Hanzhong sudah hampir dicapai, tetapi malam terlebih dahulu menjemput. Sesuai rencana, kami akan menginap di kamp militer yang dibangun tak jauh dari jalur utama menuju Hanzhong. Kamp itu hanyalah sebuah kemah kontemporer sederhana yang terdiri dari beberapa tenda prajurit dengan bendera Liu dan Jenderal Wei berdiri di setiap sudut area perkemahan.
Kami tiba di kamp pasukan Wei Yan saat langit masih memendarkan sedikit cahaya matahari yang hampir terlelap di peraduannya.
"Sebaiknya kau beristirahat dulu, jangan dulu paksakan tubuhmu untuk bergerak," ucapku pada pemanah Fei Huo yang hendak turun dari kereta kuda. Beruntung lukanya tidak terlalu dalam, meski robekan luka di tubuhnya cukup besar.
Lelaki itu tersenyum dan berterima kasih, sebelum akhirnya ia dijemput oleh kawannya untuk turun dari kereta kuda.
Aku pun hendak beranjak keluar dari kereta kuda saat Tuan Zhuge Liang menahanku.
"Lingyin."
"Iya, Tuan?"
Tuan Zhuge Liang tiba-tiba menyunggingkan senyuman di wajahnya. "Kerja bagus."
"S-saya hanya melakukan apa yang saya bisa lakukan. Lagi pula, anda yang memberiku obat luka itu, da-"
"Tidak, ini bukan tentang perawatan luka yang kau lakukan. Hari ini kau sudah melakukan banyak hal baik. Kau bergerak melindungiku saat bandit itu hendak menyerangku, lalu menangani prajurit yang terluka itu. Aku harus berterima kasih padamu," tutur Tuan Zhuge Liang seraya mengepalkan kedua tangan di balik lengan bajunya yang lebar.
"A-anda tidak perlu berterima kasih seperti itu," gagapku. "I-itu sudah tugas saya sebagai pelayan anda."
"Apapun yang kau katakan tidak akan menyurutkan rasa terima kasihku. Selain itu, kau memang seorang gadis yang hebat."
Ada sedikit perasaan aneh yang menggerayami tubuhku saat kata-kata itu keluar dari mulut Tuan Zhuge Liang yang membuatku sedikit terhenyak. Seperti ada celah di dalam dadaku, perasaan sesak itu membuatku luruh begitu saja. Namun, semua itu berubah menjadi sesuatu yang bermekaran indah, seolah apa yang kubutuhkan selama ini kini bisa kudapatkan.
Aku pun tersipu, masih merasa gugup untuk membalas senyuman dan ucapan Tuan Zhuge Liang. Dan barulah saat Tuan Zhuge Liang menepuk lembut bahuku dan turun dari kereta kuda, aku pun bisa melukis sedikit senyuman di wajahku sendiri.
"Ayo, Lingyin!"
"Baik Tuan."
******
Langit malam di atas sana tampak jernih, tidak ada awan yang mampu menutupi gemintang yang bertaburan di atas sana. Angin yang berembus menyapu lelah dan semua perasaan jelek yang merundungku, meski sesekali embusannya yang kencang menusuk hingga ke tulang. Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menyalahkan angin yang bertiup alami di penghujung musim. Beruntung ada api unggun kecil di hadapanku, dengan lidahnya yang menari-nari tergoyahkan angin. Setidaknya aku merasakan kehangatan meski asapnya sesekali mengganggu pernapasanku.
Tuan Zhuge Liang sedang berada di tenda utama, sedang berbincang dengan Jenderal yang memimpin pasukan ini. Aku menolak untuk membersamainya kali ini, karena sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Lagi pula, menikmati langit malam yang indah di alam terbuka membuatku merasa sedikit nyaman.
"Bolehkah aku duduk?" Suara bariton seorang lelaki membuatku terperanjat.
Spontan aku berbalik dan melihat siapa yang datang.
Han Jin tersenyum saat aku menatap dirinya yang berdiri di belakangku. Tanpa zirah yang melindungi tubuhnya, dadanya yang bidang terlihat lebih jelas dan menonjol.
"Ah, iya. Silakan," kataku sedikit gugup.
Lelaki itu pun duduk di sampingku.
Perasaan canggung mulai menyelimuti ketika kami berdua sama-sama terjebak dalam keheningan yang menyeruak. Letupan kayu yang terbakar mengejutkanku, seolah memberi tanda bahwa kami harus memulai sebuah percakapan untuk memecah keheningan yang mengudara. Tetapi aku tetap tak bisa. Aku tak biasa memulai sebuah percakapan.
"Aku dengar kalau kau adalah pelayan Tuan Direktur Jenderal," ujar Han Jin.
"Mungkin lebih tepatnya pelayan Nyonya Huang. Kebetulan saja Tuan Zhuge Liang mengajakku untuk menemaninya ke Hanzhong."
"Ah, begitu ya." Han Jin menoleh padaku.
Tanpa sengaja pandangan kami saling bertemu. Untuk sekilas, aku melihat matanya dipenuhi oleh binar bening yang memantulkan cahaya yang berasal dari lidah api di hadapan kami. Ia sama sekali tak tersenyum, tak juga menunjukkan ekspresi lainnya. Namun, entah kenapa sorot matanya itu membuatku terjerat untuk beberapa saat.
Aku yang pada akhirnya tersadar pun segera memalingkan pandangan pada kakiku yang menghentak-hentak permukaan tanah dengan pelan. "Ke-kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Ah, maaf atas ketidaksopananku, tetapi aku… merasa terpana saat melihatmu."
"A-apa maksudmu?" Hentakan kakiku terasa semakin cepat tak terkendali.
"Um, jujur saja aku belum pernah melihat seorang perempuan memiliki rambut pendek sepertimu. Selain itu, wajahmu tampak berbeda dari kebanyakan orang. Bagaimana aku mengatakannya, ya? Kulit putih yang cenderung pucat, serta kelopak matamu yang sedikit lebih besar terlihat berbeda dengan kebanyakan orang."
Dalam hati aku mendengkus. Jika orang-orang di zamanku mendengar komentarnya, dia pasti akan dihujat habis-habisan karena sudah mengeluarkan pernyataan berbau rasisme, meski aku yakin ia tidak bermaksud begitu.
Sebenarnya boleh dibilang kulitku tak begitu putih, meski memang warnanya agak pucat karena mungkin aku jarang terkena sinar matahari. Dan jika ditimbang, kulitku memang tampak sedikit lebih putih jika dibanding orang-orang ini yang memiliki kulit lebih kekuningan.
Ah, aku jadi ingat, aku pernah membaca salah satu riwayat bahwa saat Huang Chengyan—ayahanda Nyonya Huang Yueying—menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Tuan Zhuge Liang, dia berkata bahwa putrinya itu jelek. Ucapan itu, selain merupakan ujian dari Huang Yueying untuk calon suaminya, juga berdasar pada standar kecantikan masyarakat Tiongkok saat itu yang menganggap bahwa wanita yang bisa disebut cantik itu memiliki kulit kuning langsat dengan panggul yang besar, sedangkan Nyonya Huang Yueying memiliki tubuh yang ramping dan berkulit putih.
Aku berhenti mengentakkan kakiku dengan sendirinya. "Lalu, a-apa maksudmu kau terpana saat melihatku?"
"Yah, meski tampak berbeda dari orang-orang pada umumnya, kau sangat manis."
Kakiku berhenti mengentak, tetapi sambaran gugup yang menerjangku membuat perasaanku menjadi tak karuan. Aku pun memukul bahunya cukup kencang. "A-apa yang baru saja kau katakan, Tuan Han Jin? Jangan bicara yang aneh-aneh, ya!"
Lelaki itu mengerang ringan. "Ah, aku tidak bermaksud buruk. Tetapi aku serius. Kau tampak manis dan cantik dengan segala perbedaan yang melekat pada dirimu."
Aku menggosokkan ujung jari pada batang kayu yang kududuki. Kini aku mulai kehabisan kata-kata. Sejujurnya, kalimat yang baru saja diucapkan Han Jin sedikit membebani hatiku. Bukan karena aku merasa keberatan, tetapi ucapannya menimbulkan pertanyaan baru yang kutujukan pada diriku sendiri: Apakah memang benar begitu?
Pada akhirnya aku tak bisa menimpali perkataan Han Jin dengan ucapan selain ungkapan terima kasih yang canggung. "Aku rasa kau terlalu melebih-lebihkan, tetapi terima kasih."
Dari sudut mata, aku melihat Han Jin tersenyum.
"Selain itu…" Han Jin melanjutkan. Sepertinya ia masih ingin mengobrol denganku. "Aku dengar kau berasal dari Tenggara. Tempat seperti apa itu?"
Aku melemparkan pandanganku pada langit berbintang di atas sana, mencari deskripsi terbaik yang bisa kututurkan pada seorang prajurit yang mungkin belum mengetahui ada banyak negara dan bangsa di luar sana.
Tetapi, sekeras apapun aku berpikir, yang keluar hanyalah sebuah kalimat sederhana yang tak begitu berarti. "Itu adalah tempat yang menarik."
Mulut Han Jin membulat tipis. "Oh, begitu ya."
"Walaupun segala sesuatunya kadang tidak berjalan dengan beres dan begitu carut-marut, tetapi aku menyukai tempat asalku."
"Memangnya apa yang terjadi di tempat asalmu? Apakah ada perang atau telah terjadi bencana? Karena itulah kau terhanyut sampai sini?"
Aku mengerutkan dahi dan menoleh padanya. "Dari mana kau tau-"
Sebelum aku selesai berbicara, mataku menangkap sebuah luka yang menggores leher Han Jin. Sebuah luka yang terlihat remeh, tetapi cukup dalam bahkan untuk dilihat dengan mata di tengah kegelapan.
"Astaga, lehermu terluka!"
Han Jin tertegun, tetapi wajahnya tampak setenang air. Denga santai ia menyentuh lukanya dan bersikap seolah itu hanya seonggok debu yang mengotori tubuhnya. "Ah, ini. ini hanya luka kecil. Tidak apa-apa."
"Kapan kamu mendapatkan luka itu? Saat pertarungan siang tadi?"
"Ya, begitulah. Hei, kau tidak perlu sepanik itu."
"Kamu tahu gak kalo luka yang kata kamu kecil itu bisa bunuh kamu kalo nggak ditangani? Coba bayangin, musuh gak pernah nyuci senjatanya yang kotor itu, terus senjata itu lukain kamu. Udah mah kena debu, kena kotor, kamu mau kena tetanus?"
Giliran Han Jin yang kini mengerutkan dahinya. "Teta- apa?"
"Tunggu di sini!" Aku bergegas pergi menuju tenda untuk mengambil kendi obat yang dibuat Tuan Zhuge Liang dan satu wadah air lengkap dengan kompresan dan kain perban.
Saat aku kembali, lelaki bertubuh tegap itu masih duduk dengan raut bingung yang terpatri jelas di wajahnya yang terkena sengatan cahaya api.
"Diam dulu." Aku mencelupkan kain kompresan pada air, lalu memerasnya sebelum kutepuk-tepuk lemah pada luka di leher Han Jin. Aku mengubah tempo gerakan, tepukan-tepukan lemah tadi kuubah menjadi sebuah gerakan mengelap yang sedikit kutekan dengan tempo yang lambat.
Han Jin sedikit merintih, sudah kuduga dia kesakitan.
Setelah membersihkan lukanya, aku mencuci tanganku sebelum meraup obat di dalam kendi dan mengoleskannya di luka Han Jin. Sekali lagi kutepuk-tepukan tanganku yang berlumur obat dengan lembut pada lukanya.
Lelaki itu kembali merintih, kini dengan suara yang sedikit lebih kencang.
Aku bisa merasakan urat nadinya berdetak pada permukaan kulitnya yang dingin. Siapa yang menduga, kulit kasarnya yang terkesan kuat masih bisa ditembus oleh senjata tajam yang mungkin saja tak sengaja menggores lehernya saat ia beraksi. Meski begitu, Han Jin masih berkata dia baik-baik saja.
Gerakan tanganku terjeda saat jari-jariku menyentuh lekukan pada luka itu. Rasanya sedikit mengerikan saat aku menyentuh luka itu setelah obat yang melumuri jemariku sudah tersapu habis. Permukaannya terasa hangat, dan denyut nadinya yang teratur terasa lebih kencang kurasakan.
Saat itu aku merasa waktu berhenti, tetapi detak jantungku berdegup semakin kencang. Dan kemudian tanganku sedikit gemetaran saat membayangkan bagaimana luka ini tercipta. Ini hanya luka kecil yang dianggap remeh oleh Han Jin. Jika dibanding dengan luka Fei Huo yang kuurus sebelumnya, luka ini memang tidak seberapa, tetapi di luar sana banyak orang yang mati hanya karena luka kecil. Lalu apakah ia akan berpikir sama jika ia mendapat luka yang sama atau lebih besar dari Fei Huo? Apakah denyut nadinya akan tetap setenang ini saat ia mendapat luka yang lebih serius, yang mungkin saja mengantarnya pada kematian?
Kenapa denyut nadinya begitu hangat dan tenang?
"Um, Nona Lingyin?"
Suara Han Jin yang membisik lembut menggugahku. Aku mengerjap kemudian menyingkirkan tanganku dari leher Han Jin. Bisa-bisanya aku melamun di saat seperti ini.
"M-maaf." Aku segera mencelupkan tanganku pada sisa air dalam wadah, lalu meraih kain untuk kugunakan sebagai perban. "Kau tidak keberatan jika kulilitkan perban ini di lehermu?"
Han Jin tergelak ringan, membuatku kembali mengerutkan dahi.
"Kenapa kau mengatakan itu seolah bertanya 'kau tidak keberatan jika aku mencekikmu?'"
Hawa panas kini menjalar naik ke wajahku. "M-maksudku bukan itu! Y-ya, memang ini akan terasa mencekik, sih. Makanya aku bertanya padamu. Agkh, andai saja ada plester ata kain kassa, tinggal kutemptel plester saja biar lebih praktis."
"Plester? Apa itu? Dari tadi kau terus berbicara aneh."
"Ah, sudah diamlah."
Perasaan buncah itu mendorongku unutk segera menyelesaikan pekerjaanku. Aku membalutkan kain perban di leher Han Jin secara perlahan, dan Han Jin menunggu dengan begitu tenang. Aku merasa sedikit kesulitan untuk melilitkan perban mengitari lehernya yang jenjang, hingga aku pun harus sedikit menengadahkan tubuhku saat perban di tanganku hendak melintasi bagian sisi lehernya yang lain.
Namun, aku tiba-tiba kehilangan keseimbanganku dan jatuh terantuk pada kepala Han Jin, membuatku terlihat sedang memeluk dan akan mencium pipinya.
Waktu terasa kembali membeku saat Han Jin menolehkan kepalanya dan memandang mataku dari jarak yang sangat dekat. kami berdua terdiam dalam aliran waktu yang membeku sesaat, terpesona oleh kilauan pada mata kami masing-masing. Napas yang ia embuskan dari hidungnya terasa begitu hangat menerpa wajahku. Aku bahkan bisa melihat bintik-bintik noda hasil pertempuran yang bersarang di wajahnya.
Dari jarak sedekat ini, tak kusangka dia tampak begitu mempesona.
Waktu kembali berjalan, dan detak jantungku pun kembali, mendorongku untuk menyingkir secepatnya. Sengatan kejut itu membuatku terperanjat serasya secepatnya memalingkan wajah. "Ma-ma-ma-maafkan aku. Oh, astaga, i-ini memalukan sekali!"
"Ah, ti-tidak apa-apa. Itu tidak sengaja. Tak usah dipikirkan," timpal Han Jin yang tampak gugup.
Aku segera menyelesaikan tugasku dan pergi meninggalkan Han Jin yang masih duduk di depan api unggun.
Namun, sebelum aku benar-benar pergi, Han Jin memanggilku. "Nona Lingyin!"
Aku menoleh padanya. "Hm?"
"Terima kasih," ucapnya yang tersenyum simpul.
Udara panas kembali menyengat wajah dan tengkukku. Aku hanya mengangguk dan bergegas pergi menuju tendaku dan meninggalkan Han Jin di sana sendirian.
Memalukan! Sungguh memalukan! Aaaaaa, aku ingin berteriak sekuat tenaga! Ini sangat sangat sangat memalukan! Aku ingin membuat lubang dan megubur diriku di dalam lubang itu!
Aku buru-buru masuk ke dalam tenda, dan sesuatu kembali membuatku terkejut. Aku berteriak kaget saat hampir bertubrukan dengan Tuan Zhuge Liang di mulut tenda.
"T-Tuan…."
Melihat ekspresiku yang tak karuan, Tuan Zhuge Liang mengangkat sebelah alisnya. "Lingyin, kau mau kemana?"
"T-tentu saja masuk ke dalam tenda," sergahku gugup.
"Tapi ini tendaku. Tendamu ada di sana," ujar Tuan Zhuge Liang seraya menunjuk ke arah sebuah tenda yang berjarak dua tenda dari tempat kami berdiri saat ini.
Sontak aku terkejut, dan kembali merasa malu. "M-maafkan saya. Sekali lagi maafkan saya!" Aku membungkuk hormat lalu bergegas pergi sebelum Tuan Zhuge Liang mengetahui apa yang baru saja kualami melalui gurat wajahku.
Saat aku pergi, aku mendengar Tuan Zhuge Liang terkekeh kecil dan berkata, "Bintang biduk bercahaya terang, dan debu bintang membentuk segaris busur dari Selatan ke Timur. Ternyata... malam ini memang benar-benar panas."