Chereads / Song From The Unknown / Chapter 15 - Romansa Di Ujung Jalan

Chapter 15 - Romansa Di Ujung Jalan

Udara di sekitar kamp terasa begitu dingin di pagi hari, seperti tundra kelabu yang dihempas kabut kesunyian. Tetapi tidak ada kabut di sini, kecuali embusan angin yang meniup debu berwarna kusam yang sesekali datang menerpa. Beruntung saat matahari mulai terbit, perlahan kehangatan mulai memeluk dan membuat semua orang bersemangat untuk menjalani hari baru.

Semua hidangan sudah tersaji, maka kami pun mulai menyantap sarapan kami. Pagi ini Tuan Zhuge Liang ingin santap sarapannya kutemani, karena itu aku berada satu tenda dengannya, yang membuatku masih sulit mempercayai bahwa kini aku sedang sarapan dengan Tuan Zhuge Liang. Aku jadi ingat teman daringku, Bayu, yang begitu tergila-gila dengan Kisah Tiga Kerajaan dan sangat menyukai tokoh Zhuge Liang dan Guan Yu. Jika dia tahu kini aku bekerja untuknya dan sarapan bersamanya, dia pasti akan bersikap sangat heboh—atau mungkin menganggapku gila karena itu kedengaran mustahil.

Yah, saatnya bagiku untuk membuka mata dan menghadapi kenyataan gila ini.

"Ngomong-ngomong Lingyin," ucap Tuan Zhuge Liang yang baru saja menelan makanannya, "Sejak awal aku penasaran, dari mana kau belajar perawatan orang sakit dan terluka?"

"Eh? Kenapa Tuan tiba-tiba menanyakan hal itu?"

"Sejak awal pertemuan kita, aku merasa terkesan dengan kemampuanmu menangani orang yang sakit dan terluka. Melihat dirimu menangani lelaki di pasar itu, lalu caramu merawat dan membalut luka prajurit muda itu membuatku terpukau."

"Um, itu…." Ingatanku kembali berputar ke masa sekolahku dulu. Sejak SMP aku bergabung dengan ekstra kurikuler PMR dan Pramuka hingga SMA, dan aku sangat serius mengikutinya, meski saat masuk kuliah semua semangat berorganisasi itu semakin memudar. Jika diingat lagi, mungkin aku pun tak akan bertahan di PMR dan Pramuka jika aku kehilangan motivasi untuk mempelajari semua hal dan materi dalam ekskul itu. Tetapi tidak mungkin aku mengatakan semua itu secara mentah-mentah, 'kan?

Karena itu, aku pun berkata, "Awalnya… saya belajar pada seseorang, lalu saya berusaha mendalaminya sendiri."

"Oh, begitu. Ternyata kau benar-benar gadis yang hebat"

"T-tidak, Tuan. Yang saya pelajari hanya dasar-dasarnya saja." Aku menurunkan tanganku yang memegang mangkuk ke pangkuan, seraya menatap nasi yang masih tersisa. "Lagi pula… saya mempelajarinya karena merasa kalau itu adalah suatu kebutuhan, meski mungkin kemampuan seperti itu tidak selalu dibutuhkan."

"Karena itu aku dengan senang hati mengatakan bahwa kau gadis yang hebat. Tidak banyak gadis seperti dirimu, yang berani mengambil risiko dan melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan, termasuk mempelajari banyak hal yang mungkin akan berguna di kemudian hari."

"A-anda terlalu menyanjung saya."

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

Aku tersipu dan sayangnya sebuah desahan mengkhianati hatiku. Dengan ucapannya, Tuan Zhuge Liang dengan terampil telah mengambil keuntungan dari kelemahanku, membuatku merasa lebih percaya diri, meski hati masih menyimpan keraguan.

Ah, aku jadi ingat. "Tuan, perkataan anda tempo hari…"

Tuan Zhuge Liang mengangkat alisnya. "Hm?"

"Um, itu… alasan anda mengajakku ke Hanzhong, apakah anda ingin saya melakukan sesuatu seperti mengobati atau merawat orang sakit?"

Tuan Zhuge Liang menyimpan mangkuknya yang sudah kosong. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Anda bilang nyanyian saya tak hanya membawa anda terhanyut, tetapi juga membawa saya pada takdir saya sekarang. Apakah yang dimaksud 'takdir' itu adalah pekerjaan yang akan Tuan berikan pada saya di Hanzhong, mengingat pertemuan pertama kita terjadi saat saya sedang melakukan pertolongan pertama pada lelaki yang sakit itu? Dan perihal 'nyanyian' itu... apakah maksudnya... segala tindak-tanduk saya?"

Tanpa kuduga, Tuan Zhuge Liang tertawa. Aku kini menukas diriku sendiri, berpikir bahwa jangan-jangan aku sudah mengatakan sesuatu yang salah atau memalukan, yang pantas untuk ditertawakan. Ah, sepertinya sanjungan Tuan Zhuge Liang sebelumnya sudah membuatku kepedean.

Tetapi kemudian Tuan Zhuge Liang menatapku lembut, dengan senyuman yang tergurat sempurna di wajah kharismatiknya. "Interpretasimu terhadap maksud di balik perkataanku sungguh menarik. Sepertinya kau sudah bisa menangkap maksudku dengan baik."

"Yah, saya hanya mengira-ngira," timpalku sedikit malu-malu. "Jadi, apakah itu benar?"

"Benar atau tidaknya, itu tak terlalu penting. Lagi pula sebentar lagi kau akan segera mengetahuinya," pungkas Tuan Zhuge Liang yang membereskan peralatan makannya.

Lagi-lagi ucapan Tuan Zhuge Liang tak bisa kuprediksi, meski kini aku sudah sedikit memahami dirinya beserta segala makna konotatif yang selalu ia sisipkan pada setiap perkataannya. Itu pun jika apa yang kuungkapkan memang benar—Tuan Zhuge Liang membiarkanku berada dalam ruang ambiguitas dan membuatku terjerat pada pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku sendiri.

"Ah, selain itu…." ucap Tuan Zhuge Liang setengah berbisik. "Biar kukatakan sebuah rahasia penting."

"Rahasia?" Apa itu? Kini aku menajamkan pendengaranku.

"Pikiran yang jernih bisa membuatmu menggenggam seluruh dunia."

Tangan Tuan Zhuge Liang bergerak cepat membereskan perlengkapan makannya, seolah menangkis segala pertanyaan yang hendak kuutarakan. Senyuman tipis itu masih tersungging, sedikit mengangkat kumisnya yang seperti kumis ikan arwana.

Aku suka teka-teki, tetapi terkadang itu sangat memusingkan. Meski begitu, aku mencoba sekali lagi mencerna ucapan Tuan Zhuge Liang.

Namun, diriku beserta otak yang kugunakan untuk memproses semua informasi itu terdistraksi oleh kedatangan Han Jin.

"Tuan Direktur Jenderal, persiapan keberangkatan sudah selesai," ujarnya.

"Ah, baiklah," timpal Tuan Zhuge Liang.

"Baik, Tuan," tandas Han Jin. Lelaki itu sejenak melirikku, lalu pergi ke luar setelah tatapan kami saling beradu untuk beberapa saat.

Kini Tuan Zhuge Liang yang melirik padaku seraya mengangkat sebelah alisnya. "Apa terjadi sesuatu di antara kalian?"

"T-tidak! Tidak ada apa-apa!" jawabku gugup.

Tuan Zhuge Liang tidak berkata apapun lagi, tetapi garis bibirnya yang mengembang tipis, beriringan dengan alisnya yang mengangkat membuatku sedikit curiga, seperti dirinya sedang menyembunyikan sesuatu atau mengetahui sesuatu.

Entah kenapa, beberapa hari tinggal bersama Zhuge Liang membuatku menjadi semakin sensitif.

******

Kami berangkat menuju Hanzhong pada pukul sepuluh—dalam perkiraanku. Rombongan yang semula terdiri dari satu kereta kuda berpenumpang dua orang plus satu kusir kini menambah personel. Lima ekor kuda beserta penunggangnya mengikuti kami—atau lebih tepatnya mengawal kami—atas perintah sang pemegang komando. Dua kuda berjalan beriringan, masing-masing di kiri dan kanan kereta kuda, sementara tiga lainnya mengekor di belakang.

Aku membuka tirai jendela untuk melihat pemandangan di luar sana. Di saat yang sama, Han Jin yang berada di bagian sisiku sedang meniup-miup helaian rambut bagian depan yang lolos dari ikatannya.

Seketika ingatanku kembali pada waktu malam tadi, dimana 'insiden' dan segala kecanggungan itu hampir membunuhku. Aku hendak menutup jendela kembali, tetapi aku terlambat.

"Apa kau merasa pengap di dalam sana, Nona Lingyin?" tanya Han Jin yang mendapati diriku terjebak di antara tirai jendela yang entah akan tersingkap atau tertutup.

"Um, sedikit. Yah, begitulah," jawabku canggung. Sudah terlanjur. Aku buka saja jendelanya.

"Yah, walaupun musim dingin akan segera datang, tetapi sirkulasi udara yang minim di dalam kereta kuda bisa membuat kita merasa pengap," ucapnya.

Apa dia sedang mencoba berbasa-basi? Yah, melihat dari raut lembut yang tergurat di wajahnya, aku rasa lelaki ini memang selalu bersikap SKSD—sok kenal sok dekat. Tapi, aku rasa tidak begitu juga.

Mataku tiba-tiba terpaku pada kain putih yang melingkar di lehernya. Aku sedikit tertegun, merasa bingung dengan perasaanku sendiri.

"Kau masih memakai perban itu?" tanyaku spontan setelah melihat noda hijau kecoklatan—dari obat yang kuoleskan di lukanya—yang tercetak di perbannya.

Han Jin menyentuh lukanya. "Ah, iya. Bukankah aku harus menjaga luka yang kau obati ini?"

Udara panas yang aneh itu kembali menyerang wajahku, membuatku memalingkan wajah ke arah wajah kuda gagah yang ditungganginya. "Ma-maksudku, kau harus mengganti perbannya. Kau harus menjaga higienitasnya."

"Hmm… sepertinya aku akan kesusahan jika harus menggantinya sendiri. Kau mau menggantikan perbannya untukku?" ucap lelaki itu datar.

"A-aku… bisa saja melakukannya," gagapku.

Han Jin tergelak kecil. "Kalau begitu, mohon bantuannya!"

Ketika dia tertawa, kerut-kerut kecil muncul di sudut matanya, membuatku kembali memalingkan pandangan ke arah lainnya. Anehnya, reaksi yang muncul sedikit menggelitik diriku, sehingga membuat diriku kesulitan untuk menahan senyum.

"Hei, Han Jin! Apa yang sedang kalian bicarakan?" Seorang prajurit tiba–tiba muncul dari belakang Han Jin dengan nada yang menggoda. "Oh, apa aku mengganggu?"

"Ti-tidak! Sama sekali tidak!" tampikku.

Prajurit itu tampak memikirkan sesuatu sebelum ia menyunggingkan sebuah senyum simpul yang membuat matanya terlihat terpejam. "Oh, iya! Nona, sepertinya Han Jin menyukaimu. Kau tahu? Sejak kemarin dia selalu memperhatikanmu, loh! Sebelum tidur dia juga terus meracau kalau dirinya beruntung bisa bertemu dengan wanita cantik sepertimu."

"A-apa?" sengatan aneh yang membuat jantungku kembali berdegup kencang itu kembali menyerang, membuat wajah serta telingaku terasa panas.

Han Jin pun sepertinya sama. Ia terbeliak dan tampak tergagap saat rekannya terkikik geli. Han Jin mencoba meraih kepala lelaki itu untuk ia pukul tetapi jarak membuatnya kesulitan melakukan itu. Dengan alis yang menukik tajam, ia pun membentak rekannya. "Dasar bodoh! Apa yang kau katakan?"

Lelaki itu terus terkikik mendengar Han Jin yang menggerutu.

Respon tubuhku tidak baik. Degup jantung yang kacau membuatku mengambil jarak dan memutusakan untuk mengakhiri percakapan, sebelum akhirnya aku kembali menutup tirai jendela.

Dari dalam aku masih bisa mendengar Han Jin mengomeli dan menyalahkan rekannya karena membuatku menutup jendelanya.

Aku sendiri tak tahu, apakah sikapku ini benar atau tidak, apakah aku sudah membuat Han Jin tersinggung atau tidak—kemungkinan yang terburuk adalah aku membuatnya tersinggung hingga ia tidak mau bicara lagi denganku. Sebagian diriku menganggap itu bukan masalah, tetapi bagian diriku yang lain tidak ingin membuatnya terluka karena sikapku.

Tetapi aku sungguh kesal, dan malu.

"Lingyin, ada apa?" tanya Tuan Zhuge Liang.

"Ti-tidak. Tidak ada apa-apa."

"Hee, begitukah?" Tuan Zuge Liang kembali menunjukkan raut usilnya, membuatku ingin merebut kipas kesayangannya untuk menutupi wajahku.

Tuan Zhuge Liang kembali melirik. "Oh, iya. Aku sedikit penasaran dengan satu hal."

"Apa itu, Tuan?"

"Berapa umurmu?"

"Eh? Umur saya delapan belas tahun"

"Tidak mungkin," sergah Tuan Zhuge Liang. Sekilas ia terlihat terhenyak. "Aku kira kau masih berumur setidaknya lima belas tahun."

"Karena saya bertubuh mungil?" Aku menaikkan alis kiriku saat menatapnya.

"Karena kau terlihat masih sangat muda," tukas Tuan Zhuge Liang.

Aku tidak mengerti kenapa ia tersenyum seperti itu, seperti seorang kakek yang mendapati cucu perempuannya mendapat seorang pacar pertama di akhir masa pubertasnya. Kacaunya, semakin tak ingin kupikirkan, aku justru semakin memikirkannya.

Atau jangan-jangan… dia ingin menjadikanku istr-

Roda kereta menggilas sebuah batu besar, mementalkanku daritempat duduk hingga kepalaku hampir terantuk pada langit-langit kereta. Aku merintih karena kaget, tetapi rasanya seperti aku benar-benar terbentur keras. Sepertinya alam pun tidak ingin aku memikirkan hal konyol itu.

Namun ketakutanku semakin menyeruak. "Tuan, apa anda berencana menambah istri?"

"Hah? Apa maksudmu?" Tuan Zhuge Liang tampak sangat terkejut. Bahkan sepertinya sikap super tenang yang selalu ia tunjukkan kini hilang tersapu badai.

Jelas saja aku langsung memalingkan muka. "Ti-tidak. Lupakan."

"Sepertinya kau-"

"Tuan, tolong jangan dibahas lagi. Jangan pernah bahas ITU lagi. Dan jangan berpikir yang tidak-tidak."

Tuan Zhuge Liang masih mengernyitkan dahi, alisnya terlihat tampak saling bertautan.

Dasar! Sungguh konyol! Tetapi entah kenapa aku merasa sangat lega.

Sementara hari yang sejuk bergulir, sepanjang perjalanan kami isi dengan obrolan ringan yang terdengar seperti obrolan basa-basi semata, tetapi aku begitu menikmatinya. Beberapa saat keheningan menjeda interaksi, lalu kami mengobrol dan terdiam lagi, hingga pada akhirnya kami menikmati sisa perjalanan singkat ini dalam senyap. Sesekali aku mengintip ke luar jendela, melihat deretan pepohonan yang memandu kami menuju wilayah Hanzhong.

Dari sisi jendela lain, seorang prajurit mengetuk dinding kereta dan berbicara pada celah tirai yang tersingkap.

"Tuan, kita akan segera memasuki Hanzhong."

Tuan Zhuge Liang mengangguk ringan, kemudian menoleh padaku dengan lembut. "Aku harap kau sudah siap karena setelah memasuki Hanzhong, kau akan langsung melaksanakan tugasmu."

Dalam hati aku merasa gugup, lalu aku pun menelan ludah. Namun, melihat senyuman Tuan Zhuge Liang yang penuh kepercayaan, semua risau yang menjeratku seakan lenyap, walaupun aku belum tahu apa yang sedang menungguku di sana.