Chereads / Song From The Unknown / Chapter 12 - Perjalanan Ke Hanzhong (bag. 2)

Chapter 12 - Perjalanan Ke Hanzhong (bag. 2)

Saat Tuan Zhuge Liang mengatakan bahwa angin mulai bertiup ke arah yang sebaliknya, aku sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapannya. Jika yang ia maksud adalah keberuntungan—atau ketidakberuntungan—kami dalam perjalanan, aku rasa kata "angin" terlalu halus untuk dijadikan sebagai perumpamaan. Dan jika "angin" yang dimaksud itu adalah segerombolan bandit yang hendak menyergap kami, itu akan terasa semakin tidak masuk akal, kecuali jika yang dimaksud adalah "angin ribut."

"Tu-tuan! Ada segerombolan bandit yang bergerak ke arah kita!" Kusir yang mengendalikan kereta kami masih berada di atas tempat duduknya, tetapi getaran yang diakibatkan dari kepanikan dirinya membuatku pun merasa terguncang. Terlebih saat ia berkata bahwa para bandit itu sedang mengarah menuju kereta kuda kami, jantungku pun berdegup semakin kencang.

Aku bangkit dari rasa malu yang sempat mendera, dan segera mengintip di sela tirai yang menutupi lawang kereta untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku mengarahkan pandangan ke arah kemana sang kusir memandang, dan akhirnya diriku pun, dengan susah payah, berhasil menangkap apa yang kusir itu lihat.

Segerombolan bandit yang menunggangi kuda sedang mengarah ke sini dengan laju yang cukup tinggi.

Panik menyeruak, membuat jantungku berdebar semakin kencang. "Tuan, pak kusir itu benar! Bagaimana ini?" Aku kembali mengedarkan pandangan, berusaha mencari celah bagi kami untuk melarikan diri. Namun, di sekeliling kami hanya ada tanah gersang yang kosong sejauh mata memandang, dengan tebing-tebing kokoh yang berada puluhan kilometer jauhnya. Di tanah terbuka itu, tidak ada satupun tempat bagi kami untuk bersembunyi ataupun lari.

"Lingyin, masuklah," ujar Tuan Zhuge Liang dengan nada yang mengalun tenang.

Sesuai perintahnya, aku memasukkan kembali separuh tubuhku yang kulongokkan ke luar pintu.

Dalam serangan adrenalin dan euphoria aneh yang mengalir, aku masih tidak menyangka jika hal seperti ini benar-benar terjadi. Aku sering melihat dan mendengar berita tentang pembegalan, baik di TV maupun di daerah tempat asalku, tetapi aku tak mengira jika aku akan benar-benar mengalaminya, terlebih di zaman yang serba terbatas ini. Semua ini seperti drama dalam novel atau film saja. Tetapi saat aku merasakan getaran di kaki serta deburan jantung yang begitu kencang, aku yakin saat ini aku benar-benar hidup dan aku benar-benar sedang mengalami semua ini.

Gerombolan bandit itu semakin mendekat, dan posisi kami semakin terancam. Pikiranku yang kalut mulai berpikir kenapa seorang yang penting seperti Tuan Zhuge Liang tidak mendapat pengawalan dari prajurit kerajaan? Ah, benar juga. Pantas saja aku merasa aneh saat roda kereta mulai berjalan meninggalkan kediaman Zhuge. Kami hanya bertiga dalam perjalanan ini—Tuan Zhuge Liang, sang kusir, dan aku. Mungkin ini juga yang menjadi dasar dari pertanyaan kenapa Tuan Zhuge Liang lebih memilih diriku untuk menemani perjalanannya, ketimbang Hua Fei, meski mungkin Hua Fei tidak terlatih sebagai seorang prajurit.

Lagi-lagi pikiranku kacau karena serangan panik yang merundungku.

Aku mengalihkan pandanganku pada Tuan Zhuge Liang, berharap sang ahli siasat itu bisa membawa kami keluar dari situasi ini. Namun, aku merasa kegundahan yang kini diriku—dan sang kusir—rasakan sia-sia saja. Tuan Zhuge Liang tampak begitu tenang, meski garis mulutnya sedikit menekuk.

"Tuan, para bandit itu mulai mendekat!" sergahku, sedikit melakukan penekanan, berharap Tuan Zhuge Liang menyadari posisi kami sekarang.

"Memangnya kenapa jika para bandit itu mulai mendekat?"

Suaranya kembali membuatku terbungkam. Ada suatu hantaman yang lembut menerpaku, dan aku rasa itu berasal dari ketenangannya yang luar biasa. Maka mungkin tebakanku benar, bahwa Tuan Zhuge Liang sudah memikirkan sesuatu. Namun, sikapnya itu membuatku menjadi semakin tidak sabar.

"B-bukankah sudah jelas? Bisa saja mereka menyerang kita!" ucapku gelagapan.

"'Bisa saja', benar begitu?" Tuan Zhuge Liang mengangkat sebelah alisnya. Lagi-lagi ia menyembunyikan sesuatu di balik kipas bulu bangaunya yang legendaris.

Kini aku sedikit mengerti, dan aku rasa tebakanku memang benar.

Tuan Zhuge Liang menyingkirkan kipas yang menghalangi wajahnya, kemudian menunjukkan sebuah senyuman tipis yang sedikit menggoda. "Aku masih belum memberitahumu kenapa aku memberimu nama Lingyin, dan kenapa aku mengajakmu."

Sungguh, menimbang keadaan saat ini, aku merasa ini bukan saatnya untuk membicarakan semua itu. Tetapi aku memang penasaran, dan pada akhirnya aku pun memutuskan untuk mendengarkannya sedikit lagi.

"Seperti angin teduh yang membuat raga menjadi sejuk, sebuah lagu yang mengalun merdu bisa membuat jiwa menjadi tenteram. Dan bagaikan angin pula, yang bisa membawa benda yang lebih ringan dari massanya terbang dan menggiringnya ke suatu tempat, sebuah lagu juga bisa membawa jiwa seseorang terbang ke suatu tempat," ucap Tuan Zhuge Liang.

Di sela-sela kalimat Tuan Zhuge Liang, kusir kereta kembali memekik dari luar sana. "Tuan! Mereka sudah semakin dekat!"

Tuan Zhuge Liang tidak menghiraukan peringatan dari sang kusir. Aku hendak kembali melongok ke luar jendela, tetapi Tuan Zhuge Liang kembali meneruskan kalimatnya. "Nyanyianmu tak hanya membawaku terhanyut, tetapi juga membawamu pada takdir yang sedang kau jalani sekarang."

"Tuan, maafkan saya, tetapi saya benar-benar tidak mengerti. Selain itu, bukankah kita harus melakukan sesuatu?" ujarku mulai panik setelah mendengar peringatan dari kusir kuda tadi.

"Kalau begitu, bersikaplah lebih tenang."

Lagi-lagi Tuan Zhuge Liang membuatku tergemap. Suasana menjadi hening, perkataannya menelanku secara mentah-mentah begitu saja. Meski aku belum bisa mengerti apa yang dimaksudnya, tetapi anehnya aku mampu mengikuti ucapannya. Aku merasa lebih tenang sekarang, meski kini ketenangan itu terusik oleh kehadiran para bandit yang telah mengepung kami.

"Oi, tuan! Apa yang kau bawa?!" Terdengar suara garau seorang lelaki menyentak kusir kuda kami di luar sana.

Tidak ada jawaban dari orang yang ditanyai bandit itu. Aku rasa kusir kuda kami sudah semakin ketakutan hingga dirinya tak mampu mengeluarkan satu patah kata pun.

"Tuan, kita harus melakukan sesuatu," bisikku pada Tuan Zhuge Liang.

"Sayangnya saat ini kita tidak berada dalam posisi yang mengharuskan kita untuk melakukan sesuatu," timpal Tuan Zhuge Liang dengan begitu tenang.

Ucapannya yang santai itu menimbulkan efek kejut yang membuat diriku merasa tersengat. Spontan aku mengerutkan dahi, rasanya tak sabar untuk menyanggah ucapannya barusan. Namun, bayangan tubuh besar seseorang muncul di jendela dan membuatku terhenyak kaget.

Tubuh pria itu begitu besar seperti Hulk, dengan urat nadi yang menonjol di lengan berototnya yang tak terlindung sehelai kain pun. Kepala pelontos dengan tubuh bertelanjang dadanya menambah kesan sangar pada lelaki itu, membuatku semakin menciut di sudut terdalam kereta.

Pria bertubuh besar itu kemudian memukul kereta kuda dengan tangan besarnya. Sungguh, guncangan yang ia hasilkan terasa seperti gempa bumi berskala besar saja. "Hei, Tuan! Keluar dan berikan semua barang bawaanmu!"

Astaga. Bandit-bandit itu benar-benar frontal. Yah, aku tahu tidak ada kata etika atau basa-basi dalam kamus para penjahat manapun, tetapi rasanya mengerikan ketika ada orang asing yang tiba-tiba meminta sesuatu dari kita dengan begitu kasar.

"Sayang sekali," ucap Tuan Zhuge Liang seraya menoleh ke luar jendela, ke arah pria bertubuh besar itu, "kami tidak memiliki apapun untuk diserahkan pada kalian."

Apakah ini hanya akal-akalan Tuan Zhuge Liang, sama seperti ketika ia berhadapan dengan penjual roti tua yang kasar di pasar tempo hari? Tetapi jika kuingat lagi, kami memang tidak membawa barang berharga apapun.

Pria besar itu kembali mengguncang kereta kuda kami, kini dengan tenaga yang lebih dahsyat. "Apa? Jangan berbohong! Ayo keluar!"

Aku melirik Tuan Zhuge Liang dengan penuh harap, tetapi yang bersangkutan justru lebih memilih untuk mengikuti alur yang pria besar itu suguhkan. Maka dirinya pun membuka pintu kereta dan beranjak dari tempat duduknya.

Saat itu aku sempat melihat lirikannya yang super kilat, namun berhasil membuatku terkesiap. Tuan Zhuge Liang, melalui kilatan matanya, mengisyaratkanku untuk mengikutinya turun dari kereta kuda. Dengan berat hati, aku pun mengikutinya.

Di luar suasana terasa lebih mencekam. Lima ekor kuda yang ditunggangi oleh masing-masing satu pria berwajah sangar telah mengepung kereta kami, sementara dua ekor kuda lainnya tampak kosong tak berpenunggang karena sang penunggang sedang memegangi kusir kuda kami yang malang, tak jauh dari kursi kemudinya.

"Serahkan semua barang kalian!" Sekali lagi pria besar berkepala pelontos itu menggertak, kini dengan sebilah pedang di tangannya.

Aku merasa getaran rasa takut kembali menguasaiku, membuat pikiran-pikiran negatif itu kembali bermunculan. Tubuhku mendadak limbung, dan kakiku terasa lemas saat melihat para pria itu mulai memamerkan senjata tajam mereka.

Aku kembali menoleh pada Tuan Zhuge Liang, dan tanpa sadar nyaris meraih dan mengumal jubahnya layaknya seorang anak gadis yang hendak mengadu kepada ayahnya karena telah dijahili di sekolah. Ya Tuhan, aku begitu ketakutan hingga tak sadar dengan apa yang kulakukan.

"Aku tidak mengira kalau para bandit masih bebas berkeliaran di daerah ini. Aku pikir tentara Wei sudah menghabisi para bandit yang menganggu di bekas wilayah komandonya," ucap Tuan Zhuge Liang dengan santai. "Tetapi jika kenyataannya memang begitu, mau bagaimana lagi? Ambil saja semua yang bisa kalian ambil."

Raut sangar para bandit itu berubah cerah saat Tuan Zhuge Liang menemui akhir kalimatnya. Mereka segera turun dari kuda dan menggeledah isi dan semua sudut kereta.

Tetapi air muka mereka yang cerah kembali muram ketika mereka menyadari bahwa tak ada satupun benda berharga yang bisa mereka jarah.

Merasa dipermainkan, pria besar itu menghunuskan pedangnya tepat ke arah leher Tuan Zhuge Liang. "Apa-apaan ini? Tidak ada satu pun benda berharga di kereta kalian?!"

"Bukankah aku sudah bilang bahwa kami tidak memiliki apapun untuk diserahkan pada kalian?" timpal Tuan Zhuge Liang dengan tatapan mengejek. Tak kusangka, seorang Zhuge Liang bisa bersikap tengil seperti ini.

Rona padam di wajah lelaki itu semakin membara. Ia mengertakkan giginya dan meneriakkan suara amarahnya yang begitu memekakkan telinga. Dengan cepat, lelaki itu pun mengangkat pedangnya dan hendak mengayunkannya pda Tuan Zhuge Liang.

Melihat semua itu, aku menjerit dan secara refleks memejamkan mata. Namun, sebelum jeritanku terputus di ujung napas, suara erangan pria besar itu membuat keadaan menjadi berbalik. Dan saat aku membuka mataku, pria besar itu telah tersungkur di kaki Tuan Zhuge Liang dengan anak panah menancap di punggungnya.

"Ah, tepat pada waktunya," gumam Tuan Zhuge Liang seraya memalingkan pandangan pada segerombol kecil pasukan berkuda yang melesat ke arah kami.