Chereads / Song From The Unknown / Chapter 16 - Nyanyian Di Atas Bukit

Chapter 16 - Nyanyian Di Atas Bukit

Selain jumlah peopohonan yang mengelilingi kota itu, Hanzhong hampir tidak berbeda dengan Chengdu dari segi struktur dan tata ruangnya, meski mungkin kota yang baru-baru ini jatuh ke tangan Liu Bei itu memiliki luas yang lebih kecil jika dibanding dengan ibu kota Provinsi Yi itu. Udara tipis serta awan yang berarak di atas sana membuat suasana terasa kelabu, meski keramaian di jalan utama kota mampu menghidupi wilayah komando yang masih cukup rentan ini.

Saat kereta kuda memasuki pusat kota, Tuan Zhuge Liang memerintahkan kusir kereta untuk mengubah haluan. Ia meminta sang kusir untuk membawa kami ke sebuah bukit, tak jauh dari barak militer Hanzhong.

"Bukankah anda harus menemui Jenderal Wei Yan?" tanyaku saat kereta kuda mulai berbelok ke sebuah jalanan sepi yang menanjak.

"Ah, tentu saja. Tetapi... aku tidak akan menemuinya terlebih dulu," jawab Tuan Zhuge Liang abai. "Aku mungkin memiliki urusan dengannya, tetapi prioritasku sekarang bukan untuk itu."

Untuk kesekian kalinya, aku terpesona pada wajah kharismatiknya yang tampak serius. Dan untuk kesekian kalinya pula, aku tidak bisa menebak apa yang sedang Tuan Zhuge Liang pikirkan. Namun, perubahan sikapnya yang cukup kentara membuatku merasa gamang. Tujuan yang ia sebutkan jelas tak sama dengan tujuannya membawaku ke sini, tetapi sepertinya bukan itu yang saat ini kurisaukan.

Kemudian aku ingat pernah membaca novel Samkok dan Record of Three Kingdom. Dikatakan di sana bahwa Zhuge Liang memiliki hubungan yang kurang baik dengan Wei Yan. Wei Yan bukanlah jenderal yang buruk, tetapi Zhuge Liang tidak begitu menyukai sifatnya yang ceroboh dan arogan, yang bertolak belakang dengan sifat Tuan Zhuge Liang yang tenang dan berkepala dingin, serta rekam jejak sang jenderal yang dicapnya sebagai seorang oportunis membuat Tuan Zhuge Liang tidak menyukainya . Bahkan di akhir hayatnya, Wei Yan dituduh berkhianat karena operasi militernya yang terkesan ceroboh merugikan Shu, hingga akhirnya ia pun dieksekusi oleh Jiang Wei.

Ah, pikiranku sudah berjalan kemana-mana. Itu semua tidak ada hubungannya. Mungkin tujuan Tuan Zhuge Liang ke Hanzhong memang bukan untuk bertemu Jenderal Wei Yan.

Tetapi, aku merasa... sejak melewati gerbang kota Hanzhong, wajah Tuan Zhuge Liang menjadi sedikit kelabu. Sebenarnya, sesaat sebelum kami meninggalkan pondok, ada sebersit kegelisahan yang tergurat di wajah Tuan Zhuge Liang. Kira-kira... ada apa sebenarnya?

Setelah melintasi medan kasar yang menanjak, kereta kuda yang membawa kami kini berjalan di tanah yang datar. Saat itulah aku tahu bahwa kami sudah hampir sampai di tempat tujuan. Dan benar saja, tidak lama kemudian, kereta pun berhenti.

Saat aku turun dari kereta, udara dingin yang menerpa menggoyahkan diriku. Di atas bukit, tentu saja udara terasa kian menipis. Namun, pemandangan yang kulihat dari tempat diriku kini berpijak mengurungkan keinginanku untuk kembali ke dalam kereta.

Panorama yang kulihat bukanlah sesuatu yang membuatku takjub sampai tergila-gila. Lanskap yang membentang di hadapanku itu hanya berupa bentangan tanah dengan beberapa deret pohon yang mulai kehilangan dedaunannya menyekat wilayah-wilayah kosong yang tampak kelabu, dengan sebuah barak militer berpagarkan kayu-kayu kasar di pusatnya. Semuanya tampak biasa saja, tetapi aku tidak tahu kenapa hatiku merasa terenyuh begitu saja.

"Seperti angin teduh yang membuat raga menjadi sejuk, sebuah lagu yang mengalun merdu bisa membuat jiwa menjadi tenteram. Dan bagaikan angin pula, yang bisa membawa benda yang lebih ringan dari massanya terbang dan menggiringnya ke suatu tempat, sebuah lagu juga bisa membawa jiwa seseorang terbang ke suatu tempat," gumam Tuan Zhuge Liang yang mendekatiku di ujung tempat pengamatan.

Aku ingat. Tuan Zhuge Liang pernah mengatakan itu saat kami disergap bandit di perjalanan. Saat itu aku tidak mengerti apa maksudnya, dan sampai ia mengulangi ucapannya lagi, aku masih belum mengerti.

"Di balik keberhasilan Tuanku Liu Bei dan pasukannya, kampanye Hanzhong, bagaimanapun juga, telah merenggut banyak korban, baik dari pihak kita maupun dari pihak musuh." Tuan Zhuge Liang menunjuk sebidang tanah kosong di sebelah Timur barak militer dengan kipasnya. "Di sana, para prajurit yang gugur beristirahat di tempat peristirahatan terakhirnya."

Aku terdiam, menerima begitu saja embusan angin yang membuat diriku menjadi goyah. Aku mencoba menerka apa maksud ucapan Tuan Zhuge Liang tentang angin dan nyanyian itu, tetapi memikirkan jika tebakanku itu benar membuatku merasa gamam.

"Selama konflik berlangsung, para prajurit hebat itu jarang sekali mendapat penghiburan, bahkan setelah keberhasilan mereka. Karena itu, di saat terakhir mereka, aku ingin memberi mereka penghiburan yang bisa mengantar mereka menuju surga," lanjut Tuan Zhuge Liang.

Seperti angin teduh yang membuat raga menjadi sejuk, sebuah lagu yang mengalun merdu bisa membuat jiwa menjadi tenteram. Dan bagaikan angin pula, yang bisa membawa benda yang lebih ringan dari massanya terbang dan menggiringnya ke suatu tempat, sebuah lagu juga bisa membawa jiwa seseorang terbang ke suatu tempat. Padahal maknanya begitu sederhana, tetapi aku sungguh tidak menyadarinya.

"Nyanyian penghiburan," gumamku. "Benarkah begitu?"

Tuan Zhuge Liang mengangguk, kemudian ia menoleh padaku. "Sepertinya kau sudah paham."

Aku mengulum bibir, perasaanku menjadi semakin samar.

"Sebuah nyanyian yang indah akan menjadi pelipur hati bagi mereka yang masih hidup, dan menjadi doa terbaik bagi jiwa-jiwa yang telah berpulang terlebih dulu. Melodi yang kau lantunkan oleh suara lembutmu yang merdu, aku yakin bisa menghibur dan mengantar jiwa mereka yang telah menyelesaikan tugasnya. Karena itu, Lingyin, aku ingin kau menyanyikan sebuah lagu penghiburan bagi mereka yang telah gugur, sebagai doa pengantar perjalanan mereka yang selanjutnya menuju kekekalan."

"A-anda terlalu berlebihan. Suara saya tidak sebagus itu," tampikku seraya menunduk.

Tuan Zhuge Liang semakin mendekat, hingga dirinya bisa meraih pundakku dan menepuknya lembut. "Mengedepankan anggapan pribadi tanpa menimbang opini dari orang lain itu tidak baik, dalam artian apapun itu."

Lagi, tatapan Tuan Zhuge Liang membekukan semua serangan balasan yang sudah kusiapkan. Aku memang tak seharusnya membantah titahnya, karena bagaimanapun juga dia adalah majikanku. Dan lagi pula, dia mempercayaiku.

Tapi… "Tapi saya tidak tahu lagu apapun dari negeri ini." Pada akhirnya aku masih sanggup unutk menyanggahnya.

"Lagu apapun boleh. Lagu yang kau nyanyikan malam itu di pondok juga boleh," ujar Tuan Zhuge Liang, sebuah senyuman mengembang di wajahnya.

"A-anda tidak bisa seenaknya seperti itu!" Lagi pula mana mungkin aku menyanyikan sembarang lagu untuk hal sesakral ini?!

"Aku bersikap seenaknya karena tahu kau tidak akan bersikap seenaknya," ucap Tuan Zhuge Liang dengan nada menggoda.

Astaga, bapak-bapak satu ini... Terserah saja deh.

Aku berpikir, mencari lagu yang kutahu, yang kukira cocok untuk kunyanyikan di situasi sekarang ini. Lagu "Ibu Pertiwi" mungkin bisa kunyanyikan, tetapi rasanya kurang pas. Aku tidak mungkin menyanyikan lagu pop yang kuhafal.

Ah, sepertinya aku tahu.

Aku menoleh ke belakang, memandangi para prajurit pengawal kami yang berjajar tegap di dekat kereta kuda. Kemudian aku menoleh pada Tuan Zhuge Liang, yang sepertinya tak sabar untuk mendengar nyanyianku.

"Tuan, sebelum saya mulai bernyanyi, tolong katakan bahwa ini adalah alasan kenapa anda mengajak saya ke Hanzhong," ucapku.

Tuan Zhuge Liang mengangguk. "Kau benar. Menyembuhkan para prajurit yang terluka masih bisa dilakukan oleh para tabib, meski mungkin aku juga membutuhkan bantuanmu. Tetapi untuk tugas ini, aku hanya bisa mempercayakannya padamu."

Mendengar hal itu, kini dadaku terasa ringan. Akhirnya aku merasa cukup percaya diri untuk mengemban tugas ini. Aku memejamkan mata, menarik napas dari hidung, dan mulai bernyanyi.

Mungkin memang ini yang kubutuhkan.

"Betapa hatiku tak 'kan pilu, telah gugur pahlawanku,

Betapa hatiku tak akan sedih, hamba ditinggal sendiri,

Siapakah kini pelipur lara, nan setia dan perwira,

Siapakah kini pahlawan hati, pembela bangsa sejati.

Telah gugur pahlawanku… tunai sudah janji bakti,

Gugur satu tumbuh seribu… tanah air jaya sakti,

Gugur bungaku di taman bakti, di haribaan pertiwi,

Harum semerbak menambahkan sari

Tanah air jaya sakti."

Aku tidak tahu apakah lagu "Gugur Bunga" pantas kunyanyikan disaat Tuan Zhuge Liang mungkin mengharapkan sebuah lagu yang lebih mengandung nilai spiritual. Namun, di dalam nyanyian itu, aku berharap arwah para prajurit yang gugur itu tahu betapa rakyat dan tanah air yang mereka bela dan lindungi ini sangat merasa sangat kehilangan. Meski begitu, di balik kesedihan itu, ada rasa syukur dan terima kasih yang terselip atas semua perjuangan mereka. Dan di balik semua itu, masih ada sepenggal harapan dan doa.

Saat aku kembali membuka mata, seberkas cahaya muncul dari balik awan mendung yang perlahan menguap. Aku menghela napas ringan, sebelum menoleh pada Tuan Zhuge Liang dan melapor bahwa aku sudah menyelesaikan tugasku.

Namun, ketika aku menoleh, Tuan Zhuge Liang nampak terhanyut oleh perasaannya sendiri. Dahinya merengut, dan matanya terpejam. Sebulir air mata bersarang di pelupuk matanya, sebelum akhirnya ia kembali pada realitas dan menutupi wajahnya dengan kain lengan jubahnya.

Kemudian aku berbalik, memeriksa keadaan para prajurit di belakangku. Aku sungguh terkejut mendapati mereka tenggelam dalam banjir air mata. Tak terkecuali Han Jin, yang tampak tegar dengan air mata yang berderai di pipinya.

Sekuat itukah efek nyanyianku? Ataukah mereka hanya tersentuh dengan lirik dari lagi "Gugur Bunga" yang baru saja kunyanyikan.

"T-Tuan?"

"Sungguh, Lingyin. Aku tak salah memberimu nama Lingyin."

"Eh?" Kini aku merasa semakin bingung.

"Apa kau tahu apa arti dari nama yang kuberikan padamu? Suara yang penuh warna. Itulah arti namamu."

Tuan Zhuge Liang menatap langit yang mulai menyingkap cahayanya. Dirinya tersenyum, seolah melihat seseorang dari atas langit tersenyum padanya. "Suara yang mampu memberi warna, membuat jiwa-jiwa yang berpulang merasa senang saat mereka kembali ke peraduannya, menyentuh hati yang hidup dan yang mati, juga yang berkuasa atas langit dan bumi. Suara yang menggema diatas langit. Dan pada akhirnya, sang pemilik suara itu mampu melaksanakan tugasnya dengan baik."

Ucapan Tuang Zhuge Liang itu terdengar seperti sebuah sajak kuno yang sulit kumengerti. Namun, ujung kalimat yang ia ucapkan seraya tersenyum itu membuatku terharu hingga menitikan air mata. Perasaan murni yang kukira tidak akan pernah kudapatkan itu ternyata benar-benar ada dan bisa kurasakan dengan begitu jelas.

Ah, lagi-lagi sanjungan yang Tuan Zhuge Liang berikan terlalu berlebihan.

"Terima kasih, Tuan," ucapku seraya membungkuk hormat.

Tuan Zhuge Liang tersenyum. "Tidak, Lingyin. Terima kasih."