..." Hati Christoper bergejolak, terlintas sebuah ide di benaknya. "Gue sebenarnya ada meeting sebentar di sini. Kebetulan klien gue yang mengajak meeting di club ini." Christoper tersenyum kaku, berusaha bersikap normal. "Sebaiknya lo pulang saja. Gue harus segera masuk, tidak enak membuat klien gue menunggu lama-lama."
Vernando mengelus-elus dada. "Lega gue, Bro. Gue pikir, lo juga mau ikut-ikutan mabuk." Cowok itu geleng-geleng frustrasi. "Gue nggak tahu lagi harus ke rumah sakit jiwa mana kalau lo sampai ikut-ikutan mabuk kayak Niko dan Michello. Gue bisa stres, bahkan gila, kalau hampir tengah malam harus ngurusin kalian ketiga, seandainya buat kekacauan di club."
Christoper terkekeh kikuk. "Itu tidak mungkin, Bro. Ya sudah, ya," ia menepuk pundak Vernando singkat. "Gue masuk dulu. Tidak enak dengan klien gue."
Vernando tersenyum lebar. "Good luck, yak, Bro." Ia mengacuh kedua jempol, semangat.
Christoper tersenyum sembari mengangguk sebelum kembali masuk ke club.
***
Hampir satu jam Christoper berputar-putar mengelilingi kelab, berusaha mencari keberadaan gadis itu di antara kerumunan orang yang berjoget riang. Tetapi, hasilnya nihil.
Christoper berhenti sejenak, memandang kerumunan orang di sekelilingnya saksama. Di mana gadis itu? Kenapa dia tidak ada di mana pun juga? batinnya bingung.
Apa dia sudah pul— Christoper segera menggeleng-geleng cepat, berusaha menepis jauh-jauh niat anehnya ini. Apa yang sudah kamu lakukan, Christoper!? Apa kamu sudah gila!? Dia sudah punya pacar! rutuknya dalam hati.
***
Christoper tiba di rumah. Ia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Cowok itu melirik jam di pergelangan tangan. Pukul tiga subuh. Ia mendekap mulut sambil menguap. Rasa kantuk semakin menyerbunya. Untunglah, dia masih memiliki waktu sejenak untuk tidur sebelum berangkat ke Sekolah.
"KAKAK!"
Cristoper tersentak kaget, sontak menoleh ke arah ruang TV yang gelap.
"Sayang?" panggil Christoper memastikan. Ia meraba dinding, menekan sakelar lampu. Seketika ruangan itu menyala terang.
Clara duduk di sofa TV sambil melipat tangan di depan dada dengan wajah cemberut. Bibirnya manyun dengan wajah kesal.
Christoper tersenyum manis sambil berjalan mendekati adiknya. "Kenapa kamu malam-malam masih duduk di sini, Sayang? Kenapa tidak tidur?" Ia duduk tepat di samping Clara.
"Kakak daritadi ke mana saja?!" omel Clara dengan raut menggemaskan.
Christoper tersenyum, berusaha mencari alasan yang tepat. "Kakak tadi cuma mencari angin saja seben—"
"BOHONG!!" sergah Clara. Tersirat kekecewaan di suara gadis berusia lima tahun itu.
Christoper mengelus-elus rambut Clara lembut. "Kakak tidak bo—"
"BOHONG!" bentak Clara. Air menggenangi pelupuk matanya. "KAKAK SELALU SIBUK! SAMPAI TIDAK PUNYA WAKTU UNTUK MENEMANI ADIK TIDUR!"
Christoper tertegun, seakan ada menghantam dadanya. Begitu menyakitkan. Ia tersenyum manusia mengusap air mata Clara. "Bukan begitu, Say—"
Clara menepis tangan Christoper kasar. Christoper terpaku tak percaya.
"KAKAK JAHAT!!"
Clara lari meninggalkan Christoper sambil menangis histeris.
"Sayang! Tunggu!" Christoper segera mengejar Clara. "Dengarkan penjelasan Kakak dulu! Kamu hanya salah paham! Kakak minta maaf!"
Clara melesat masuk ke kamar dan membanting pintunya kasar. Sontak Christoper berhenti di depan pintu dengan perasaan bergejolak.
"Sayang, tolong buka pintunya." Christoper mengetuk-ngetuk pintu kamar Clara. "Izinkan Kakak jelaskan semuanya padamu. Kamu cuma salah paham saja, Sayang."
Tak ada jawaban.
"Sayang? Apa kamu dengar Kakak?" panggil Christoper penuh harap.
Tak ada balasan dari dalam kamar.
Hati Christoper hancur porak-poranda. Lagi-lagi, dia mengecewakan adiknya.
Christoper tersenyum, berusaha mengendalikan perasaan yang kacau-balau. "Sayang?" dia mengetuk pelan pintu. "Katanya kamu mau tidur dengan Kakak, kan? Ayo biar Kakak temani. Tetapi tolong buka pintunya dulu, ya, Sayang. Nanti Kakak janji, akan membacakan dongeng untukmu," bujuk Christoper penuh harap.
Tetap, tidak ada jawaban sama sekali.
"Kakak mohon, Sayang...," lirih Christoper menempelkan dahinya ke pintu. "Kakak mohon, buka pintunya. Kakak benar-benar minta maaf ...." Suaranya sedikit bergetar menahan tangis. "Kakak tidak tahu kalau kamu sedang menunggu Kakak pul—"
"PERGI SANA! JANGAN GANGGU ADEK!! KAKAK MEMANG TIDAK PEDULI DENGAN AKU! SEPERTI MAMA DAN PAPA!" teriak Clara dari dalam.
Christoper terpaku, bagaikan ada belati yang tertancap di hatinya. Begitu menyakitkan. Air mulai menggenangi pelupuk mata cowok itu. Perkataan Clara seolah tamparan keras.
Christoper berusaha menahan tangis, kata-kata tak mampu keluar dari bibirnya. "Kenapa ...," Suaranya makin bergetar hebat. Dadanya sesak. "Kenapa kamu sampai bilang begitu, Sayang?" Air matanya jatuh tak tertahan.
Christoper menyandarkan dahinya ke pintu putus asa. Diam-diam dia menangis. "Kakak sayang sekali denganmu, Sayang, begitu juga dengan Papa dan Ma—"
"DIAM!" Pintu berdentum keras akibat dilempar barang sehingga bergetar hebat. Sontak Christoper mundur.
Christoper menangis dalam diam sambil menunduk. Kakak benar-benar minta maaf, Sayang. Kakak tidak bisa menjadi kakak yang baik yang bisa membahagiakanmu.
Christoper bersandar lesu pada pintu. Air matanya tak bisa berhenti mengalir. "Tidak apa, Sayang. Kalau kamu tidak mau keluar," dia berusaha agar jangan menangis. "Kakak akan tunggu kamu di sini sampai kamu mau maafkan Kakak," lirih Christoper.
Perlahan Christoper merosot hingga terduduk menyentuh lantai. Ia terisak-isak pelan sembari mencengkeram rambutnya kuat-kuat. Kenapa... kenapa semuanya jadi seperti ini?
***
Malam berubah menjadi pagi.
"Tuan?" Dewi menepuk lembut lengan Christoper. "Tuan kenapa tidur di sini?"
Christoper mengangkat kepalanya. Dewi terlihat samar-samar. Ia mengernyit. Butuh beberapa detik untuk mengumpulkan segenap kesadarannya. "Dewi? Ada ap—" Christoper terbelalak, sontak melonjak berdiri. "Oh, ya! Clara mana? Apa dia sudah keluar?"
Dewi mengernyit bingung. "Memangnya ada apa dengan Clara, Tuan?"
Christoper segera mengetuk-ngetuk pintu kamar Clara. "Sayang, kamu di dalam?" panggilnya lembut.
Tak ada sahutan.
Lagi-lagi, Christoper harus menelan kenyataan pahit. "Kamu masih marah dengan Kakak, ya Sayang?" tanyanya lirih. "Kakak benar-benar minta maaf... Kakak memang salah, Kakak janji tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang kamu keluar, ya. Kakak akan menuruti semua permintaan kamu." bujuk Christoper penuh harap.
Pintu seketika terbuka. Christoper tersentak kaget. Clara muncul dengan mata sembab. Wajahnya memerah akibat menangis.
Christoper langsung memeluk Clara sangat erat. Ia menangis. "Kamu jangan lakukan ini lagi, ya Sayang." pintanya terdengar frustrasi. Ia melepaskan pelukannya, menatap Clara berlinang air mata. "Kakak benar-benar sedih."
"Kakak tadi bilang, akan melakukan apa saja untuk menuruti keinginanku, kan?" tanya Clara lirih.
Christoper tersenyum manis. Ia menyelipkan rambut Clara ke belakang telinganya dengan wajah berseri-seri. "Tentu."
"Adek mau Mama," tegas Clara.
Christoper terdiam seribu bahasa. Butuh beberapa detik untuk dia kembali ke dunia nyata.
"Kakak?" Clara melambai-lambaikan tangan dekat wajah Christoper. "Kakak dengar aku, kan?"
Christoper tersentak, lantas tersenyum. "Ya, Sayang? Kamu tadi bilang apa?" Ia berlagak linglung.
"Aku mau Mama, Kak!" decak Clara kesal.
Christoper berusaha menemukan kata-kata sambil tersenyum. "Iya, nanti Kak—"
"Aku maunya sekarang!" tuntut Clara kesal.
Christoper tersenyum sembari mengusap pipi Clara lembut. "Pasti, Sayang. Nanti Kakak akan—"
"AKU MAUNYA SEKARANG, KAK!" rengek Clara menangis.
Menyadari Christoper dalam kesulitan, Dewi tersenyum. "Sebentar lagi Mama pulang kok, Sayang. Adek tenang saja, ya."
"Tapi kapan, Kak Dewi?!" teriak Clara kecewa dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah terlalu lama menunggu!"
Dewi bungkam.
Christoper tersenyum manis, berusaha menenangkan gadis mungil. "Kakak dengar ada Barbie baru, loh. Kamu mau ke sana? Nanti kita beli yang banyak?"
Wajah Clara langsung berbinar. "Yang benar, Kak?" Senyumnya mengembang sempurna.
Christoper mengangguk. "Tentu, Sayang. Ayo kita beli?"
Clara mengangguk antusias. "Ayo!"
★★★