Chereads / Song From The Unknown / Chapter 18 - Secercah Cahaya Baru

Chapter 18 - Secercah Cahaya Baru

Ketika kereta kuda kembali ke jalanan utama kota Hanzhong, Tuan Zhuge Liang melirikku dari balik celah pandangnya yang sempit. Aku mencoba menghindari jerat tatapannya dengan beberapa kali melirikkan mata dan sesekali memalingkan wajah, tetapi sia-sia saja. Aku berakhir dalam kekalahan.

Akhirnya aku merespon lirikan matanya dan mengutarakan rasa penasaranku, meski rasanya sedikit gugup. "Ada apa, Tuan?"

Tuan Zhuge Liang sedikit mengangkat dagunya dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Seraya mengibaskan kipasnya secara perlahan, ia berkata, "Tidak apa-apa, aku hanya masih terbuai oleh nyanyianmu tadi."

Aku mendesah perlahan. Lirikan matanya beberapa saat yang lalu tidak menyiratkan kekaguman apapun selain rasa penasaran dan mungkin sedikit kecurigaan. Sejak awal aku tahu ia hanya berdalih. Zhuge Liang selalu berdalih dan mencari alasan. Tetapi, entah kenapa, rasanya alasannya kali ini terdengar begitu konyol.

Selain itu, perubahan mimiknya yang tidak begitu kentara membuatku sedikit resah.

"Tuan, apa ada yang sedang anda pikirkan?" Aku memberanikan diri untuk menanyakannya langsung. Jika tidak, aku akan merasa tidak nyaman selamanya.

"Lingyin," ucap Tuan Zhuge Liang setelah mendesah berat. "Menurutmu, apa alasanku datang ke Hanzhong?"

"Tuan, saya tidak berani menerka," ucapku seraya membungkuk kecil. "Selain itu, kenapa anda menanyakan hal ini pada saya?"

"Ayolah, katakan saja seperti kau mengungkap maksud di balik kata-kataku sebelumnya," timpal Tuan Zhuge Liang sedikit memaksa.

Meski tidak bisa memahami maksudnya, aku berusaha untuk menebaknya seperti apa yang Tuan Zhuge Liang inginkan. Aku mencoba mengingat kembali setiap detail perjalanan yang telah kami lalui beserta setiap peristiwa penting yang menimpa.

Dan setelah mendapat sedikit pencerahan, aku pun mengutarakan pemikiranku. "Um, apapun tujuan anda, saya rasa itu bukan hanya untuk sekadar memberikan nyanyian penghiburan untuk para prajurit yang gugur di pertempuran, begitu pun dengan tujuan anda mengajak saya ke Hanzhong."

Manik mata Tuan Zhuge Liang kini tampak semakin berbinar. Ia kini semakin terpaku dalam jalur pandangnya yang tegak lurus ke arahku, menungguku—dan mempersilakan diriku dalam isyaratnya—untuk melanjutkan kalimatku.

"Mungkin tujuan anda ke Hanzhong menemui Jenderal Wei Yan adalah untuk menyelesaikan permasalahan bandit yang berkeliaran."

"Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Tuan Zhuge Liang, anehnya semakin antusias.

"Sebenarnya saya tidak begitu yakin. Hanya saja, jika melihat apa yang terjadi selama kita berada di perjalanan menuju ke sini—dimulai dari kita yang dihadang bandit di tengah perjalanan, pasukan tentara yang menyelamatkan kita dari para bandit, dan tentang surat yang anda kirim ke Jenderal Wei sebelum kita berangkat—aku rasa memang kunjungan anda ke Hanzhong kali ini adalah untuk menyelesaikan masalah itu, yang tak diduga ternyata sudah selesai bahkan sebelum kita tiba di Hanzhong."

Ada sedikit jeda di antara kami sebelum Tuan Zhuge Liang menghela napas dan tersenyum tipis. Cahaya di wajahnya kini perlahan kembali berseri. "Lingyin, kau sungguh luar biasa."

"A-apakah… yang saya katakan itu benar?"

Tuan Zhuge Liang mengangguk. "Salah satu urusanku di Hanzhong memang untuk membicarakan hal itu dengan Wei Yan."

Aku terdiam sejenak, mendengar suara roda kereta yang menggilas kerikil kecil di jalanan. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Ruang terbatas di dalam kereta ini, serta sanjungan Tuan Zhuge Liang tak sedikitpun memberiku spasi untuk menghela napas.

Dan pada akhirnya aku pun merasa malu sendiri tanpa bisa mengatakan apapun lagi.

Lama bergulir, roda kereta pun berhenti setelah kereta memasuki pekarangan sebuah bangunan cukup besar bernuansa suam. Bentuk bangunannya yang hampir sama dengan beberapa bangunan di sekitarnya—dengan atap jurai berwarna hitam dan tiang-tiang kayu yang menyangga di beranda bangunan—membuatku merasa sudah tak asing lagi dengan suasana di sekitarnya.

Tuan Zhuge Liang tidak segera keluar turun begitu kereta terparkir, meski beberapa penjaga sudah menanti kehadirannya di samping kereta.

"Tuan, anda tidak turun?" tanyaku setelah beberapa detik Tuan Zhuge Liang masih tergeming.

"Lingyin, aku harap kau tidak merasa terbebani jika aku memberimu sebuah tugas," ujar Tuan Zhuge Liang. Ia menaruh kipasnya di pangkuannya.

"Sama sekali tidak," timpalku. "Tapi, tugas apa?"

Tuan Zhuge Liang mengeluarkan segulung kecil kain dari sabuk bajunya, lalu menyerahkannya padaku. "Aku ingin kau pergi ke kota dan melakukan apa yang sudah kutulis di sini."

Aku segera membuka gulungan kain itu, dan dadaku terasa seperti ditimpa sebuah dentuman yang, meski lembut, tetapi tetap terasa menyesakkan. Anehnya, aku tidak merasa terkejut, meski aku kali ini benar-benar kebingungan.

"Ada apa?" tanya Tuan Zhuge Liang.

"Anu, Tuan…." Aku menunjukkan kembali kain yang dipenuhi aksara Mandarin itu pada Tuan Zhuge Liang. "Saya… tidak bisa membaca tulisan ini."

Dahi Tuan Zhuge Liang berkerut. "Kau tidak bisa membacanya?"

Aku mengangguk penuh penyesalan.

"Hm…." Tuan Zhuge Liang mengusap dagu. "Aku sudah tahu bahwa kau berasal dari sebuah negeri nun jauh di Tenggara, tetapi aku tak mengira dirimu belum bisa membaca huruf-huruf ini, padahal kau fasih berbicara menggunakan bahasa kami."

Aku juga tak mengira demikian. Aku tidak pernah mengira begitu. Bahkan aku sendiri penasaran kenapa aku tiba-tiba berbicara menggunakan bahasa Mandarin selayaknya aku berbicara menggunakan bahasaku sendiri, tetapi ternyata keajaiban itu tidak berdampak pada kemampuan membacaku—dan mungkin menulis juga.

Sebuah desahan ringan keluar dari mulut Tuan Zhuge Liang. Ia terlihat sedikit kecewa dengan alisnya yang terangkat, tetapi ia kemudian tersenyum tipis setelah helaan napas terakhir terbebas dari hidung dan mulutnya.

Tanpa berkata apapun lagi, Tuan Zhuge Liang turun dari kereta kuda. Aku rasa aku sudah membuatnya kecewa, dan itu sungguh membuatku merasa tidak enak. Namun, rasa itu segera tertepis saat Tuan Zhuge Liang menghampiri Han Jin yang masih berdiri di samping kereta dan berbicara padanya, sebelum akhirnya ia memanggilku untuk turun.

Langkahku terkulai, tetapi kemudian lemas yang membebaniku segera terusir begitu aku melihat wajah kharismatik Tuan Zhuge Liang mengembangkan sebuah senyuman yang membuat sudut kedua pelupuk matanya tampak berkerut.

"Lingyin, pergilah ke kota bersama Han Jin. Dia akan menjadi pemandumu," ujar Tuan Zhuge Liang yang menepuk bahu tegap Han Jin.

Pemuda itu terkesiap, meski aku rasa ia tidak benar-benar seterkejut itu karena sebelum aku menghampirinya Tuan Zhuge Liang sudah berbicara padanya terlebih dahulu. Tapi, siapa yang tahu? Mungkin saja Tuan Zhuge Liang belum memberi perintah yang jelas saat tadi ia turun dan menghampirinya, hingga seluruh tubuh lelaki itu tampak menegang.

Aku melirik kelu pada Tuan Zhuge Liang. "Tuan, anda tidak menugaskanku—dan Han Jin—untuk pergi berperang, 'kan?"

Tuan Zhuge Liang kembali mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa?"

"Kenapa Tuan Han Jin terlihat begitu gugup?"

Tak kusangka, tawa Tuan Zhuge Liang meledak seketika. Aku dan Han Jin saling menatap, sebelum akhirnya Tuan Zhuge Liang menimpali ucapanku—yang sebenarnya terlontar secara spontan.

"Han Jin tidak akan segugup itu saat menghadapi medan pertempuran. Tetapi jika itu dirimu, mungkin bisa saja dia akan merasa gugup," ucap Tuan Zhuge Liang yang melirik usil pada lelaki yang kini terlihat begitu kikuk dengan pedang di pinggangnya. "Tetapi sungguh, tugas yang kuberikan padanya tidak seberat itu."

"Maaf jika aku membuatmu ragu, Nona." Han Jin segera menunduk seraya mengepalkan kedua tangannya tanda hormat padaku.

"Ah, bukan begitu," timpalku gugup. Aku pun meraih tangannya dan membantunya untuk menegakkan kepala. "Kau tidak perlu meminta maaf. A-aku hanya… merasa gugup saat melihatmu gugup."

"Kalau begitu, izinkan aku menemanimu pergi ke kota, seperti apa yang telah Tuan Direktur Jenderal perintahkan padaku," ucap Han Jin.

"Te-tentu. Mohon bantuannya," balasku seraya membungkuk.

"Bagus!" seru Tuan Zhuge Liang yang mengibaskan kipasnya seraya terus menyunggingkan senyum.

******

Terjatuh ke jurang, terlempar ke masa lalu—bahkan masa lalu di negeri asing yang sangat jauh dari tanah airku, lalu secara ajaib paham dan bisa menggunakan bahasa mereka. Semua hal itu—kembali— berputar di dalam kepalaku, bersamaan dengan benakku yang terus mencari jawaban atas semua 'keajaiban' itu. Dan karena gulungan kain yang diberikan oleh Tuan Zhuge Liang itu, aku kembali tersadar bahwa sebenarnya aku bukanlah bagian dari dunia ini—dunia di Tiongkok pada masa lampau.

Karena itu, spontan aku menghentikan langkahku di tengah jalan sempit yang terhubung ke jalan utama kota beberapa meter di depan, mengedarkan pandangan untuk menginspeksi bangunan yang berdiri dan orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingku. Aku bukan berasal dari sini, tetapi dunia ini seakan menerimaku dengan sangat baik.

"Nona Lingyin?"

"Ah, iya?" Aku mengerjapkan mataku sebelum mengalihkan pandangan kepada Han Jin yang berdiri di sampingku. Sesuai perintah Tuan Zhuge Liang, Han Jin kini bertugas sebagai pemanduku.

"Apakah ada sesuatu?" tanya Han Jin.

"Ah, tidak. Aku hanya sedang memikirkan Tuan Zhuge Liang," ucapku bohong. Aku tidak tahu sejak kapan aku bisa pandai berdalih seperti ini.

"Memangnya kenapa dengan Tuan Direktur Jenderal?"

"Tidak ada apa-apa." Aku segera mengalihkan topik pembicaraan sebelum aku berkilah terlalu jauh. "Oh, iya. Sebenarnya apa yang tertulis di gulungan itu?"

Han Jin mengeluarkan gulungan itu dan membacanya. "Di sini tertulis… beli arang tinta dan peralatan menulis, lalu temui Tuan Lu Tao di kuil Shinren dan berikan pesan yang kutulis untuknya."

Aku mengangkat pundi kain yang tersampir di bahuku dan menatap isinya yang berupa sebuah kantong kain yang lebih kecil dengan uang di dalamnya dan sebuah gulungan bilah bambu—yang berfungsi sebagai benda yang ditulisi selain kain dan biasa dipakai untuk korespondensi—yang berisi surat dari Tuan Zhuge Liang untuk lelaki bernama Lu Tao itu.

Kemudian aku meraih gulungan itu dan membacanya. Kalau saja aku memilih Bahasa Mandarin sebagai mata pelajaran peminatan ketimbang saat SMA dulu. Aku memang ingin, tetapi saat itu aku sedang keranjingan dengan Bahasa Jepang dan keburu malas karena mendengar bahwa Bahasa Mandarin itu sangat sulit. Jika saja aku mengesampingkan semua faktor itu, mungkin aku sekarang bisa membaca tulisan Tuan Zhuge Liang yang begitu rapi dan terlihat indah ini. Dan mungkin saja aku tidak perlu pergi bersama Han Jin, bahkan jika aku menginginkannya.

"Nona Lingyin, apa yang kau lakukan?" Han Jin memelototiku. Ekspresinya tampak sedikit lucu, terlebih saat ia mengerutkan hidungnya. "Kau tidak boleh membaca surat seseorang jika orang itu tidak memberi izin!"

Seharusnya aku tahu itu, dan kini aku merasa bersalah. Aku pun buru-buru memasukkannya kembali ke dalam pundi. "Tenang saja. Aku 'kan tidak bisa membacanya."

"Ah, benar juga," ucap Han Jin.

Sebenarnya ada sebersit keinginan untuk meminta Han Jin membacakan surat itu, tetapi Han Jin keburu menegurku terlebih dahulu. Aku harus bersyukur karena dirinya bisa mencegah diriku untuk berbuat sesuatu yang tidak baik.

Kami kembali berjalan hingga memasuki area perempatan jalan utama kota yang sedikit terang.

Aku menatap sekeliling. Terdapat barisan demi barisan bangunan kelabu kecoklatan. Semua tampak seragam, bagaikan melebur satu sama lain di tengah udara yang terkesan redup ini. Persis di seberang sebuah bangunan besar—yang sepertinya merupakan gedung pertemuan—terdapat dua toko yang berada dalam garis sejajar. Orang-orang berkerumun di salah satu toko, sedangkan toko lainnya tampak sedikit lengang. Semua tampak normal sekaligus asing.

Han Jin dan aku mulai kembali melangkah, menyeberangi jalan dan melintas di salah satu toko yang tampak sedikit sepi. Seorang lelaki berpakaian mewah, diikuti oleh dua orang lelaki berpakaian sederhana, tampak memasuki toko itu. Sang pemilik toko yang berwajah licik menyambutnya dengan begitu ramai seraya menawarinya berbagai macam kain brokat yang terlihat sangat mahal.

Setelah membiarkan pengunjung tokonya masuk, kini lelaki pemilik toko brokat itu memaligkan pandangannya pada kami. Ia membujuk kami untuk masuk ke dalam tokonya dengan sedikit memaksa, tetapi tentu saja kami berlalu begitu saja karena kami tidak berniat untuk membeli brokat mahal berbenangkan emas.

"Nona, kau harus berhati-hati. Para pedagang ini sangat lihai dan keras kepala. Jika kau tidak berniat membeli barang mereka, sebaiknya kau tidak melakukan kontak mata dengan mereka," gumam Han Jin begitu kami melalui toko brokat itu dan membuat sang pemilik toko tampak kecewa.

"Ya, aku tahu," timpalku, mengingat kembali beberapa sales dan para pedagang keturunan Tionghoa yang pernah bersinggungan denganku dan keluargaku. "Di tempat asalku, para pedagang dan pengusaha Tiongkok sudah terkenal hebat dalam berniaga. Aku rasa, pedagang yang hebat adalah pedagang yang andal dalam melakukan pendekatan persuasif."

"Dan memaksa orang-orang. Selalu ada orang-orang seperti itu demi keuntungan mereka."

"Ya. Selalu. Tapi itu tidak semuanya buruk, walaupun terkadang aku tidak menyukainya. Kau tahu apa yang kukatakan saat ada pedagang yang memaksaku untuk membeli barang dagangan mereka?"

Han Jin mengangkat satu alisnya. "Apa itu?"

"Aku mengatakan 'maaf saya tidak punya uang', lalu mereka pun pergi."

Kami berdua tertawa dengan sedikit malu-malu. Malu-malu, tetapi begitu lepas, sebelum akhirnya kami saling beradu tatap dan suasana tiba-tiba kembali canggung. Namun, ada yang berbeda. Entah kenapa rasa canggung yang kini menyelimuti kami terasa begitu manis.

"Ah, toko alat tulis ada di sebelah sana," ucap Han Jin seraya menunjuk ke arah sebuah belokan di ujung jalan. "Aku akan pergi ke sana untukmu. Kau tunggu saja di sini."

"Tidak, tidak. Tugas ini diberikan Tuan Zhuge Liang untukku. Aku tidak bisa membiarkan kamu melakukannya. Tuan Zhuge Liang hanya menugasimu untuk mengantarku." Aku menatapnya penuh arti, menunjukkan diri bahwa aku sungguh-sungguh mengatakan itu.

"Ahaha baiklah baiklah." Han Jin menjulurkan tangannya ke depan dan memberiku jalan. "Kalau begitu, kau duluan."

Kami kembali berjalan, dan entah kenapa segala sesuatunya terasa berbeda sekarang. Ya. Semuanya tampak semakin cerah.