Chereads / Song From The Unknown / Chapter 13 - Perjalanan Ke Hanzhong (bag. 3)

Chapter 13 - Perjalanan Ke Hanzhong (bag. 3)

Aku hampir melupakan kenyataan bahwa—menurut Tuan Zhuge Liang—musim dingin sudah mulai dekat. Suasana panas yang menghempas ketenangan di tengah tanah kosong nan gersang ini membuatku hampir gila. Setidaknya itu yang kurasakan beberapa menit sebelum segerombolan pasukan yang terdiri dari lima orang lelaki gagah di atas kuda datang menghampiri kami dari ujung pandang.

Tuan Zhuge Liang tidak tersenyum, tetapi aku pikir ia kini merasa senang dan lega saat sebuah anak panah mencegah serangan lelaki yang kini tumbang di hadapan Tuan Zhuge Liang. Dengan tenang ia pun mengibaskan kipasnya secara perlahan. "Akhirnya mereka datang juga."

"Siapa 'mereka' itu?" tanyaku dengan dahi yang mengernyit.

"Menurutmu siapa lagi?" Tuan Zhuge Liang melirikku dari sudut matanya seraya menyunggingkan senyuman tipis.

Aku jelas tidak tahu siapa mereka secara personal, tetapi aku yakin bahwa mereka adalah sekutu kami, prajurit Liu Bei yang ditugaskan untuk menolong kami. Bisa dilihat dari pakaian mereka yang seragam di balik zirah yang melindungi tubuh mereka.

Para bandit itu tercengung saat melihat pria besar yang sepertinya pemimpin mereka tumbang hanya dengan satu anak panah tertancap menembus punggungnya. Marah sekaligus bingung, para bandit itu menjadi kalap dan menyerang para prajurit secara membabi buta.

Kelompok bandit dan prajurit bertarung satu lawan satu di atas kuda, terkecuali dua bandit yang sebelumnya memegangi kusir kami, mereka memaksa dua prajurit untuk berhadapan langsung dengan mereka di atas tanah.

Saat kukira pertarungan mereka akan berat sebelah karena salah satu bandit itu sudah tumbang, pikiranku itu langsung tertepis saat seorang bandit yang menghadapi dua orang prajurit dengan dua bilah pedang di tangannya berhasil membuat salah satu prajurit yang memegang busur—yang kuduga orang yang menembakkan anak panah kepada pria pelontos itu—tumbang. Di sisi lain, seorang prajurit dengan tombak di tangannya terlihat kepayahan saat menghadapi bandit berjambang lebat yang bertarung dengan dua tombak. Tak diduga, para bandit itu sangatlah hebat.

"Tuan, bagaimana ini? Apa mereka akan baik-baik saja?" tanyaku cemas yang melihat pertarungan mereka yang berritme kacau.

"Aku bisa mengerti dengan apa yang kau rasakan, tetapi kau tidak usah khawatir." Tatapan Tuan Zhuge Liang tersorot lurus ke depan. Ia mengangkat tangan kanannya dan mengarahakan kipasnya ke arah para prajurit yang sedang bertarung. Ia kemudian memutar pergelangan tangannya yang memegang kipas, membentuk lingkaran di udara secara berulang. "Emosi memang mampu memberikan kekuatan, tetapi itu hanya akan berlangsung sekejap saja. Para bandit itu digerakkan oleh emosi. Saat ini mereka memang terlihat mampu menguasai pertarungan, tetapi lonjakan energi itu tidak akan bertahan lama."

Tuan Zhuge Liang menurunkan tangan kanannya. "Mereka yang memiliki kemampuan bertarung tidak akan marah, dan orang yang memiliki kemampuan untuk menang tidak akan takut."

Aku kembali memfokuskan pandanganku pada pertarungan itu. Jika kuperhatikan satu per satu, sekilas raut para prajurit itu tampak tenang tanpa ada kegentaran tergurat di raut wajah mereka, meski keadaan sedang tak baik bagi mereka. Pergerakan mereka pun lebih rapi dan ciamik, meski gerakan sembrono para bandit itu membuat mereka sedikit kesulitan. Mungkin inilah yang membedakan para bandit barbar dengan prajurit terlatih.

Kusir kami yang mulai bangun dari ketakutannya bergabung dengan kami. Wajahnya tampak was-was saat ia mengarahkan pandangannya pada pria yang tertelungkup di atas tanah di hadapan kami. "T-Tuan, a-apa dia… sudah mati?"

"Panah itu menembus langsung ke jantungnya. Aku rasa dia sudah mati," ujar Tuan Zhuge Liang.

Belum sampai kusir kereta kami mengembuskan napas lega, pria besar yang tergeletak di hadapan kami tiba-tiba saja bergerak meraih pedangnya dan hendak menyambar Tuan Zhuge Liang. Refleksku mendorongku beringsut secepat kilat ke hadapan Tuan Zhuge Liang dengan mata terpejam.

Lama ditunggu, tebasan lelaki itu tak kunjung datang. Aku pun perlahan membuka mata, dan cukup terkejut saat melihat tubuh lelaki itu ditembus sebuah tombak, sebelum akhirnya kembali ambruk tanpa bisa terbangun lagi.

Suara napas yang tersengal menarik pehatianku. Aku menegakkan pandangan, lalu mendapati seorang prajurit dengan tombak di tangannya. Mata kami saling bertemu, dan untuk sesaat waktu terasa membeku.

Lelaki itu memiliki mata sipit yang tajam, menatapku penuh syukur meski tampaknya ia pun masih sedikit gamam. Garis wajahnya yang tegas serta rahang kuat tak berbulu terlihat kotor tertutup debu dari lahan gersang ini, tetapi itu hanya membuatnya terlihat lebih jantan. Lalu aku melirik tangan yang menggenggam tombak berwarna perak dengan ukiran-ukiran kecil nan halus yang sederhana, urat serta otot di tangannya tampak menonjol, mengatakan bahwa lelaki ini begitu kuat. Tentu saja, lagi pula dia seorang prajurit. Seorang prajurit yang menawan.

Ah, ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.

Setelah waktu telah berjalan kembali, aku bergegas membalik tubuhku dengan cemas. "Tuan, anda tidak apa-apa?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, tetapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja," ucap Tuan Zhuge Liang. Ia kemudian meraih bahuku, dan memeriksa apakah bagian tubuhku masih lengkap. "Kau tidak terluka?"

"Saya baik-baik saja," jawabku.

"Kau ini masih saja ceroboh."

Aku menggaruk pelipisku tak gatal. "Ahaha, tubuh saya tiba-tiba bergerak sendiri."

Tuan Zhuge Liang tersenyum. Rasanya sungguh aneh. Tuan Zhuge Liang yang merasa khawatir mungkin biasa, tetapi entah kenapa aku merasa saat ini kami begitu dekat, seperti sudah lama saling mengenal, seperti seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya. Dari sumber yang pernah kubaca, Zhuge Liang memang diceritakan sebagai sosok lelaki yang baik. Namun, apakah seorang Zhuge Liang memang sebaik dan seperhatian ini? terlebih padaku yang hanya seorang pelaya baru yang bekerja untuk dirinya dan istrinya.

Suara dehaman mengusik lamunanku, membuat diriku—dan Tuan Zhuge Liang—mengalihkan perhatian pada asal suara itu, sang prajurit penyelamat yang kini masih berdiri di hadapan kami.

"Tuan, Nona, anda baik-baik saja?" tanya lelaki itu tampak cemas.

Tuan Zhuge Liang mengangguk. "Kami baik-baik saja. Terima kasih, prajurit muda."

Bibir berfiltrum dalam lelaki itu kini menyunggingkan senyuman. "Syukurlah kalau begitu." Lelaki itu kemudian terlihat sedikit terjengit, sebelum ia mengepalkan kedua tangannya dan sedikit membungkukkan badan tanda hormat. "Ah, salam, Tuan Direktur Jenderal. Saya Han Jin. Atas perintah Jenderal Wei, kami datang untuk menjemput anda."

"Syukurlah kalian datang tepat pada waktunya. Aku sangat berterima kasih kepada kalian. Aku juga harus berterima kasih secara langsung pada Wei Yan karena telah membaca pesan dariku," ucap Tuan Zhuge Liang.

"Pesan?" tanyaku bingung. "Pesan apa, Tuan? Kapan anda mengirim pesan kepada Wei Ya- ah, maksudku Jenderal Wei?" Aku hampir kelepasan menyebut nama Wei Yan secara frontal.

"Ah, soal itu. Sebelum ke Chengdu, aku menitipkan pesan untuk Wei Yan untuk datang menjemput kita di dataran Ningqiang ini."

Suara dentingan senjata logam kini mereda, terganti oleh suara desisan para prajurit yang masih berdiri di tengah mayat-mayat bandit yang bergelimpangan. Pertarungan telah usai, dan pada akhirnya kami berhasil memenangkan pertempuran.

Aku merasa ngeri dan takjub dalam waktu yang bersamaan. Senyuman pahit di wajah lusuh para prajurit membuatku merasa lega, tetapi mayat bandit di bawah mereka membuat tubuhku didera getaran kecil yang masih bisa kurasakan sensasinya. Lebih dari itu, aku senang karena ucapan Tuan Zhuge Liang terbukti benar.

Para prajurit menghampiri kami dan memberikan salam hormatnya pada Tuan Zhuge Liang.

"Tetapi," kata prajurit bernama Han Jin itu, "Saya tidak mengira para bandit itu muncul di wilayah ini. Sebelumnya, mereka jarang menampakkan diri hingga pasukan khusus yang memburu mereka kesulitan untuk menangkap mereka."

"Itu karena sekarang mulai memasuki musim dingin. Mereka keluar untuk mencari persediaan makanan dan jarahan untuk menghadapi musim dingin. Sejak awal mereka sudah mengincar wilayah ini karena ini adalah jalur utama yang menghubungkan Chengdu dengan Hanzhong. Selain itu, karena kampanye Hanzhong telah berhasil, pergerakan warga dari Hanzhong ke Chengdu maupun sebaliknya akan cukup sering terjadi, dan mereka bisa menjadi sasaran empuk para bandit itu."

Aku dan para prajurit mengangguk. Rupanya Tuan Zhuge Liang memang telah memikirkan hal ini. "Sungguh Tuan, anda sepertinya memang bisa melihat masa depan."

Tuan Zhuge Liang menelengkan kepalanya padaku. "Kau berpikir bahwa aku bisa melihat masa depan?"

Aku mengangguk, meski entah kenapa kini diriku merasa ragu.

"Aku tidak bisa melihat masa depan. Yang kulakukan hanyalah memperhatikan perilaku manusia dan keadaan di sekitarku, kemudian memutuskan apa yang harus kulakukan. Itu saja," tuturnya.

"Kalau begitu," ucap Han Jin, "sebaiknya kita segera kembali melanjtukan perjalanan. Kami telah mendirikan kamp di sebelah Barat Laut tak jauh dari sini. Perjalanan ke Hanzhong akan cukup berbahaya di malam hari. Anda sebaiknya bermalam di kamp kami."

"Baiklah," jawab Tuan Zhuge Liang.

"Tunggu! Bagaimana dengan Fei Huo?" seru seorang prajurit yang membopong sang pemanah bernama Fei Huo yang terkena tebasan pedang bandit tadi.

Tuan Zhuge Liang melirikku untuk sesaat sebelum ia berkata, "masukkan dia ke dalam kereta kuda. Lin Ying akan mengobatinya."