Chereads / Song From The Unknown / Chapter 17 - Suara yang Penuh Warna

Chapter 17 - Suara yang Penuh Warna

Kali pertama aku bernyanyi adalah saat aku berumur empat tahun. Omku yang seorang anak band membawa gitar ke rumahku dan mengajakku bernyanyi. Kami bernyanyi bersama, mulai dari menyanyikan "Balonku" sampai menyanyikan lagu Tasya dan Sheila On 7 yang berjudul "Jangan Takut Gelap". Kemudian teman-teman band omku mengajakku bernyanyi di atas panggung perayaan HUT RI, menyanyikan lagu yang sama yang selalu kunyanyikan dengan om di rumah dan lagu dari band Air yang berjudul "Bintang." Sejak saat itu aku menjadi suka menyanyi dan sangat menyenangi musik.

Aku belajar bernyanyi secara otodidak, hingga suatu hari seorang promotor band di kampungku mengajakku dalam sebuah proyek band anak-anak. Aku yang menjadi vokalisnya. Di sana aku terus dilatih untuk menjadi penyanyi yang baik, meski mungkin pertunjukan kami tidak pernah sampai keluar area kecamatan. Semuanya begitu melelahkan—dan terkadang mengesalkan karena sang promotor hanya mementingkan bisnis dan popularitas, tetapi aku sangat senang, hingga saat kami lulus SD band itu pun bubar dikarenakan setiap personelnya masuk ke SMP yang berbeda, bahkan ada yang pindah ke luar kota.

Beranjak remaja, aku semakin gemar bernyanyi dan mulai belajar gitar dan drum. Kebetulan omku tergabung dalam dua band, dimana di band yang satu ia menjadi seorang gitaris, dan di band yang lainnya ia berperan sebagai seorang drummer. Semuanya terasa menyenangkan, sampai akhirnya omku sakit dan akhirnya meninggal. Tidak ada yang menemaniku bermain musik lagi, dan tidak ada kesenangan itu lagi. Masalah di rumah juga membuatku semakin jarang mengeluarkan suara nyanyianku lagi. Dan itu terus berlanjut sampai aku SMA.

Di SMA keadaan jadi semakin buruk. Masalah datang bertubi-tubi, dan orang-orang seperti perundung dan teman palsu datang 'menghiasi' hidupku. Aku mencoba menyibukkan diri di PMR dan Pramuka, tapi tetap saja semua masalah itu datang dari berbagai celah tersempit sekalipun. Lalu aku pun bergabung dengan paduan suara sekolah, berharap kesibukanku di sekolah bisa mendistraksi semua aral dan masalah yang datang menghadang. Barulah aku bisa mendapat sedikit ketenangan. Aku kembali bernyanyi, dari grup hingga solo, dalam keramaian maupun kesunyian. Saat aku dirundung, aku berlari ke musik dan lagu, pun saat teman-teman palsu itu mengusik kehidupanku. Pada akhirnya, dari sebuah hobi dan kepuasan hati, diriku yang retak saat itu bernyanyi untuk melarikan diri.

Semuanya terasa lebih baik saat aku masuk kuliah. Aku bisa bernyanyi dengan segenap jiwa dan raga di unit paduan suara kampus. Aku juga bisa belajar musik lebih dalam lagi. Aku merasa mendapatkan kehidupanku kembali. Walaupun aku masih menjadikan musik dan lagu sebagai tempat pelarian, tetapi setidaknya tempat pelarian itu kini lebih indah.

Dan sekarang, aku mendapatkan sesuatu yang sama sekali tak terduga. Ini tentu saja berbeda dengan sorak sorai yang kudapatkan saat aku bernyanyi di atas panggung—lagi pula nyanyianku tidak sebagus para penyanyi professional yang sering manggung dan tampil di banyak stasiun TV. Rasanya aku bisa merasakannya pula, sama seperti ketika aku tersentuh hingga menangis saat aku mendengar penyanyi favoritku bernyanyi. Tidak hanya mendengarkan, mereka juga meresapinya sampai ke dasar hati. Karena itu, aku pun bisa merasakannya, hingga diriku pun ikut menitikan air mata.

Bukan karena dipuji oleh seorang Zhuge Liang yang memiliki selera tinggi dalam seni, tetapi memang Tuan Zhuge Liang-lah yang membuat perasaan ini bergejolak di dalam diriku.

Iya. Rasanya baru kali ini aku merasa dihargai, bahkan jika itu hanyalan hal kecil yang kulakukan sekalipun. Tidak. Sejak awal Tuan Zhuge Liang selalu menghargaiku, meski saat ini aku hanya seorang pelayan sekalipun.

"Kenapa kau menangis?" tanya Tuan Zhuge Liang terlihat sedikit panik saat melihatku menguraikan air mata.

Tidak mau Tuan Zhuge Liang merasa panik, aku pun segera menyeka air mataku. "Tidak, Tuan. Tidak apa-apa. Saya hanya merasa senang karena lagu saya-lah yang mengantar jiwa para prajurit itu. Membayangkan mereka yang berjuang demi kepentingan negeri ini membuat hati saya bergetar."

Tuan Zhuge Liang tersenyum, matanya terpejam. "Ya. Aku pun senang karena kau yang melakukannya." Tuan Zhuge Liang kembali meraih bahuku. "Kerja bagus, Lingyin."

Sekali lagi aku menangis, anehnya aku pun tak bisa membendung senyuman yang mengembang lebar di mulutku. Kini aku tak mengerti kenapa diriku menguraikan air mata, karena rasanya begitu berbeda dengan tetesan air mata yang sebelumnya berderai. Namun, apapun itu, aku yakin ini adalah sesuatu yang baik.

"Oh, iya. Lagu apa yang kau nyanyikan tadi?" tanya Tuan Zhuge Liang.

"Um, lagu itu berjudul "Gugur Bunga". Itu adalah lagu yang sering dinyanyikan di kampung halamanku untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur di medan perang."

"Ah, begitu. Lagu yang bagus."

Kini para prajurit itu yang menghampiriku, meledakkan emosi serta air mata yang mungkin saja coba mereka tahan sebelumnya.

"NONAAAAAA! Sungguh nyanyian yang sangat indah! Aku sangat terharu huhuuu…."

"Entah kenapa hatiku seperti tersayat, tetapi aku merasa senang!"

"Jika aku menikah nanti, kumohon bernyanyilah untukku!"

"Hee, memangnya kapan kau mau menikah? Memangnya ada wanita yang ingin menikahimu?"

"T-tentu saja ada! Dibanding dirimu yang selalu dicampakkan, aku cukup populer di kalangan wanita di kampung halamanku."

"Iya, wanita-wanita tua di kampung halamanmu,'kan?"

Derai air mata itu kini berubah menjadi tawa yang begitu menghangatkan.

Di tengah gelak tawa itu, Han Jin maju satu langkah untuk lebih dekat denganku. Jejak air mata masih menapak di pipinya, tetapi ia segera menyekanya sebelum sebuah senyuman tersungging di wajahnya. "Nyanyianmu sangat lembut dan indah. Seperti kata Li Dan, suaramu begitu menyayat, tetapi ada perasaan senang dan puas setelah mendengarnya."

"T-terima kasih," timpalku tergagap. Sengatan panas menerpa wajahku, membuatku ingin berpaling karena takut hawa panas itu melukiskan warna rona yang sangat kentara di wajahku. Namun aku tidak ingin dainggap tidak sopan. Ah, sekarang aku jadi merasa salah tingkah.

"Nah, nah. Sekarang aku berharap kau lebih percaya diri lagi karena banyak yang merasa tersentuh oleh nyanyianmu," ucap Tuan Zhuge Liang yang menepuk lembut bahuku. ia kemudian menepuk lembut bahu Han Jin dengan kipas yang ia pegang. "Dan untuk kau, berusahalah lebih keras lagi."

"Baik!" tegas Han Jin.

Seperti ada yang aneh saat aku melihat Tuan Zhuge Liang dan Han Jin saling menukar senyum, tetapi aku tidak terlalu peduli. Mungkin itu hanya hal militer yang mereka bicarakan. Sebagai seorang prajurit, Han Jin memang harus berusaha lebih keras lagi untuk membawa Shu dalam kemenangan.

Ah, bagaimanapun juga, akhirnya Shu Han akan kalah dan runtuh. Tidak ada yang bisa merubah itu.

Tuan Zhuge Liang menurunkan tangannya dan berjalan kembali menuju kereta kuda. "Baiklah. Aku rasa kita sudah selesai di sini. Kita harus pergi ke tempat tujuan kita berikutnya."

"Maaf Tuan, sebelum itu…." Han Jin membungkuk dan memberi hormat dari belakang. "Jenderal Wei meminta anda datang ke tempatnya."

Tuan Zhuge Liang sedikit membalikkan tubuhnya dan melirik Han Jin dengan tatapan tajam. "Ah, iya juga. Baiklah, kita pergi sekarang."

"Baik," jawab Han Jin yang tak sedikitpun mengangkat kepalanya.

"Baiklah. Ayo, Lingyin."

Aku melangkah mengikuti jejak Tuan Zhuge Liang ke dalam kereta kuda. Bukit ini sudah selesai. Selanjutnya, mungkin aku akan menghadapi tugas baru.