Christoper, Niko, dan Michello duduk berjejer di kursi penonton paling depan, menonton pertandingan antara tim Nusa Dua dan Kesatuan Bangsa.
Pertandingan diadakan di stadion basket indoor sekolah Kesatuan Bangsa, berhubungan cuaca di luar hujan deras. Suara teriak para penonton pecah memenuhi lapangan.
Sejak tadi, jantung Christoper tak berhenti berdebar-debar kencang ketika Vernando sering gagal memasukkan bola ke dalam ring. Papan poin menunjukkan 10-20 di babak penentuan. Jika, sahabatnya kalah, harga dirinya sedang terancam.
Beberapa lama kemudian, pekik sorak kemenangan memenuhi kursi khusus sekolah Kesatuan Bangsa. Tim Vernando harus menelan kekecewaan karena kalah telak dari tim lawan.
Michello terkekeh semringah. "Kalian kalah! Sekarang tinggal pilih, mkalian mau nembak cewek yang mana! Kebetulan cewek-cewek Kesatuan Bangsa rata-rata cantik semua," ejeknya.
"Gue yakin kalian berdua udah bersekongkol supaya tim basket Nusa 2 kalah, kan?" tuding Niko tajam.
"Enak aja! Ini murni kekalahan dari tim Vernando!" sergah Michello tak terima.
Christoper menghela napas pelan. "Apa hukumannya tidak bisa diganti saja? Misalnya traktir bakmi ayam selama sebulan?"
"Mana bisa gitulah! Kalian yang sportif, dong! Cowok dipegang dari omongannya! Kalian cowok atau bukan!?"
Christoper dan Niko menghela napas frustrasi.
"Baiklah."
Christoper mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari gadis yang akan dia tembak dengan terpaksa. Ia merutuki keputusannya sendiri akibat terbujuk mulut rayu Michello. Agar-agar tak enak menolak, mau tak mau, ia harus berhadapan dengan wanita.
Seorang gadis berambut sebahu duduk di seberang lapangan sana sembari memakan popcorn. Mata Christoper membulat sempurna, terpaku pada gadis itu.
Bukankah dia ... gadis yang kulihat di mal kemarin? batin Christoper syok. Ternyata dia bersekolah di Nusa Dua?
Christoper tersenyum semringah. Apa aku menembaknya saja?
"Gue udah dapat."
Suara Niko membuyarkan lamunan Christoper. Cowok bule itu terperangah. "Secepat itu?"
"Mana?" sela Michello antusias. Niko menunjuk gadis cantik yang sedang menyeka keringat salah satu pemain basket.
"GILA LO! ITU PACAR ORANG, BAMBANG!"
"Di aturan permainan nggak ada larangan pacar orang, kan?" ujar Niko dingin.
"NGGAK KAYAK GITU JUGA KALI, BABON! MEMANGNYA LO MAU DIGEBUKIN SAMA PACAR TUH CEWEK, HAH!?" gemas Michello. Rasanya, dia ingin mencekik sahabatnya itu.
"Nggak masalah, asalkan dia nanti nolak gue," sahut Niko santai.
"Terserah lo! Pokoknya gue nggak ikut-ikutan kalau urusannya sampe ke kantor polisi!" ketus Michello jengkel. Ia berpaling pada Christoper.
"Bagaimana dengan lo, Bro? Udah dapat cewek incaran lo?"
Christoper terus memandangi cewek itu tanpa berkedip.
"Woi, Bro!" Michello melambai-lambaikan tangan dekat wajah Christoper
Christoper tersentak kaget, lantas tersenyum kikuk. "Y-ya, ada apa?"
Michello mencebik kesal. "Lo malah melamun segala lagi, Bro! Lo liati siapa, sih!?" Michello ikut memandang ke arah objek Christoper tadi, mencari-cari sosok yang mampu mencuri perhatian sang sahabat.
"Ge-gue tidak melihat siapa pun, Chel," sangkal Christoper gugup. "Tadi gue cuma bingung saja harus memilih gadis yang mana?"
"Ya elah, Bro! Nggak usah bingung segala, kali!" Michello tertawa lepas. "Pilih asal-asalan aja, nggak perlu serius amat. Lagian, nembaknya cuma main-main doang. Bukan kayak cari istri. Nggak apa salah. Besok baru putusin lagi."
Christoper terkekeh kikuk. "B-baiklah."
Vernando datang mendekati mereka setelah ganti baju. Handuk kecil melingkar di lehernya. Ia menghampiri kawan se-gengnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Vernando duduk di samping Christoper. "Gimana? Udah dapat target cewek lo, Bro?" Vernando tertawa puas.
"Lo pasti tadi main sengaja dikalah-kalahin, kan?" Niko menatap Vernando sengit.
"Kalau lo sudah tahu, ngapain nanya lagi!?" Vernando tertawa terbahak-bahak. "Wajarlah! Kalau gue berjuang menyelamatkan hidup dan masa depan gue!"
Niko mendengus kesal. Ia segera bangkit berdiri dan pergi meninggalkan mereka.
"Woi! Lo mau ke mana, Hah!? Jangan kabur!" teriak Vernando kesal.
Niko turun ke lapangan. Ia menghampiri cewek yang tengah duduk berdua dengan sang pacar di bangku khusus pemain basket.
Christoper, Vernando, dan Michello melongo tak percaya menyaksikan kenekatan Niko. Sahabat mereka itu langsung melaksanakan apa yang diucapkannya barusan.
"Sebenarnya otak Niko tersimpan di mana!? Apa dia nggak sempat bawa otaknya saat datang ke sini!?" rutuk Michello ngaco.
"Udah gila, si Niko! Itu 'kan pacar orang!"
Niko berdiri di dekat mereka. Kedua manusia itu langsung mendongak bingung.
Cewek dan cowok itu berusaha tersenyum ramah, meskipun wajahnya terlihat sedikit bingung.
"Ada apa, Bro?" tanya sang pacar.
"Apa Kakak lagi nyari sesuatu, ya?"
Niko hanya menatap gadis itu datar, biasa-biasa saja. Tak ada sorot binar-binar cinta di tatapannya.
"Apa lo mau jadi pacar gue?"
Dari atas, mereka bertiga tak bisa mendengar jelas percakapan Niko dengan gadis itu. Tetapi, setelah Niko selesai bicara, pacar cewek itu sontak melonjak berdiri dan menarik kerah Niko sampai melontarkan kata-kata umpatan.
Niko bergeming, tak terganggu sama sekali. Ia tetap menatap datar cowok yang sedang terbawa amarah itu.
Satu lapangan memekik kaget. Panitia, pelatih basket, dan pemain basket lainnya, yang berada di lapangan itu, bergegas berkerumun untuk melerai mereka.
"Woi, Nando! Buruan ajak Niko ke sini!" suruh Michello panik.
"Oke! Oke!" Vernando melonjak berdiri dan tergesa-gesa turun ke lapangan. Ia segera meminta maaf pada pacar cewek tersebut sembari menjelaskan bahwa sang sahabat sedang mengalami gangguan jiwa.
Amarah cowok itu berangsur padam, meskipun sesekali dia menegur Vernando sedikit membentak supaya menjaga temannya agar tidak membuat onar.
Setelah selesai, Vernando menyeret kasar Niko kembali ke kursi penonton.
"GILA LO!" maki Vernando berkacak pinggang. "MAKSUD LO APAAN, HAH!? SENGAJA MAU BUAT TIM GUE MALU DI DEPAN PARA PENONTON!?"
"Salah sendiri, kenapa lo tadi sengaja tanding dikalah-kalahin. Wajarlah. Kalau gue mau menyelamatkan hidup dan masa depan gue," sindir Niko datar, mengulangi perkataan Vernando tadi.
"LO ...!" Vernando meremas-remas jemari gemas. Ingin sekali dia melemparkan sepatu ke kepada Niko.
Christoper terkekeh kecil. Ia kembali melihat ke arah gadis yang duduk di seberang sana. Gadis itu tengah mengobrol sembari tertawa dengan salah satu pemain basket berbaju biru, lawan Vernando tadi.
Christoper sangat ingat kalau cowok itu ikut juga makan bersama gadis sebahu tersebut saat di mal beberapa hari lalu.
"Apa dia pacarnya?" gumam Christoper tanpa sadar.
Niko, Michello, dan Vernando mengernyit heran. "Pacar, siapa, Bro?" Tiba-tiba Christoper bergumam sendiri.
Christoper tersentak kaget. Ia tersenyum kikuk. "B-bukan apa-apa," elaknya gugup.
Michello dan Vernando tersenyum menggoda, lalu pura-pura terbatuk-batuk.
"Kayaknya ada yang fall in love, nih," Michello melirik Vernando, menyindir Christoper.
"YOI!" Vernando menyeringai menggoda.
Christoper menggeleng cepat. "No, aku tidak sedang jatuh cinta!" sangkalnya salah tingkah.
"Cie! Cie! Padahal gue pura-pura bukan nyindir lo, Bro, tapi lo udah merasa tersindir duluan." Michello tertawa terbahak-bahak. "Lo barusan menyangkal begitu, sama saja membenarkan kalau lo memang lagi jatuh cinta!"
"Lo mau saja dijebak sama Michello, Cris. Lo sudah tahu sendiri, dia adalah playboy sejati. Sudah banyak banget cewek yang terjerumus akibat ucapan dia." Niko menatap Christoper dingin.
"LO JANGAN OMONGAN SEMBARANGAN, MUKA TRIPEKS!" sergah Michello jengkel.
Vernando langsung tertawa terbahak-bahak. "KALAU ITU, GUE SETUJU DENGAN NIKO!"
"Asem!"
Christoper terkekeh kecil, lalu menunduk perasaan bimbang.
Apa benar ... aku sebenarnya sedang jatuh cinta? batin Christoper bingung.
Christoper sama sekali belum pernah berpacaran meskipun umurnya sudah menginjak 18 tahun. Apalagi, jatuh cinta dengan seorang gadis.
Untuk pertama kalinya, ketika Christoper melihat seorang gadis yang mampu membangkitkan gejolak perasaan aneh dalam hati.
Ponsel berdering nyaring. Christoper segera mengeluarkan ponsel dari saku celana. Tertera nama Karina.
Perasaan Christoper mendadak tak enak. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkatnya.
"Halo, Karin—"
"Kamu di mana, Christoper?" Suara Karina terdengar panik di seberang sana, namun terdengar berbisik-bisik "Pak Anton sudah datang ke kantor kita dan marah-marah mencari kamu. Kamu segera ke sini, dia semakin tidak bisa terkontrol."
"Baiklah! Aku akan secepatnya ke sana. Tolong, kamu bilang pada Pak Anton kalau aku akan segera datang."
"Baiklah. Tapi, kamu hati-hati di jalan, ya."
"Pasti. Kamu jangan khawatirkan aku," hibur Christoper, berusaha menyembunyikan kepanikannya.
Christoper mematikan sambungan teleponnya.
"Ada apa, Bro? Kok lo kayak panik gitu?" Michello mengernyit, ikut cemas.
"Memangnya siapa yang nelpon lo tadi, Bro?" tanya Vernando bingung.
"Sorry, teman-teman. Gue harus segera pergi." Christoper melonjak berdiri, buru-buru memasukkan ponsel kembali ke saku celana.
"Gue harus kembali ke kantor. Ada sedikit kendala. Sorry, gue harus duluan. Permisi." Christoper melangkah tergesa-gesa meninggalkan sahabat-sahabatnya.
"HATI-HATI, BRO!" teriak Michello dan Vernando kompak.
Christoper tersenyum sekilas sembari mengacungkan jempol, lalu berlari kecil menuju tempat parkir.