"Tolong biarkan saya yang membayar semuanya—roti yang diambil menantu anda."
Air muka lelaki itu tampak begitu tenang saat ia memasuki pusat kerumunan, pun suara yang ia keluarkan dari mulutnya terdengar begitu jernih dan berkharisma. Keterkejutanku berubah menjadi sesuatu yang lain, dan entah kenapa aku merasa terpukau.
Tidak ada yang istimewa pada diri lelaki berkumis tipis dan berjanggut agak panjang itu. Usianya mungkin sekitar tiga puluh akhir atau empat puluhan tahun. Pakaiannya terlihat biasa—dengan hanfu sederhana berwarna putih padu hijau rumput yang segar—seperti orang-orang di kerumuan ini. Rambut panjangnya yang dicepol dan sebagian lainnya dibiarkan terurai pun tak memperlihatkan bahwa lelaki itu memiliki status yang tinggi yang bisa membuat semua orang dalam kerumunan ini terbungkam begitu saja—setahuku di Cina kuno status seseorang bisa dilihat dari tatanan rambutnya. Namun, entah kenapa aku merasa lelaki ini bukanlah orang biasa.
Lelaki itu melangkah mendekati lelaki tua garang itu dengan begitu santai. "Tolong beri tahu saya berapa semua kerugiannya?"
Lelaki tua itu pun, untuk sejenak, terlihat sedikit heran saat orang asing ini tiba-tiba mengatakan bahwa dia akan membayar semuanya. Namun, raut wajahnya yang menegang tiba-tiba berubah sedikit berseri. "Semuanya tiga ratus Ban Liang—koin tembaga."
Sontak saja semua orang dalam kerumunan terkejut dan saling menatap, mendesiskan kebingungan mereka. Aku memang tidak tahu berapa harga satu koin Ban Liang itu jika dikonversikan ke dalam rupiah atau dollar Amerika, tetapi apakah itu tidak terlalu berlebihan untuk harga sepotong roti? Bahkan harga dua kali lipatnya pun aku rasa tidak akan semahal itu.
Lelaki bijak itu terlihat bergeming dalam ketenangan yang luar biasa. Ia kemudian merogoh pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kantong kain dan menggoyang-goyangkannya. "Saya tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar sepotong roti yang dicuri oleh menantu anda. Kalau anda mau, saya akan membayar anda dengan satu keping Ban Liang."
Merasa dihina, lelaki kasar itu menyeringai penuh amarah. "Kau bercanda? Kau hanya punya satu keping koin tembaga tapi sok-sokan mau membayar semua kerugianku?"
"Memangnya berapa kerugian yang anda alami? Harga sepotong roti tidak akan mungkin sebanyak itu, bahkan meski jika anda melipat-gandakannya," ucap lelaki berkharisma itu. "Jika saya tak salah dengar, anda sudah merampas harta milik menantu anda. Bukankah seharusnya anda membiarkan menantu anda membawa dagangan anda? Itu bahkan tidak setara dengan apa yang sudah anda ambil darinya."
Lelaki tua itu refleks mengangkat alisnya saat ia mendengar ucapan yang dilontarkan lelaki bijak yang kini melirikkan matanya pada pasangan suami istri yang masih tersimpuh di permukaan tanah. Merasa tersinggung, amarah lelaki tua itu tersulut dan nyaris melakukan sesuatu yang buruk saat sang lelaki bijak melanjutkan kalimatnya.
"Tetapi, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Sekarang, apa anda mau menerima biaya ganti rugi dari saya?"
"Jangan bercanda! Tiga ratus ya tiga ratus!"
Astaga, kakek-kakek tua ini menyebalkan sekali!
"Kalau begitu, begini saja. Saya akan membayar anda dengan satu ingot emas yang baru saya dapatkan dari hasil kerja saya. Tapi, anda harus menyerahkan perlengkapan dan bahan-bahan membuat roti anda pada keluarga anak anda."
Mendengar hal itu, tentu saja lelaki tua itu marah. "Kau ini… apa kau hanya mau bermain-main denganku, hah? Mana mungkin aku mau menyerahkan semua modal usahaku pada keparat itu!"
Lelaki berkharisma itu mengeluarkan sebuah ingot emas berukuran sedang dari dalam kantong kainnya. "Saya tidak main-main. Lagi pula, anda bisa membeli perlengkapan yang baru dengan ingot ini. Anda juga bisa menggunakan sisanya untuk membeli berbotol-botol arak dan berpesta."
"Jangan, Tuan!" tampik sang wanita. "Jangan tawari Ayah saya-"
"Diam kau, anak kurang ajar!" sentak si lelaki garang. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada lelaki di hadapannya. Mata nyalangnya kini terlihat lebih berbinar. "Baiklah, aku setuju. Aku akan memberikan semua perlengkapan membuat rotiku beserta semua bahannya. Sekarang, berikan ingot emas itu!"
Lelaki berkharisma itu kemudian memanggil seseorang dari balik kerumunan dan mengatakan sesuatu padanya. "Pergilah bersama lelaki ini dan bawa semua barang di toko rotinya. Setelah itu, pergilah ke tepi sungai Jin." Lelaki itu kembali memberikan perhatiannya pada lelaki tua itu. "Dia akan ikut ke toko anda untuk membawa semua perlengkapan membuat roti anda. Saya akan tahu jika anda beringkar, jadi saya harap anda tidak akan coba-coba melakukan tindakan seperti itu."
"Aku tidak peduli dengan perlengkapan butut itu. Ambil saja semuanya," ucap lelaki itu dengan nada congkak disertai senyum menyeringai yang terlihat menjijikan.
Kedua lelaki itu pun melakukan pertukaran. Dan setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, lelaki tua itu pun langsung pergi seraya bersenandung tanpa sedikitpun memedulikan anak dan menantunya.
Kini perhatian lelaki itu beralih pada pasangan suami istri yang masih terkulai lemas tak jauh dari tempatnya berdiri. Wanita itu tampak kecewa pada lelaki yang—menurut dirinya—sudah melakukan sesuatu yang keliru.
"Tuan, anda tak seharusnya melakukan semua ini. Ayah saya tidak akan membelanjakan uangnya untuk perlengkapan membuat roti yang baru. Dia hanya akan menghambur-hamburkannya dan berpesta dengan arak dan wanita," lirih wanita itu.
Lelaki itu berlutut dan memandang sang wanita dengan jarak dan ketinggian yang sejajar. "Tidak apa-apa. Nyonya tidak perlu memikirkan hal itu. Yang harus nyonya lakukan sekarang hanyalah mengurus keluarga nyonya. Dan yang terpenting, keluarga nyonya sudah terbebas dari penderitaan yang diakibatkan ayah nyonya."
Wanita itu kembali menguraikan air mata. Namun, berbeda dengan yang sebelumnya, air matanya kini memperlihatkan perasaan lega dan bebas. "Kalau begitu, terima kasih banyak, tuan! Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya dan suami tidak akan pernah melupakan jasa tuan. Terima kasih banyak."
Lelaki itu tersenyum tipis. "Setelah suami anda sepenuhnya sadar, bawa dia ke tabib terdekat dan mintalah ramuan pegagan. Setelah itu, bawa seluruh keluarga anda ke tepi sungai Jin. Di sana, teman saya akan menunggu anda. Pindahlah ke Jiangxia dan bangun usaha roti anda dan suami anda sendiri."
"Ba-baiklah."
Seiring dengan berakhirnya percakapan antara lelaki dan wanita itu, kerumunan membubarkan diri, dan orang-orang pun kembali pada aktivitas mereka masing-masing. Setelah beberapa saat, suami wanita itu pun sadar dan mereka berdua pamit setelah mengucapkan terima kasih kepada kami—aku dan lelaki itu.
Untuk sesaat aku termenung, masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Aku yang hanya ingin mengantar Xinqian dan Hua Fei berbelanja pun pada akhirnya seperti lalat yang terperangkap di dalam botol, meski akhirnya botol itu pecah dan aku bisa bebas.
Karenanya, setelah semua orang berpisah, aku pun segera berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu tanpa suara.
Namun, sepertinya aku tidak bisa meredam suara kepergianku sendiri.
"Tunggu dulu, Nona muda!" ucap lelaki itu.
Langkahku terhenti dan aku pun berbalik. "I-iya?"
"Aku sungguh terkesan dengan kemampuanmj dalam menangani kondisi laki-laki itu," puji lelaki itu seraya tersenyum tipis.
Sengatan udara panas tiba-tiba menjalari wajahku. Aku segera memalingkan wajah untuk menyembunyikan semburat rona yang mewarnai wajahku. "I-itu bukan apa-apa."
"Selain itu, aku juga terkesan dengan keberanianmu dalam melindungi pasangan itu. Tetapi, nona terlalu ceroboh."
Itu memang benar. Aku sangat ceroboh dan aku menyadarinya. Namun, mendengar hal itu dari lelaki berjanggut ini membuatku sedikit terkejut. Nada bicaranya yang mengalun santai membuatku penasaran dengan apa yang disembunyikan oleh raut santai yang mengguratkan sedikit kekecewaan itu.
"Maaf, tapi apa maksud anda?" Pada akhirnya kalimat tanya yang remeh itu terucap juga.
Lelaki itu mengisyaratkanku untuk mengikutinya berjalan menuju sebuah bangku di depan kios jajanan tak jauh dari tempat kami berdiri. Kami pun duduk, dan lelaki itu menghela napas sebelum menuturkan apa yang hendak ia tuturkan.
"Menolong seseorang merupakan suatu tindakan yang mulia, tetapi menolong orang lain tanpa berpikir terlebih dahulu itu sama saja dengan mengajak orang yang kita tolong untuk bunuh diri," ucap lelaki itu.
Mungkin itu memang terdengar sedikit ekstrim, tetapi aku setuju dengan apa yang ia ucapkan. Tidak seharusnya aku melakukan sesuatu tanpa berpikir dulu seperti tadi.
"Segala sesuatunya harus diperhitungkan terlebih dahulu. Bukan berarti kita tidak boleh menolong dengan segenap hati dan jiwa, tetapi coba pikirkan… apa yang akan terjadi jika lelaki pemarah itu tak bisa menghentikan ayunan tongkatnya? Apa yang akan terjadi jika aku tidak ada di sana tadi?"
Aku hanya bisa menunduk malu saat orang itu terus mengutarakan pikirannya sambil terus mengelus janggutnya.
"Kita kesampingkan soal itu. Coba lihat!" Lelaki itu menunjuk ke arah sayur mayor yang tercecer di jalanan.
"Oalah!" Aku baru ingat!
Seketika aku terlonjak kaget hingga aku terbangun dari tempat dudukku. Aku benar-benar tidak ingat kalau tadi aku sedang membawa sayuran yang dibeli Xinqian. Sekarang semuanya tercecer dan sudah terinjak-injak oleh kerumunan tadi dan orang-orang yang berlalu lalang.
"Sebelum melompati batu pijakan terakhir, kau harus melihat pijakanmu saat ini."
"Aduuuh, gimana nih?" Xinqian bisa marah. Apalagi sayuran itu untuk makan malam nanti, untuk tuan rumah—suami Nyonya Huang.
Aku terduduk kembali dengan tubuh yang terasa sangat lemas. Aku tidak punya uang untuk mengganti semuanya, dan tak bisa berpikir dengan jernih. Panik yang menyerangku kembali membuatku tak berdaya.
"Ahaha, ternyata gaya bicaramu memang unik, ya?" kata lelaki itu kemudian, kini mengomentari aksen anehku yang secara tak sengaja kukeluarkan. Lelaki itu merogoh bajunya dan kembali mengeluarkan kantong kainnya yang lusuh itu, sebelum akhirnya ia mengambil beberapa keping uang dan menyerahkannya padaku. "Ini. belilah bahan makanan yang baru."
Seolah-olah terpisah dari bagian tubuh lainnya, aku mengangkat tanganku dan hendak menerima uluran tangan berisi kepingan koin tembaga lelaki itu. Beruntung akal sehatku segera membangunkanku dan menarik kembali tanganku ke dalam posisi sedekap di atas pangkuan. "Tidak, tuan. Ini masalah saya, dan saya harus menangannya sendiri.
"Jangan berkata seperti itu. Kau ingat perkataanku beberapa saat yang lalu?"
Tentu saja, kalimat lelaki itu masih terngiang jelas di dalam telingaku. Aku bukanlah tipe orang yang langsung melupakan beberapa hal begitu saja, bahkan meski itu hal-hal tak berguna sekalipun. Dan aku pun paham maksudnya.
"Jika kau merasa berat menerimanya," lanjut lelaki itu, "anggap saja ini sebagai bentuk terima kasihku atas pertolongan yang kau berikan pada lelaki malang itu."
"Ta-tapi-"
Lelaki itu meraih tanganku dan meletakkan uangnya dalam genggamanku. "Menjelang siang dengan terik matahari yang menyorot, sayuran sudah mulai kehilangan kesegarannya. Tapi kau bisa membeli sawi hijau. Kurang segar pun tidak apa-apa, asalkan nona membelinya di kios yang tidak tersorot langsung sinar matahari. Sebagai pengganti bahan utamanya, belilah tahu dan jamur. Selain itu, belilah bawang putih, daun bawang, dan lada. Itu saja sudah cukup."
"Tapi, bagaimana jika saya dimarahi karena membawa bahan makanan yang berbeda dengan pesanan?"
"Mereka tidak akan marah. Aku jamin itu. Sekarang pergilah berbelanja sebelum temanmu datang."
Mendengar ucapannya yang diriingi oleh senyuman tipis nan tulus itu, aku pun segera menunduk dan berterima kasih sebelum melangkah pergi meninggalkan lelaki itu.
Namun, belum genap empat langkah aku berjalan, lelaki itu sudah menghentikanku lagi. "Tunggu, nona?"
Aku berbalik dan kembali menatapnya heran.
"Maaf karena sudah tiba-tiba menceramahimu."
Aku menggeleng perlahan seraya tersenyum. "Saya tidak merasa sedang diceramahi. Sebaliknya, seharusnya saya berterima kasih karena anda sudah memberikan pelajaran yang berharga. Perkataan anda membuka kepala saya untuk berpikir. Sekali lagi terima kasih,"
Setelah menerima balasan senyum dari lelaki itu, aku pun berpamitan dan bergegas mencari kios yang menjual bahan-bahan yang dikatakan lelaki itu. Meski aku masih diselimuti keraguan, aku menggerakkan tubuhku seraya berpikir apa yang akan terjadi setelah ini. Xinqian mungkin akan merasa kecewa padaku, dan mungkin saja memarahiku karena tidak bisa mengemban amanah sekecil itu.
Setelah dipikir-pikir lagi, aneh sekali. Kenapa aku begitu mempercayai lelaki itu dan mau saja disuruh membeli bahan-bahan yang ia sebutkan tadi?
Ketika aku berada di pemberhentianku yang terakhir untuk membeli daun bawang, aku berjumpa kembali dengan Xinqian yang baru saja kembali. Dan melihat diriku sedang berada di kios yang cukup jauh dari titik kumpul kami, Xinqian pun mengernyitkan dahinya. "Kenapa kau ada di sini?"
"Ah, Xinqian. Begini…." Sebelum menceritakan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aku meminta maaf terlebih dahulu kepadanya. Barulah setelah itu aku menceritakan semuanya, dari mulai keributan itu hingga obrolan terakhirku dengan lelaki yang menyuruhku membeli bahan-bahan yang sekarang ada di tanganku.
"Karena itu, aku minta maaf. Aku sungguh meminta maaf," ucapku memungkas cerita.
Xinqian menghela napas berat. Aku tahu dia akan merasa kecewa, tetapi ternyata tidak seburuk dugaanku. "Sudahlah, tidak apa-apa. Aku yakin Nyonya Huang akan mengerti. Tapi bisa-bisanya kau mempercayai lelaki asing itu begitu saja."
"Bodohnya aku, aku sendiri heran kenapa aku mau menurut padanya begitu saja. Yah, dia bilang orang-orang di rumah tidak akan marah, sih."
"Ya sudahlah. Ayo, kita pulang! Hua Fei sudah menunggu kita di pintu keluar pasar," ajak Xinqian. "Ah, dan maaf sudah meninggalkanmu terlalu lama. Ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan."
"Tidak apa-apa."
Kami berdua saling bertukar senyum dan berjalan pulang.
Aku tidak akan mengatakan bahwa ini adalah hari yang berat dan melelahkan, meskipun apa yang terjadi hari ini sangatlah aneh. Kedatanganku ke zaman ini pun sudah sangat aneh bagiku. Namun, hari ini aku mendapatkan pelajaran berharga. Semuanya karena lelaki misterius itu. Sayangnya, ada banyak hal yang membuatku penasaran.
Andai saja kami bisa bertemu kembali, ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Meski aku berkata telah mendapatkan pelajaran yang berharga, tetapi aku merasa pelajaran singkat yang ia berikan tadi belum sepenuhnya tuntas dan masih menggantung.