2 Tahun kemudian.
Christoper fokus membaca setiap lembaran map di tangannya. Sesekali cowok itu membalikkan halaman untuk melihat selanjutnya. Setelah selesai, Christoper meletakkannya kembali ke meja dan mengambil map lain. Namun, matanya malah terkunci pada sebuah bingkai foto yang bertengger indah di sebelah laptopnya.
Sejenak Christoper memandangi foto itu begitu dalam. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat. Ia mengambil bingkai itu untuk melihatnya lebih jelas.
Christoper bersandar ke kursi. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Dengan lembut jemarinya mengusap setiap wajah yang ada di sana.
Kuharap kita akan bertemu lagi, batin Christoper lirih. Rasa rindu menyeruak melingkupi hatinya.
Foto itu mengingatkan Christoper pada peristiwa dua tahun lalu. Waktu itu langit begitu cerah. Matahari bersinar terang. Namun, tidak bagi cowok itu. Hari tersebut seolah mendung dan gelap. Seakan mimpi buruk yang tak pernah dia harapkan.
Flashback on.
"Namun," Lilyana menunduk dalam. Kalimatnya menguap begitu saja.
Christoper mengernyit bingung. "Namun apa, Ma? Apa telah terjadi sesuatu?" tanyanya semakin khawatir.
Lilyana tersenyum sembari menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Semuanya baik-baik saja," sangkalnya lembut.
Christoper menatap Mama lekat, menyelidiki. Terpencar kesedihan mendalam di sorot mata Lilyana begitu jelas.
"Jangan bohong, Ma. Katakan saja padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" pinta Christoper.
"Sungguh, Sayang. Tidak ada apa-apa." Lilyana terkekeh sedikit gugup.
"Ma ...," Christoper meraih tangan Lilyana dan menggenggamnya erat. "Jangan sembunyikan apa pun dari aku. Aku mohon ...," pinta Christoper sedih.
Lilyana menunduk dalam, hatinya sangat sakit. Ia tidak tahu harus memulainya dari mana.
Bagaimana ini? batin Lilyana berlinang air mata.
"Ma," panggil Christoper penuh harap. "Tolong, katakanlah,"
"Sayang," Lilyana berusaha menahan perasaannya yang hancur porak-poranda.
"Mama harus pergi," Suara wanita itu terdengar serak.
Christoper terdiam, berusaha menelaah maksud kalimat itu. Akhir-akhir ini, memang Lilyana sering pergi ke luar kota untuk memantau perusahaan di berbagai cabang. Dan, seperti biasa, Lilyana pasti akan memberitahunya beberapa hari sebelum berangkat.
Tetapi entah kenapa, kali ini berbeda. Seolah Mamanya akan pergi meninggalkannya. Seperti yang telah sang Papa lakukan.
"Maksud Mama?" Christoper pura-pura bingung. "Mama akan pergi keluar kota, begitu?" lanjutnya.
Lilyana tak berani mengangkat kepalanya untuk menatap mata Christoper. Air mata Lilyana meluncur bebas membasahi bajunya.
"Bukan, Sayang." Suara Lilyana terdengar bergetar menahan tangis. "Bukan keluar kota," jelasnya lirih.
Christoper terdiam seribu bahasa, hingga tak mampu berkata-kata. Hatinya sangat hancur bak ditancap belati mendengar kalimat itu.
"Lalu ...," dia berusaha keras mengendalikan perasaannya yang hancur luluh lantak. "Mama mau pergi ke mana?" tanyanya lirih.
Lilyana tersenyum lembut, menghapus air mata yang mengalir di pipi anaknya.
"Mama hanya mau pergi refreshing saja, Sayang. Kenapa kamu sampai menangis seperti itu?" Lilyana terkekeh kecil.
"Refreshing?" Christoper mengernyit, ragu.
"Tetapi kenapa mendadak seperti ini, Ma? Berapa lama Mama akan pergi dan di mana tempat refreshing itu?" tanya Christoper cepat, seolah tengah menginterogasi.
"Kamu itu …!" Lilyana mencubit gemas pipi Christoper sambil terkekeh. "Kenapa kamu sepanik itu, Sayang? Mama tidak akan lama, jadi kamu tenang saja."
"Tetapi bagaimana dengan Clara dan Calvin, Ma?" cegat Christoper. "Mereka masih terlalu kecil buat Mama tinggal dan mereka masih membutuhkan seratus persen kehadarin Mamal. Siapa nanti yang akan mengurus mereka?" sergah Christoper, berusaha mencegah sang Mama.
"Makanya Mama datang ke sini untuk membicarakan soal itu, Sayang," jelas wanita bermata biru itu. "Mama menitipkan Clara dan Calvin padamu, kamu bisa, kan, menjaga mereka sampai Mama kembali?" Lilyana tersenyum manis penuh harap.
"Tapi—"
"Mama mohon, Sayang," Lilyana menatap Christoper memelas. "Tolong mengerti Mama sekali ini... saja."
Christoper terdiam, tak mampu
berkata-kata. Christoper berpaling ke arah lain dengan perasaan hancur dan kecewa. Christoper mengerti jika mamanya membutuhkan waktu untuk menenangkan hati dan pikiran.
Terpaksa, Christoper mengangguk pelan. "Baiklah, Ma," sahutnya, pasrah.
Lilyana tersenyum semringah. "Terima kasih banyak, Sayang! Kamu memang anak Mama yang paling pengertian."
"Tapi ...."
Lilyana mengernyit serius. "Ya?"
"Mam janji jangan pergi meninggalkan kami, ya?" Christoper menatap Lilyana sendu. "Janji?"
Mata Lilyana membulat sempurna. Ia tertegun beberapa saat, kehilangan kata-kata.
"M-maksud kamu, Sayang?" sergah Lilyana syok. "Kenapa kamu sampai bilang begitu?"
Christoper kembali menunduk, memandangi kakinya berkaca-kaca.
"Aku takut," lirih Christoper, nyaris tak terdengar. "kalau nanti Mama akan pergi meninggalkanku serta Clara dan Calvin, seperti ...," dia berusaha menjaga notasi suaranya agar jangan bergetar menahan menangis. "Papa."
Lilyana tersenyum manis, mengusap-usap pundak Christoper lembut. "Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Mama tidak mungkin meninggalkanmu dan kedua adikmu."
Christoper tak mengatakan sepatah kata pun. Hatinya sangat bimbang. Entah dia harus percaya atau tidak.
Lilyana menggenggam tangan anaknya erat. "Tolong ...," Mata wanita itu berkaca-kaca. "Percayalah pada Mama," pintanya lirih.
Christoper berusaha tersenyum, lalu membalas genggaman tangan Lilyana. "Iya, Ma. Aku percaya pada Mama." Maafkan aku, Ma. Aku sangat ragu, batin Christoper. "Aku yakin Mama tidak akan pernah meninggalkan kami."
Lilyana tersenyum manis. "Terima kasih, Sayang, karena kamu sudah memercayai Mama." Maafkan Mama, Sayang, batin Lilyana sedih.
"Iya, Ma." Christoper berusaha tersenyum. Terpaksa dia harus membohongi dirinya.
"Tolong jaga Clara dan Calvin, sekaligus juga perusahaan kita. Mama pinta kamu yang mengurus semuanya selama Mama pergi."
"Tetapi ... aku tidak bisa," lirih Christoper beralasan. "Aku belum banyak pengalaman."
Lilyana tersenyum manis. "Mama sangat yakin kamu pasti bisa, Sayang. Karena kamu, kan, anak pintar." Lilyana membelai rambut Christoper lembut. "Apalagi kamu sekarang sudah makin beranjak dewasa."
Christoper berusaha tersenyum kecil. "Baiklah, Ma. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik semampuku.
Lilyana tersenyum lebar, bahagia. "Terima kasih banyak, ya, Sayang. Kamu memang anak Mama yang paling pengertian."