Niko dan Michello asyik bermain PS di kamar Christoper, duduk bersila di karpet.
Vernando duduk di sofa sembari fokus bermain ponsel dengan wajah masam. Sejak tadi cowok itu tak bicara sedikit pun.
"Woi, Nando! Katanya besok lo ada pertandingan basket antar sekolah, kan?" tanya Michello tanpa berpaling dari Tv. "Nama sekolahnya apa?"
"Nusa Dua."
"Busyet! Mati lo, Nan! Gue dengar-dengar pemain basket mereka jago-jago, loh,"
"Lo sengaja 'kan mau bikin gue down!?" ketus Vernando. "Sorry, kagak mempan!"
"Ge-er amat lo, Gudoruwo! Siapa juga yang mau buat lo down, Hah!? Kayak gue kagak ada kerjaan lain aja!" sewot Michello jengkel.
"Lo memang pengangguran!"
Sontak Michello melempar kulit kacang ke arah Vernando. "ENAK AJA! LO TUH YANG PENGANGGURAN!"
Christoper masuk ke kamarnya dengan masih mengenakan taxedo hitam setelah baru pulang dari kantor.
"Woi, Bro! Pa kabar!?" seru Vernando heboh.
"Lebay amat lo! Perasaan baru tadi pagi lo ketemu dia di sekolah!"
"Sewot amat, sih! Mulut, mulut gue!"
Niko berdecih. "Kalian setiap ketemu ribut mulu! Pusing kepala gue!" ketusnya.
"Makanya jangan punya teman kayak kami! Salah lo, lah!" sergah Vernando.
"Cih!" Niko membuang muka, muak meladeni mereka.
Michello dan Niko berhenti bermain PS.
"Gimana kalau kita taruhan?" ajak Michello antusias.
"Taruhan apaan?"
"Malas."
Michello berdecih kesal. "Ikutlah, Nik! Kagak asyik banget lo lama-lama! Kayak kakek-kakek!" kesal Michello.
"Gak berguna! Kayak hidup kalian!"
"Lama-lama mulut lo harus digeprek, dah! Tajam amat!"
"Oke, oke! Gue ikut." Berkali-kali Niko mendengus kesal. "Dasar cerewet. Memangnya Lo mau ajak taruhan apa, Hah?" ketus Niko, tak ingin berdebat.
"Kita harus menebak kira-kira besok Vernando kalah atau menang. Kalau kalah, lo harus nembak cewek yang nggak dikenal di sekolah Nusa Dua! Gimana?" Michello menyeringai miring.
"GILA LO!" pekik Vernando syok. "GUE GAK SUDI NEMBAK CEWEK! APA LAGI YANG NGGAK DIKENAL!"
"MAKANYA LO HARUS MENANG, DODOL!" kesal Michello. "Itung-itung nambah motivasi lo biar makin bersemangat untuk menang!"
Niko mengangguk singkat. "Gue ikut."
"LO SERIUS, NIK!?" Vernando membelalak tak percaya. "KALAU LO KALAH LO HARUS NEMBAK CEWEK NGGAK DIKENAL DI DEPAN UMUM, LHO! APA LO GAK MALU!?"
"Gue yakin tebakan gue nggak akan mungkin meleset," sahut Niko singkat.
"Sombong amat!"
Christoper ke luar dari kamar mandi dengan handuk membelit pinggangnya. Ia mengeringkan rambutnya dengan hancur kecil. Setelah sepanjang hari bekerja, kegiatan mandi adalah salah satu cara merefleksikan pikirannya.
"Gimana, Bro? Lo ikut, gak?" tanya Michello antusias.
Christoper mengernyit. "Ikut apa?"
"Taruhan."
"Taruhan?"
"Yoi!" Michello cengar-cengir.
"JANGAN, BRO! AWAS! JANGAN SAMPAI LO MASUK JEBAKAN SI SIPIT!" seru Vernando panik.
"Berisik lo, Babon!"
"YA, LO ENAK! KALAU LO KALAH, LO NGGAK BAKALAN MALU KARENA LO UDAH PLAYBOY PROFESIONAL! TETAPI, COBA KALAU GUE DAN CHRISTOPER YANG MELAKUKAN HAL TAK TERPUJI ITU?! MAU DITARUH DI MANA MUKA COWOK-COWOK TERLAHIR SUCI KAYAK KAMI!?"
"Pret!!!! cowok suci, apaan!? Kalau Christoper, okelah, gue setuju. Tapi kalau lo! Lebih pantas disebut cowok pendosa!"
"Kurang ajar!" Spontan Vernando langsung melempar bantal sofa ke arah Michello. "Lo, tuh, cowok pendosa! Bukan gue!"
"Lo mau ikut taruhan besok, gak, Bro? Nebak besok Nando bakalan kalah atau menang. Kalau lo kalah, lo harus nembak cewek nggak dikenal saat itu juga." Niko menatap Christoper datar.
Christoper menggeleng cepat. "Tidak!"
"Nggak seru lo, Bro!" protes Michello sok kecewa.
"Bagus! Berarti Christoper masih waras!" Vernando tertawa puas.
"Berarti lo cowok pecundang, Non," cibir Niko datar.
"Sembarangan! Gue nolak bukan karena gue PECUNDANG! Tapi gue nggak mau punya pacar lagi! Kalau gue nembak cewek, pasti dia detik itu juga bakalan menerima gue tanpa berpikir dua kali! Dan gue nggak mau terjadi."
"Terserah." Niko berpaling pada Christoper yang tengah mengenakan pakaian. "Kalau lo, Bro? Lo terkenal pintar, gue yakin tebakan lo nggak akan meleset."
"Bukannya gue tidak mau ikut, Bro. Tapi, perasaan seseorang bukanlah permainan. Seandainya gue kalah dan menembak cewek, kami pacaran hanya karena taruhan ini, lalu putus. Apa kamu tidak memikirkan perasaannya nanti kalau dia tahu?
Mereka terdiam, merenung.
"Gue nggak peduli dengan perasaan cewek. Mereka aja nggak pernah memahami perasaan cowok," ketus Vernando.
"Ya, kali ini gue setuju dengan Vernando," tambah Michello. "Sebagai orang yang pernah diselingkuhi oleh kaum 'Sok Paling Benar' itu, gue nggak sudi lagi care sama perasaan mereka."
"Bagaimanapun juga, kalian lahir dari rahim seorang wanita, Bro," tegur Christoper tersenyum.
"Meskipun mereka satu kaum, tapi nggak semua wanita bisa bersikap baik bak malaikat seperti sosok Ibu," tegas Michello agak tajam.
"Bagi gue, Ibu bukan lagi manusia, tapi malaikat. Gue benci sama sikap cewek yang selalu bawa-bawa Ibu agar dihormati cowok, sedangkan mereka aja nggak bisa bersikap baik sama kita seperti seorang Ibu. Jadi, lo nggak usah sama-samain Ibu dengan kebanyakan cewek di luar sana. Terkadang mereka rela menyakiti pasangannya dengan kebahagiaan mereka sendiri. Tapi, Ibu rela mengorbankan kebahagiaan demi anaknya. Lalu, di mana letak samanya?"
"Gue menghormati Mami gue bukan cuma karena dia yang udah melahirkan gue. Tapi, karena gue udah menyaksikan dan merasakan sendiri dampak dari semua pengorbanan Mami. Tanpa Mami, gue nggak akan pernah mencicipi sedikit pun kebahagiaan seumur hidup."
"Sekarang gue tanya sama lo, Bro. Nyokap lo meninggalkan lo sama Clara dan Calvin hampir dua tahun lebih, kan? apa kalian bahagia sekalipun hidup dalam kemewahan?"
Christoper terdiam seribu bahasa. Ia menunduk. Perkataan Michello bak belati yang merobek luka lama yang berusaha dia simpan rapat-rapat.
"Cukup, Bro! Omongan lo udah kelewatan! Nggak pantas lo ngomong gitu sama Christoper!" tegur Vernando kesal.
"Sorry, Bro. Gue gak bermaksud, sedikit pun, untuk buat lo tersinggung. Gue cuma mau kasih tahu sudut pandangan gue soal Nyokap. Itu aja."
"Tapi nggak usah bawa-bawa masalah keluarga Christoper juga, kali!" cerocos Vernando tak terima.
"Gue udah minta maaf, BAGONG!"
"TAPI—"
"Tidak apa, Nando." Christoper tersenyum, lalu menatap pada Michello. "Gue mengerti maksud perkataan lo, Bro. Memang benar. Orang tua adalah segala-galanya." Christoper berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Kalian pasti haus, kan? Kalau begitu, gue permisi ambil minum dulu ...." Christoper tersenyum sebelum pergi meninggalkan mereka.
***
Esok harinya.
Setelah sepanjang malam Christoper dan Vernando diejek-ejek "Pecundang" oleh Michello. Akhirnya, terpaksa mereka menyetujui taruhan aneh itu.
Christoper dan Niko menebak kalau Vernando akan menang hari ini, karena dilihat dari seluruh pertandingan yang pernah diikuti sahabat mereka paling cerewet tersebut, Vernando sering menang. Sedangkan Michello dan Vernando memilih kalah.
Christoper amat tegang. Harga dirinya tengah dipertaruhkan.