Menjadi, atau tidak menjadi; itulah pertanyaannya
Kutipan dari solilokui Hamlet itu mungkin menjadi kutipan Shakespeare yang paling terkenal. Namun, bagaimana jika pertanyaan yang sebenarnya bukanlah hidup atau tidak, tetapi bagaimana caranya hidup?
Jika seperti itu, bukankah itu berarti bahwa Hamlet—dan Shakespeare—salah?
Lalu, apakah pertanyaan itu bisa kutujukan kepada diriku sendiri? Jika bisa, apakah aku mampu untuk menjawabnya? Ah, aku tak yakin dengan jawabannya. Aku bahkan tidak yakin diriku yang sekarang ini bisa menjawabnya.
Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku hidup, karena aku selalu merasa ada semacam kesalahan dalam hidupku, dalam diriku.
******
Hujan yang mengguyur bumi Parahyangan membuat semuanya terasa kelabu, terlebih awan hitam yang berarak di atas langit sana sama sekali tidak memberi celah pada matahari yang sudah mulai putus asa.
Aku berlari menghampiri sebuah gubuk tua yang berdiri di depan mataku beberapa meter jauhnya. Hentakan kakiku membuat air yang tergenang di permukaan tanah terciprat, membasahi bagian bawah celanaku.
Sialnya, kepanikan yang menyeruak secara tiba-tiba dalam benakku itu membawa petaka. Beberapa cipratan genangan air membuatku terpeleset dan jatuh tepat di depan gubuk itu. Tidak, bukan salah genangan airnya. Salahku sendiri yang lupa kalau permukaan jalanan bisa selicin itu dikala hujan. Tubuhku tersungkur, dan dahiku membentur permukaan jalanan. Semuanya kotor dan basah.
Untung tidak ada orang di sekitar perbukitan ini—setidaknya dalam radius satu kilometer, yang bisa saja melihatku terjerembap dan menertawai diriku dalam diam. Lagi pula, orang tak waras mana yang mau keluar melintasi perbukitan di cuaca yang tidak bersahabat seperti ini?
Ah, iya. Orang tak waras itu aku, meski langit tampak cukup cerah saat aku mulai mendaki tadi.
Aku pun berjalan lesu menuju naungan gubuk sepi yang dingin itu, lalu duduk dalam perasaan kalut yang menyesakkan.
Aku menepuk-nepuk paha, berusaha membersihkan kotoran yang menodai pakaianku, walaupun tahu itu mustahil, mengingat tanah yang tercampur derai basah air hujan telah berubah menjadi lumpur membandel. Dalam senyap, aku memerhatikan air hujan yang turun dengan derasnya dari atas langit. Aku tidak menduga hari ini akan hujan. Pikiranku terlalu kacau, bahkan untuk sekadar memikirkan cuaca hari ini.
Tetapi, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah bisa diduga. Selalu ada probabilitas yang tidak pernah disangka-sangka akan muncul. Contohnya, seperti apa yang terjadi belakangan ini, dan kenapa aku memutuskan untuk mendaki bukit tak dikenal ini, yang tak jauh dari kampung halamanku.
Memoriku memutar kembali ingatan satu minggu yang lalu, saat aku berdiri lesu di ruangan prodi di kampus. Aku tak lupa ekspresi yang dipasang salah seorang staff prodi saat itu. Roman cuai yang ia pasang tampak kecewa sekaligus meremehkan.
"Kenapa baru diserahkan sekarang? 'Kan deadlinenya juga kemarin," omel staff prodi saat itu.
"Dosen pembimbing saya terlambat memberi surat rekomendasinya, pak," lirihku mengumbar alasan.
"Kenapa gak dihubungi jauh-jauh hari?"
Saat itu aku ingin mengungkapkan bahwa aku sudah melakukan apa yang beliau sarankan. Tetapi, aku tidak mau beralasan lebih lanjut lagi, karena pada akhirnya aku tetap saja kalah. Dan ya, aku memang tidak berhasil menyerahkan pengajuan beasiswa fakultas yang sudah begitu kuharapkan.
"Maaf ya, tapi sekarang kami sudah gak bisa menerima permohonan pengajuan beasiswa lagi, karena batas waktunya sudah berakhir."
Aku merogoh saku jaketku, lalu mengeluarkan secarik kertas yang sudah ternodai kotoran hujan. Selembar kertas itu adalah surat permohonan pengajuan beasiswa yang tak bisa kuserahkan beberapa hari yang lalu. Aku menatapnya, sambil membaca satu per satu kata yang tertoreh dalam lembaran lusuh itu sebelum meremas dan melemparnya ke kubangan kecil di depan gubuk.
Tidak masalah jika aku tidak lolos seleksi. Tapi ini?
Ironi ini membuatku ingin menangis, tetapi entah kenapa aku malah tertawa sumbang.
Jika kuingat lagi, dunia memang tidak pernah berpihak padaku, bahkan meski aku berusaha untuk hidup sebaik mungkin. Sekeras apapun aku berusaha, aku selalu saja mengecap pahit, hingga akhirnya aku tidak lagi berusaha seperti biasanya.
Lama menatap kertas yang sudah hancur itu, aku pun pasrah. Mungkin kali ini memang bukan waktuku. Aku masih semester tiga, masih punya banyak kesempatan. Lagi pula, kalaupun aku berhasil menyerahkan lembar pengajuan ini, aku tak yakin bisa lolos karena aku tidak memenuhi salah satu persyaratannya—aktif dalam organisasi dalam maupun luar kampus. Jadi, kenapa aku harus risau? Aku coba-coba mengajukan pun karena Firda—temanku—yang mendorongku untuk mencobanya.
"Coba aja dulu! Siapa tau keterima."
Gaya bicara Firda yang seperti seorang motivator ulung itu begitu membekas dalam benakku. Tanpa kusadari garis bibirku sudah melengkung membentuk sebuah senyuman tipis. Teman baikku itu memang selalu begitu. Meski hanya dirinya seorang—dan beberapa orang lainnya di kelas, aku bahagia karena mereka mau berteman denganku yang selalu dicap aneh sejak SMP dulu.
Tunggu! Kenapa aku tersenyum? Aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi 'siraman rohani' dari gadis cantik yang terkadang bermulut pedas satu itu.
Hakuna matata. Aku harus ingat ungkapan yang selalu digaungkan Timon dan Pumba dalam film The Lion King itu, untuk mencegah rasa sakit yang lebih dalam lagi.
Ponselku berbunyi, membuatku terperanjat bangun dari lamunanku. Aku bergegas merogoh saku jaketku yang lain, dan meraih ponsel yang masih bergetar. Nama dan foto profil Firda dengan wajah berlesung pipitnya yang manis tampil di layar ponselku. Aku pun segera mengangkat teleponnya.
"Kamu lagi di kosan?" sahut Firda di ujung telepon.
"Enggak fir," jawabku, mencoba untuk tetap terdengar riang. "Aku pulang ke rumah. Ini lagi jalan-jalan bentar di gunung deket rumah."
"Oalah, tadinya aku mau ke kosan sama Naufal sama Nurman. Mereka katanya mau main PS di kosan."
Ah, aku benar-benar lupa kalau Naufal dan Nurman mau ke kosan akhir pekan ini. Sambil menggaruk kepala tak gatal, aku pun menjawab, "Duh, maaf banget fir. Aku lupa kalo mereka mau dateng ke kosan."
Firda terkekeh kecil di ujung telepon. "Gak apa-apa. Lagian kamu lagi butuh waktu sendiri, 'kan? Kita bisa dateng lain kali."
Aku sedikit tertegun, merasa kagum pada Firda yang selalu mengerti perasaanku.
Minggu-minggu ini memang cukup berat bagiku, hingga rasanya belakangan ini aku merasa kesulitan untuk memasang topeng dengan gurat senyuman lebar yang biasa kugunakan. Bukan hanya karena pengajuan beasiswa itu, tetapi akhir-akhir ini aku memang merasa kalau hidupku, sudah monoton, terkesan tak begitu berarti pula.
"Ah, sip deh," jawabku.
"Kalo gitu udah dulu, ya. Bye!"
Dan panggilan pun berakhir.
Hujan sudah mereda begitu aku memasukkan ponselku ke dalam jaket dan kembali pada realitas di hadapanku. Aku harus bergegas jika ingin sampai di tempat tujuanku sebelum petang menjemput. Karena itu, meski rinai hujan masih menitik, aku kembali melanjutkan perjalanan.
Tujuanku adalah pucak salah satu bukit yang sering kukunjungi untuk menyegarkan pikiran dan hati. Bagiku, tempat itu adalah tempat healing yang sempurna karena panoramanya yang hijau bisa menjernihkan mata, hati, dan pikiran.
Selain itu, puncak bukit tak bernama itu, secara alami, membentuk sebuah spasi dalam naungan pohon besar teduh yang nyaman untuk sekadar duduk bersantai menikmati pemandangan di hadapannya. Jalurnya memang agak ekstrim, tetapi tempat itu bagai surga tersembunyi untuk menghilangkan kepenatan.
Setelah berjalan cukup lama, kini aku tinggal melintasi medan terakhir yang cukup curam, sebelum aku bisa sampai di tempat tujuanku. Jalur sempit nan terjal dengan sungai yang cukup dalam di bawah jurang sana terkadang mendatangkan keraguan, apalagi dalam suasana hujan seperti ini. Jalanan menjadi licin dan berbahaya.
Aku menelan ludah saat melihat treknya yang terasa begitu asing di tengah hujan ringan yang mengguyur. Aku sempat berpikir kembali, untuk apa aku datang ke sini di situasi seperti ini pula? Tetapi perasaanku yang memang sudah kacau langsung menepisnya, dan memaksaku untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Tetapi, sepertinya aku memang tak pernah bernasib baik.
Saat aku mulai menapaki jalanan terjal itu, aku tak sengaja menginjak sebuah kerikil. Karena medan yang licin pula, aku pun terpeleset. Dadaku berdegup sangat kencang dan adrenalinku bergolak hebat tatkala aku sadar bahwa diriku tengah melayang di udara.
Bukan begitu. Kerikil dan jalanan yang licin itu membuatku terpeleset dan jatuh ke jurang.
Aku menjerit sekuat tenaga sebelum akhirnya aku sadar bahwa itu sia-sia. Waktu tidak akan berhenti begitu saja jika aku berteriak. Namun, aku benar-benar panik dan takut. Apakah aku akan mati? Apakah seperti ini akhirnya? Aku pun mulai menangis.
Namun, perasaan damai tiba-tiba datang menyeruak, membuat semua kekhawatiran dan perasaan buruk dalam hidupku sirna begitu saja. Di satu sisi, aku merasa begitu tenang dan damai. Mungkin, akhir seperti ini tidak buruk juga untuk orang aneh sepertiku yang menelusuri medan berbahaya hanya untuk menenangkan diri. Atau apakah memang ini yang kuinginkan?
Aku pun tercebur ke dalam sungai di dasar jurang.
Setelah rasa sakit yang diakibatkan reaksi fisika dan hukum gravitasi itu, perlahan aku mulai merasa dadaku terbakar. Anehnya, aku masih terjaga, meski aku terus tenggelam jauh ke dasar sungai yang seperti tiada akhir ini.
Tunggu! Aku tahu sungai ini cukup dalam, tapi apakah memang sedalam ini?
Sayup-sayup aku mendengar sebuah senandung yang begitu jelas tertangkap indera pendengaranku. Sebuah lagu asing yang bahkan tidak bisa kumengerti, tetapi berdendang jelas di telingaku itu kemudian diiringi oleh suara petikan alat musik petik tradisional. Kecapi? Tidak. Melodi yang dihasilkan terdengar lebih... oriental. Guzheng?--alat musik tradisional Cina mirip kecapi. Mungkin saja.
Tidak. Bukan itu masalahnya. Kenapa aku bisa mendengar nyanyian di kedalaman air seperti ini? Apakah ini halusinasi?
Saat suara itu semakin jelas terdengar, aku pun merasa seperti terus ditarik masuk ke dalam sungai, hingga akhirnya aku melihat kilauan cahaya yang sangat terang, sebelum semuanya berubah menjadi gelap dan tiada.