Chereads / Christoper, Cinta, dan Luka. / Chapter 3 - Ungkapan Hati

Chapter 3 - Ungkapan Hati

Tok... Tok... Tok...

Christoper tersentak kaget, sontak kembali pura-pura membaca map. "Ya, masuk," sahutnya.

Seorang wanita cantik masuk ke ruang kerja Christoper. Wanita itu amat cantik meskipun hanya dipoles dengan make-up natural. Kecantikan wanita itu makin memikat sampai mampu memikat lelaki mana pun di dunia ini karena mata hijau dan wajahnya yang khas dari negeri Kincir Angin.

Wanita itu berjalan menghampiri Christoper bak model yang berlegak-legok di atas Catwalk. Tubuh langsingnya dibalut jas hitam, dipandu kemeja putih di bagian dalam. Kaki jenjangnya mengenakan highheel hitam, senada dengan blazer-nya.

"Ternyata kamu masih kerja?" Karina menghela napas berat.

Christoper tersenyum sekilas, lalu kembali menatap laptopnya. Cowok bermata biru laut itu tidak ingin ribut jika dia menjawab perkataan sekretarisnya.

"Kamu harus istirahat. Nanti kamu bisa sakit kalau kamu kerja terus, Christoper,'' tegur Karina jengkel, khawatir.

''Kamu tidak perlu khawatir, Karina, aku tidak mungkin sakit." Christoper tersenyum manis.

Karina menghela napas kasar. 'Kamu selalu saja berbicara seperti itu kalau aku nasihati. Kenapa kamu selalu keras kepala?" omel Karina kesal sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Christoper.

Christoper hanya tersenyum kecil, lalu kembali fokus bekerja, tidak ingin melanjutkan perdebatan.

"Aku lelah mengingatkan kamu tetapi selalu kamu abaikan, Christopher. Ini juga demi kesehatanmu!" protes Karina kesal.

Christoper menghela napas panjang. Ia menutup map, kemudian menatap Karina lembut. ''Karina, kamu sendiri tahu, betapa banyaknya pekerjaan yang tidak bisa aku tinggal, kan?

''Tentu saja! Aku tahu!" Karina menatap Christoper kesal. "Tetapi bagaimanapun juga, kamu perlu istirahat, Chris. Sebentar saja. Jangan kamu lebih mementingkan urusan kantor daripada kesehatanmu."

Christoper tersenyum manis, berusaha meredam kekesalan Karina. "Kamu tidak perlu mengkhawatirka aku. Aku janji tidak akan sakit."

"Terserah kamu saja!" Karina melonjak berdiri. "Aku sudah capek menasihati kamu!" Wanita berumur dua puluh tahun itu langsung pergi dengan perasaan kecewa menuju pintu.

"Tunggu, Karina!" pekik Christoper ikut melonjak berdiri. "Dengarkan penjelasanku dahulu! Aku mohon kamu jangan langsung marah. Aku minta maaf, aku memang salah. Tapi aku tidak bermaksud—"

Karina berbalik menghadap Christoper, menatapnya dingin sekaligus tajam. "Besok Tuan ada rapat dengan Pak Haryanto jam 12 siang di restoran seperti biasa," jelas Karina datar, lalu ke luar.

Christoper mematung hingga tak bisa berkata apa-apa. Di satu sisi, dia sangat bahagia mendengar itu. Namun, di sisi lain, dia merasa bersalah karena sudah melukai perasaan Karina dengan sikapnya.

''Karina, tunggu!" seru Christoper lagi. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku tahu kamu khawatir. Tetapi kamu tahu bagaimana kondisi aku sekarang, kan?'

Karina sama sekali tak mendengar. Hatinya sudah begitu terluka. Entah kenapa akhir-akhir ini, Christoper selalu enggan mendengarkannya.

''Karina, kamu mau ke mana?" tanya Christoper cemas.

Karina ke luar dengan menutup pintu sedikit kasar.

Christoper terduduk lemah di kursi kebesaran. Ia menghela napas sembari memijat pelipisnya. Sekarang dia tak dapat bekerja dengan tenang. Dia akan dihantui rasa bersalah sepanjang hari karena telah melukai perasaan sahabat yang telah sangat berjasa dalam hidupnya.

Karina bukan sekadar sekretaris Christoper saja, Christoper telah menganggap Karina sahabat, bahkan keluarga. Sebab sebelum perusahaan keluarganya mengalami kebangkrutan, papa-mamanya pergi meninggalkannya, Karina telah bekerja cukup lama di perusahaan Lion Corp hingga setia selama bertahun-tahun.

★★★

"APA-APAAN INI, HAH?!" Seorang pria paruh baya melemparkan beberapa map ke muka Christoper. "SEMAKIN HARI OMZET KITA SEMAKIN MENURUN! KAMU MEMANG NGGAK BECUS MENGOLAH PERUSAHAAN! KALAU BEGINI TERUS SAHAM YANG SAYA BERIKAN KE PERUSAHAANMU BISA-BISA HABIS TAK TERSISA!" maki Herry murka.

Christoper hanya menunduk dalam. "Maaf, Pak. Tapi saya akan teru—"

"CUKUP! SAYA MUAK DENGAN OMONG KOSONG KAU, CHRISTOPER!" bentak Herry murka. "SEKARANG, SAYA MAU MENARIK SEMUA SAHAM SAYA YANG TELAH SAYA SUNTIKKAN! SAYA GAK MAU TAHU BAGAIMANA CARANYA!"

"Tapi, Pak—"

"SAYA BILANG 'SEKARANG'! GAK ADA TAPI-TAPI!" potong Herry murka.

"Sudah, Pa. Hentikan. Kasihan Christoper," Diana, putri Herry, berusaha meredam amarah sang Papa. Gadis itu bukan sekadar memedulikan Christoper, melainkan juga menaruh hati pada cowok tampan itu. Diana berharap Christoper akan terpesona karena sudah membelanya.

"KAMU DIAM!" bentak Herry. "JANGAN IKUT CAMPUR!!"

Diana terdiam seribu bahasa, menunduk ketakutan.

Herry kembali menatap Christoper murka. "KALAU TIDAK, SAYA AKAN SERET KAMU KE PENJARA!!!!"

"Baik, Pak. Akan saya usahakan." Christoper tersenyum sopan. "Tetapi tolong kasih saya waktu sedikit lagi untuk mengembalikannya," pinta Christoper penuh harap.

Herry berpikir sejenak. "BAIK! SAYA KASIH KAMU WAKTU SAMPAI BESOK! KALAU, TIDAK! AKAN SAYA SERET KAMU KE PENJARA! NGERTI?!" bentaknya.

Karina tersenyum sangat manis berusaha mendapat simpati pria itu. "Apakah Bapak bisa memberi kami waktu sedikit lagi, kira-kira enam bulan."

Herry melotot. "SUDAH MENDING—"

"Baiklah," sela Christoper tersenyum. "saya akan kembali besok. Bapak tenang saja."

Karina menoleh cepat. "Christ." tegurnya berbisik, syok.

"BAGUS! SAYA TUNGGU BESOK! AWAS! KALAU SAMPAI TIDAK ADA UANGNYA!" kecam Herry, lalu pergi bersama rekan-rekannya dan putrinya ke luar.

Christoper terduduk lesu di kursi kebesarannya. Ia menghela napas berat, lalu memijit pelipisnya frustrasi. Pikirannya kacau dan hatinya tertekan.

"Christoper!" omel Karina kesal. "Maksud kamu apa tadi? Mana mungkin kita bisa menyiapkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu besok?!" ketusnya panik.

Christoper tersenyum manis, berusaha tegar. "Kamu tidak perlu memikirkan masalah ini, itu adalah tanggung jawabku."

"Tapi—"

"Aku pamit dulu sebentar, ya." Christoper tersenyum. Ia beranjak berdiri dan pergi meninggalkan ruangan.

"Christoper! Tunggu! Kamu mau ke ma— Hei!" pekik Karina kesal. Cowok itu malah pergi dan mengacuhkannya.

***

Mobil BMW hitam melaju di tengah jalan raya Jakarta yang cukup padat merayap. Christoper mengemudikan mobilnya menuju sebuah mal. Ia sudah memiliki janji bersama para sahabatnya, Vernando, Michello dan Niko, untuk nongkrong bareng.

Dreett.... Dreett.... Dreett....

Christoper menatap ponselnya yang berdering itu dengan tatapan dingin. Lalu kembali menatap ke depan.

Karina.

Itulah nama yang tertera di layar ponsel Christoper. Christoper sengaja tak mengangkatnya. Ia ingin menenangkan diri sejenak.

Beberapa menit kemudian, mobil mewah itu berhenti tepat di lobi di salah satu mal terbesar di Jakarta.

Christoper ke luar dari mobil lalu menyerahkan kuncinya pada petugas valet. Christoper memasuki mal sambil mengetik di ponselnya.

Grup WA Para Cowok Tampan

Christoper : Kalian di mana? Sudah sampai?

Vernando : Belum. Bentar lagi sampai kok. Gue lagi angkat jemuran wkwkwkwk

Michello : Bentar lagi Gue sampai, Bro. Lo tunggu di tempat bisa ae.

Niko : Bentar lagi.

Christoper menaiki eskalator menuju lantai empat setelah membaca Wa dari para sahabatnya.

Sesampainya di sana, Christoper menuju foodcourt. Tempat biasa dia serta para sahabatnya berkumpul dan bercanda.

Seluruh pasang mata terpaku saat cowok bermata biru itu ketika melintas. Terutama kaum hawa. Bagi mereka pemandangan seperti ini sungguh asing. Jarang-jarang ada cowok bule setampan Christoper.

Christoper duduk di salah satu kursi. Ia memandang sekelilingnya. Di tempat itu banyak gerai-gerai dengan berbagai pilihan makanan.

Suasana begitu ramai dengan para pengunjung. Suara riuh piuh khalayak orang mengobrol, teriakan anak-anak kecil bermain, bercampur menjadi satu.

Ada banyak di situ orang-orang tengah makan bersama keluarga kecil mereka. Momen itu menyita perhatian Christoper. Ada sesuatu perasaan hangat menjalar dalam hatinya. Christoper tersenyum. Pemandangan seperti ini sangat dia rindukan.

Andai dia bisa kembali ke masa lalu dan berada di posisi anak-anak kecil yang tengah tertawa riang bersama papa dan mamanya itu. Mungkin, dia akan sangat bahagia.

"Mama, lihat! Kakak itu ganteng banget!" seru seorang gadis kecil menunjuk Christoper sambil tersenyum polos.

Christoper tersenyum manis pada anak kecil itu, yang mejanya bersebelahan dengannya.

Sang Mama gadis kecil itu tersenyum tak enak pada Christoper. "Maaf , Dek, kalau anak Tante terlalu berisik."

Christoper tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Tan—"

"Woi, Christoper!" pekik Vernando dari jauh.

Spontan Christoper menoleh ke arah eskalator. Ia tersenyum akrab memandangi keempat sahabatnya yang sedang berjalan menghampirinya.

"Sorry, Bro. Kami lama yak?" Vernando tersenyum cengengesan.

Christoper tersenyum. "Tidaka apa. Santai saja."

"Lah! Lo belum pesan apa pun, Bro?" tanya Michello heran. Melihat tak ada apa pun makanan di meja.

"Belum, Bro. Gue juga baru saja sampai di sini," jawab Christoper tersenyum pada ketiga sahabatnya. "Duduk, Bro."

"Ya iyalah! Masa gue berdiri teros?" sewot Vernando.

Christoper terkekeh, Michello tertawa pelan. Lalu mereka bertiga duduk di tempat masing-masing lagi.

"Tumben, Bro? Lo ngajak hang out bareng? Lo pasti lagi badmood, kan? Michello menyeringai menggoda.

Christoper menegang, jantungnya mendadak berdebar tak karuan. Ia berusaha trsenyum lebar. "T-idak! Gue … gue tidak badmood sama sekali," elaknya gugup.

Christoper menunduk, menatap jemarinya sendu.

Apakah aku terlihat sedang stres? batin Christoper lirih.

"Tapi kenapa muka lo kayak lagi stres gitu, Bro?" Michello mengernyit curiga.

Vernando mangut-mangut setuju. "Iya, Bro. Kenapa? Apa lo masalah lagi?"

"Cerita aja sama kami," tambah Niko datar.

"Tidak ada apa-apa, Bro. Percayalah," Christoper tersenyum lebar, berusaha meyakinkan.

"Sudahlah, percuma! Sampai Michello tobat, pun, Christoper nggak bakalan kasih tahu pada kita." Vernando sok menatap Michello dan Niko kesal, menyindir.

"Mending kita pesan makanan ajalah. Udah lapar banget nih gue," ajak Vernando berlagak mengabaikan Christoper.

"Lo aja yang pesan, biar kami tunggu di sini," perintah Niko datar.

"Enak aja! Lo pikir gue pelayan apa!" ketus Vernando tak terima.

"Bukan sih... Tapi mirip!" Michello tertawa terbahak-bahak. Christoper terkekeh, sedangkan Niko tidak. Cowok datar itu segera mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memilih bermain game.

"Kurang ajar lo, Sipit! Gak lucu!" ketus Vernando.

"Gapapa sipit, yang penting ganteng." Michello menyeringai sombong.

"Bapak kau 'ganteng'? Itu cuma menurut lo doang! Sebenarnya orang-orang lihat lo udah kayak babi panggang!" Vernando tertawa terbahak-bahak. "Oh, iya!" Pria menyeringai, berlagak teringat sesuatu.

"Gimana dengan para pacar lo. Aman, kan? Nggak ada yang ketahuan, terus ribut?" ejek Vernando menaikturunkan kedua alis.

"Maksud lo apa!? Nyindir gue!?" ketus Michello.

"Nah! Itu lo tahu! Lo memang anak pinter! Nggak percuma lo selalu ikut les privat!" Vernando tertawa terpingkal-pingkal.

"Bro," panggil Michello pada Christoper.

"Ya?" sahut Christoper setengah terkekeh.

"Kalau mukul orang masuk penjara berapa tahun?" tanya Michello sok serius.

Christoper mengernyit. "Memangnya kenapa, Bro?"

"Rencananya gue mau mukul si Peranakan Biawak itu, diam-diam di sekolah. Tapi lo jangan kasih tahu dia," sindir Michello hilang akal.

Christoper lantas terkekeh lepas.

"Woi! Dasar Otak Udang! Nando yang lo maksud ada di sini, DASAR SIPIT!" pekik Vernando kesal.

"Oh." Michello menatap Vernando sok datar. "Ternyata lo ada di sini. Gue pikir tadi makhluk astral," sindirnya.

Vernando tidak mau kalah. "Bukannya lo Michello? korban perselingkuhan sepupu lo sendiri, kan?" ejeknya.

"LO BILANG APA BARUSAN!?" Michello melotot tak terima.

"Kayaknya telinga lo kagak pernah dibersihkan dari orok, kan?" Vernando geleng-geleng prihatin. "Kasihan ...."

Christoper terkekeh menyaksikan kedua sahabatnya itu bertengkar. Memang, saat bersama mereka saja dia mampu melupakan kesedihan di hatinya.

Walaupun hanya sesaat.

Di tengah keributan yang dibuat Vernando dan Michello, Christoper tak sengaja berpaling ke arah eskalator. Ia terpana, matanya melebar sempurna. Terpaku pada seseorang menarik perhatiannya.

Seorang gadis berambut sebahu berjalan bersama kedua temannya, menghampiri salah satu meja dan duduk di depan Christoper. Christoper sampai tak berkedip memandang orang itu.

Niko dan Michello duduk membelakangi orang tersebut. Hanya Vernando dan dirinya yang bisa melihat gadis itu.

"Kalian berdua bisa diam, nggak? Buruan kalian pesan makanan, sana! Gue udah lapar," ketus Niko, menghentikan perdebatan kedua manusia ini.

"Kita pergi berdua aja, Bro. Daripada gue di sini, nggak ada gunanya beradu mulut sama emak-emak komplek!" sindir Michello.

"Eh... Eh... anda ngomong apa barusan?!" pekik Vernando tak terima.

"Emak-emak komplek! Kenapa!?" tantang Michello tajam.

"Wah! Wah! Wah!" Vernando langsung menggulung-gulung lengan bajunya untuk bersiap-siap bertempur. "Ngajak gelut, nih, Anak!"

"Sebaiknya kalian berdua pergi memesan makanan saja. Malu ditertawai orang banyak kalau kalian terus berteriak-teriak," tegur Christoper terkekeh.

"Dasar, Noob!" Michello tertawa, langsung lari terbirit-birit setelah mengatakan itu.

"APA LO KATE BARUSAN, SIPIT!" teriak Vernando sekuat tenang hingga menjadi perhatian semua orang.

"Woi, Christoper?" Vernando menyikut lengan Christoper.

Christoper terus memandangi gadis di depannya itu. Gadis itu tengah tertawa lepas bersama kedua temannya.

Christoper tersenyum sendiri. Ada desiran-desiran aneh di hati Christoper. Suara tawa gadis itu membuat perasaan Christoper mendadak tenteram.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri, Bro?" tanya Vernando heran.

Christoper tidak menjawab. Matanya terus memandangi gadis itu.

"Woi!" Vernando menyenggol lengan Christoper kesal. "Lo kenapa, sih!? Kayak orang gila aja, senyum-senyum sendiri!"

Christoper tersentak. "Ya?" sahutnya sedikit gugup. "Sorry, tadi gue tidak dengar lo bilang apa."

Vernando menyeringai menggoda. "Pasti lo lagi pantengin cewek, ya?" tebaknya, tepat sasaran.

"T-tidak, kok!" elak Christoper cepat. "G-gue ... gue cuma sedang melihat Niko dan Michel dari jauh saja." Christoper tersenyum kaku.

"Halah!" Vernando tertawa lepas. "Kagak usah bohong! Lo ketahuan banget kalau lagi bohong, Bro! Kagak pintar kayak Michello!" ejeknya. "Mana, mana!?" Vernando memandang ke sekelilingnya, antusias. "Mana cewek yang berhasil bikin lo senyum-senyum sendiri itu!?"

"Tidak ada, Vernando." Christoper semakin menegang. Keringat dingin mengalir membasahi tubuhnya. "Gue benar-benar tidak memandangi cewek, sama sekali. Sungguh," elak Christoper agak panik. Wajahnya mulai pucat.

"Tuh, tuh, kan! Lo mulai keringat dingin!" sergah Vernando makin antusias. "Berarti benar, dong! Tebakan gue, kan!?" Vernando tertawa lebar.

"Gue mohon percaya sama gue," lirih Christoper meremas-remas jemari. Ia tertekan, terasa diintimidasi oleh Vernando. "Lo tahu sendiri, gue—"

"Syut ...!" Vernando menyuruh Christoper diam menggunakan jarinya. Christoper cukup tersentak. "Jangan berisik. Gue mau chat Niko sama Michello dulu! ini info penting!" Vernando mengetik sesuatu di ponselnya.

Mata Christoper membulat sempurna. Keringat mengucur semakin deras di keningnya. Ia berusaha mengendalikan rasa gugup yang berkecamuk.

"Bro, gue mohon, jangan seperti ini," pinta Christoper gugup. "Gue benar-benar tidak melihati cewek sama sekali. Tolong, percaya sama gue," terang Christoper berusaha meyakinkan.

Vernando berdecih kesal. Ia menaruh ponselnya ke meja lalu menatap Christoper jengkel. "Bro!" panggilnya tegas. "Lo kenapa, sih, selalu menutup-nutupi semua masalah lo dari gue? Gue tahu, selama ini lo sering menderita. Jujur, sebenarnya gue tahu alasan lo mengajak kami nongkrong ....," ketus Vernando.

Christoper terdiam seribu bahasa.

"Karena lo lagi stres, kan!?" sambung Vernando tajam. "Gue cuma ingin lihat lo bahagia, Bro. Mungkin dengan berpacaran, lo bisa melupakan setiap masalah yang sedang lo hadapi!" jelasnya melembut, menepuk pundak Christoper. "Lo pantas untuk bahagia. Dan, kebahagiaan itu nggak datang dengan sendirinya jika lo yang nggak memulai duluan." Ia tersenyum tulus.

Christoper menunduk dalam.

"Selama ini lo cuma sibuk mengurus perusahaan, doang. Dan sekarang, gue minta ...," ujar Vernando. "supaya lo juga mencari kebahagiaan lo sendiri."

Christoper menggeleng lemah. "Gue tidak bisa, Bro," lirihnya. "Karena kalau gue melakukan itu, gue merasa sangat egois," ujar Christoper sedih.

Vernando fokus menyimak Christoper saksama.

"Lo tahu sendiri, kan?" Christoper kembali menatap Vernando sendu. "Kalau adik gue masih kecil-kecil?"

Vernando mengangguk kecil.

"Gue harus bisa merawat mereka dengan baik, menjadi papa sekaligus mama bagi Clara dan Calvin." Christoper menunduk sedih. Terlintas sosok William dan Lilyana.

Christoper berusaha menata perasaannya. "Gue cuma tidak mau bersikap egois. Clara dan Calvin masih butuh seratus persen perhatian gue. Gue tidak mau nanti mereka bertumbuh kekurangan kasih sayang gue. Cukup dari Papa dan Mama saja."

"Sampai sekarang, pun, gue belum bisa membahagiakan mereka," ungkap Christoper. "Gue hanya ingin adik gue yang terlebih dahulu bahagia, baru gue," lirih Christoper.

Mata Vernando berkaca-kaca. Mungkin inilah isi hati Christoper selama ini. Sosok yang selalu tampak kuat dan tersenyum, namun ternyata tak sekuat yang terlihat. Sejak dulu, Christoper tidak pernah memperlihatkan kesedihannya di depan dia dan lainnya. Apa lagi curhat. Ini sebuah momen yang sangat langka bagi Vernando.

Vernando menepuk pundak Christoper sambil tersenyum lebar. "Gue akan dukung apa pun keputusan lo, seratus persen, Bro." Vernando memberi bersemangat. "Yang gue bisa lakukan sebagai sahabat lo, yaitu nggak bakal pernah ninggalin lo. Tapi gak janji!" Vernando tertawa lepas, berusaha mencairkan suasana.

Christoper ikut terkekeh.