Aku menunda-nunda memikirkan tentang apa yang akan Nyonya Huang katakan saat mendapati pesanannya sudah menjadi sesuatu yang lain. Ini hari pertamaku bekerja padanya, dan aku sudah berpotensi membuatnya kesal. Meski lelaki itu berkata semuanya akan baik-baik saja, pada dasarnya jarang sekali ada kata baik-baik saja dalam sebuah kesalahan. Namun, aku tetap berharap bahwa hal itu hanyalah pemikiranku yang—sama seperti pemikiranku yang lainnya—tidak pernah berjalan baik sesuai ekspektasi.
Tepat sebelum melintasi gerbang, aku menghentikan langkah dan sekali lagi menatap barang bawaanku. Aku tidak bisa membiarkan Xinqian membawanya, tetapi di sisi lain aku pun masih takut dan menyesal karena telah menuruti lelaki itu.
"Ada apa?" tanya Xinqian yang sudah terlebih dahulu memasuki gerbang. "Kau masih ragu?"
Aku mendongak dan menatap Xinqian cemas. "Kamu yakin Nyonya Huang gak akan marah?"
"Aku tidak tahu. Tapi Nyonya Huang adalah orang yang baik dan lembut. Aku rasa beliau bisa memaafkanmu."
Kalimat "aku tidak tahu" dari Xinqian itu yang membuatku ragu dan ingin berbalik kembali ke pasar untuk membeli ulang semua belanjaannya saat ini juga.
Namun, nampaknya Xinqian sudah mulai lelah dengan sifat ragu dan cemasku yang berlebihan. Ia pun menghela napas dan kembali berkata, "jika terjadi sesuatu, aku akan ikut bertanggung jawab. Lagi pula ada cerita dan alasan yang baik di balik belanjaan itu. Kau tidak perlu khawatir."
"Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja," ujar Hua Fei yang berjalan memapasku.
Mereka ada benarnya juga. Kekhawatiranku terlalu berlebihan. Aku harus menghadapinya dan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Huang—walau mungkin cerita tentang lelaki itu akan membuatnya agak kesal.
Xinqian langsung memanduku ke dapur, dimana Nyonya Huang sedang merebus air. Sementara Hua Fei pergi ke gudang untuk menyimpan barang bawaannya.
"Nyonya, kami pulang," ucap Xinqian. Ia memintaku untuk menyimpan belanjaan di atas sebuah meja di sudut dapur.
Aku terus memandang Xinqian saat hendak meletakkan barang bawaanku, seraya terus berkomat-kamit mempertanyakan kembali pembicaraan kami sepanjang jalan pulang. Gadis itu memelototiku, membalas gumaman tak bersuara yang kualamatkan padanya. Mulutnya menggerakkan kalimat "jangan risau!" dengan begitu tegas, tetapi aku terus mengerutkan hidung dan menggelengkan kepala.
Demi Tuhan, aku sungguh panik. Aku takut Nyonya Huang kecewa.
"Ada apa?" tanya Nyonya Huang yang ternyata sudah cukup lama memergoki kami berkomat-kamit dan bersikap aneh.
"Ti-tidak, Nyonya. Tidak ada apa-apa," ujar Xinqian.
"A-anu… sebenarnya begini…" Belum selesai aku menghabiskan kalimatku, Xinqian melesat ke arahku dan menutup mulutku dan mengunciku dalam cengkeramannya.
"Jangan dulu mengatakannya!" bisik Xinqian dengan nada menekan.
Aku mengerutkan dahi. "Lah, emangnya kenapa?"
"Pokoknya jangan dulu!"
"Tapi kamu bilang semuanya akan baik-baik saja!"
Raut wajah Xinqian kini berubah kalut. "Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya Nyonya akan memarahiku kalau tahu belanjaannya salah."
Aku kembali mengerutkan hidung. "Hah? Kenapa?"
"Aku 'kan sudah bekerja lebih lama di sini. Pasti aku yang akan dimarahi karena tidak bersikap sebagai senior yang baik. Selain itu, salahku sendiri karena sudah meninggalkanmu sendiri, padahal ingatanmu belum pulih dan kau tidak mengenal tempat ini. Pasti aku yang dimarahi. Nyonya Huang selalu begitu."
"Enggak, enggak! Ini salahku juga. Pokoknya kita minta maaf bareng-bareng."
"Kenapa ada jamur dan tahu?" Suara itu membuatku dan Xinqian terlonjak kaget. Secara serempak kami menoleh ke arah meja tempat belanjaan kami di simpan, dan mendapati Nyonya Huang tengah membongkar semua belanjaan.
"Sayurannya mana? Hanya ada sawi?" tanya Nyonya Huang yang masih terpaku pada barang belanjaan.
Oh, astaga! Ini benar-benar gawat!
Dalam kekalutan, aku tiba-tiba teringat pada seorang nyonya bangsawan di era dinasti Joseon dalam drama Korea yang kutonton satu minggu yang lalu di masaku. Seorang pelayan muda dihukum berat leh nyonya majikannya karena salah menghidangkan makanan untuk tamu berharganya. Aku yakin Nyonya Huang bukan orang yang seperti itu, melihat sikap lembut dan penuh kasih yang ia tunjukkan padaku. Tapi tetap saja aku merasa panik.
Aku segera menggelengkan kepala dan menghampiri Nyonya Huang yang masih terlihat bingung. "Maafkan saya, Nyonya. Ini salah saya. Sebenarnya di pasar tadi saya melakukan tindakan yang ceroboh."
"Ti-tidak, Nyonya! Ini salahku juga karena meninggalkannya di tengah pasar," timpal Xinqian yang menyusulku menghadap Nyonya Huang dengan panik seraya bersujud di hadapan Nyonya Huang.
"Memangnya apa yang terjadi?" tanya Nyonya Huang yang membawa Xinqian untuk bangun.
Aku pun menceritakan semua yang terjadi di pasar tadi, dimulai saat aku mendengar keributan hingga berpisah dengan pria yang menganjurkanku untuk membeli jamur dan tahu. Raut Nyonya Huang sama sekali tidak berubah, dan ia tetap terlihat tenang. Meski begitu, aku masih merasa sangat gugup.
"Jamur jenis apa yang kamu beli?" tanya Nyonya Huang.
"Um, jamur tiram dan jamur kuping hitam."
Ada jeda waktu selama sepersekian detik sebelum akhirnya Nyonya Huang tersenyum. Jujur saja, aku terkejut melihat ekspresinya yang sama sekali berbeda dari yang aku bayangkan. Sungguh, apa ini tidak apa-apa?
"Baiklah kalau begitu," ucap Nyonya Huang lembut. "Kita harus mulai memasak. Suamiku akan segera datang siang ini."
Sebelum mengikuti instruksi Nyonya Huang yang kembali menghadap ke tungku perapian, aku dan Xinqian saling melempar tatap. Dalam kebingungan, aku mengerutkan dahi dan sedikit menelengkan kepalaku, meminta penjelasan dari Xinqian tentang apa yang baru saja terjadi, tetapi gadis itu hanya tersenyum lebar dan mengedikkan kepalanya dalam sekejap.
Kemudian ia berbisik, "sudah kubilang semuanya akan baik-baik saja."
Kontras dengan apa yang dirasakan Xinqian beberapa saat yang lalu, gadis itu kini tampak berbunga. Aku pun akhirnya tersenyum dan menghela napas lega.
Kami pun mulai mengolah bahan makanan yang kami beli. Nyonya Huang membagi tugas kami. Xinqian menyiapkan perapian dan aku memotong semua bahan makanan. Satu hal yang membuatku kembali merasa terkejut adalah Nyonya Huang yang ikut andil dalam menyiapkan bumbu dan menghaluskan rempah. Selain itu, beliau juga berkata bahwa dirinya lah yang akan memasak semuanya. Aku tidak mengira Nyonya Huang akan ikut memasak bersama kami, bahkan tugasnya pun lebih banyak daripada aku dan Xinqian.
Ketika aku menanyakan alasannya, beliau tersenyum dan berkata, "aku nyonya di rumah ini, dan itu berarti semua tugas rumah merupakan tanggung jawabku. Aku mempekerjakan Xinqian, Hua Fei, dan dirimu bukan untuk mengerjakan semua tugas itu, tetapi untuk membantuku mengerjakan semua tugas itu. Mengerjakan dan membantu mengerjakan adalah dua hal yang berbeda."
Saat itu juga, aku merasa sangat bersyukur karena ditemukan oleh orang-orang yang sangat baik. Aku tidak bisa membayangkan jika aku ditemukan oleh seorang bangsawan sombong atau seorang kasim istana korup yang senang mempermainkan wanita, mengingat ini adalah Zaman Tiga Kerajaan.
Ah, iya. Zaman Tiga Kerajaan. Aku penasaran, pergolakan apa yang sedang terjadi saat ini di luar sana? Apakah peristiwa sejarah yang kini sedang berlangsung itu akan memengaruhi kehidupanku di tempat ini, atau sebaliknya? Mungkinkah sejarah bisa berubah jika aku turut ikut andil dan memanfaatkan semua pengetahuanku dari masa depan untuk membantu salah satu pihak—pihak Liu Bei yang berkuasa atas wilayah ini misalnya?
Tidak tidak tidak! Itu terlalu mengerikan! Jika sejarah diubah, maka masa depan pun akan berubah. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi jika misalkan Shu atau Wu yang pada akhirnya memenangkan pertempuran. Mungkin masa depan akan berubah, tidak seperti masa depan yang kukenal dan kutinggali sebelumnya. Butterfly effect itu cukup mengerikan.
Ah, lagi pula sekarang aku tinggal bersama sebuah keluarga sederhana sebagai seorang pekerja. Selain itu, aku hanya orang biasa. Kesempatan untuk mendekati pihak-pihak tinggi pun sangat minim. Sebaiknya aku menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, sama seperti di tempat dan masa asalku.
"Hei, apa yang sedang kau pikirkan?" Suara Xinqian yang cempreng membuatku terhenyak. "Sudah selesai memotong sawinya?"
Aku menunduk, menatap potongan sawi yang terbengkalai di atas talenan. "Ah, sudah."
"Ada yang belum dikerjakan?" tanyanya lagi.
"Um, aku belum mengiris bawang putih dan daun bawangnya."
"Kalau begitu biar aku yang mengiris bawang putihnya, kau mengiris daun bawangnya," ujar Xinqian dengan suara yang terdengar lebih antusias.
Aku mulai merasa tenang dan menikmati pekerjaan ini. Tidak ada tekanan dan tidak ada ketegangan. Sejak dulu aku memang senang memasak, tetapi saat mengerjakan semuanya bersama-sama seperti ini, dalam nuansa dapur yang suam dengan semburat cahaya matahari yang masuk melalui jendela, waktu yang tidak banyak ini terasa begitu berharga.
Tanpa terasa, semua hidangan pun sudah siap. Tidak ada hidangan yang terbilang mewah di atas meja makan saat ini. Hanya ada sup rebusan jamur, tahu, dan sawi dengan komposisi yang sederhana, umbi rebus, dan buah persik, serta air putih. Tidak ada daging, ataupun makanan yang mewah lainnya. Pada awalnya aku berpikir mungkin karena ulahku, makan siang untuk menyambut kepulangan suami Nyonya Huang hanya ala kadarnya seperti ini. Tetapi jika kuingat lagi belanjaan yang kusia-siakan tadi pagi memang tidak ada bahan makanan yang cukup mewah. Karena itu aku kembali bertanya-tanya, apakah benar keluarga pemilik pondok ini adalah keluarga hebat yang berpengaruh seperti yang diceritakan Xinqian.
Selain itu, Hua Fei bilang bahwa suami Nyonya Huang sudah melakukan pekerjaan yang sangat penting selama beberapa hari ini. Apakah tidak apa-apa menyambutnya hanya dengan hidangan ala kadarnya seperti ini? Dulu papaku saja selalu marah jika sepulangnya kerja Ibu hanya menyediakan secangkir kopi.
"Ada apa?" tanya Xinqian yang berdiri di sampingku. "Kau ini sepertinya sangat hobi melamun."
"Ah, tidak. Aku hanya berpikir… apa hidangan ini terlalu sederhana untuk menyambut tuan rumah yang baru saja pulang dari pekerjaan penting?" Aku terus menatap hidangan di atas meja makan seraya menggaruk pelipis tak gatal.
Xinqian tergelak kecil. "Kau itu terlalu berlebihan. Yah, memang pada dasarnya orang-orang akan berpikir dan bertindak seperti itu. Tetapi Nyonya Huang dan suaminya ini berbeda. Selain sifat mereka yang bersahaja, mereka berdua adalah orang yang bijak. Kau tidak akan pernah tahu apa yang mereka pikirkan sampai mereka memberi tahu maksud mereka yang sebenarnya."
"Apa maksudmu?"
Di tengah percakapan, Hua Fei datang menyela dengan membawa raut panik yang bercampur gembira. "Hei, Tuan Liang sudah datang!"
Xinqian bergegas pergi mengikuti Hua Fei seraya mencolek tanganku. "Ayo!"
"Kemana?"
"Tentu saja ke pintu depan! Kita harus menemani Nyonya Huang untuk menyambut suaminya." Tanpa berbasa-basi lagi, Xinqian menarik lenganku dan membawaku bersamanya menyusul Hua Fei ke tempat Nyonya Huang.
Aku dan Xinqian tiba di beranda rumah, dimana Nyonya Huang sudah berdiri di sana dengan raut gembira yang sedikit tersembunyi di balik ketenangan yang terlukis di wajah anggunnya. Setelah kami semua berkumpul, Nyonya Huang mengajak kami untuk berjalan menuju gerbang, tepat saat ringkikan kuda dan suara roda kereta yang terhenti tertangkap oleh telinga kami.
Aku, Xinqian, dan Hua Fei berdiri di belakang Nyonya Huang di ambang pintu gerbang. Sebelumnya Xinqian sudah mengajariku bagaimana cara orang Tiongkok memberi hormat pada majikan atau orang yang statusnya lebih tinggi daripada mereka—mengepalkan kedua tangan dengan tangan kiri terbuka dan menelungkup di atas tangan kanan, dengan posisi tangan di perut dan kedua lutut sedikit ditekukkan untuk perempuan. Karena itu, saat lelaki yang ditunggu oleh Nyonya Huang itu keluar dari kereta kuda, aku segera menunduk dan memberi hormat, sama seperti yang dilakukan oleh Xinqian dan Hua Fei.
"Tuanku Liang, selamat datang kembali," ucap Nyonya Huang pada sang suami.
"Istriku, aku pulang. Senang rasanya bisa kembali," timpal lelaki itu.
Tunggu sebentar! Sepertinya aku mengenal suara itu.
"Bagaimana perjalananmu? Apakah semuanya baik-baik saja?"
"Tidak ada yang lebih membuatku senang saat akhirnya Tuanku Liu Bei meraih kemenangan atas Komando Hanzhong. Dan tentu saja, perjalananku pulang sangat menyenangkan karena akhirnya aku bisa pulang untuk bertemu dengan istriku."
Tidak mungkin! Tidak salah lagi! Meski perjumpaan itu sangat singkat dan begitu tiba-tiba, aku tidak mudah untuk melupakan suara dan wajah seseorang. Tetapi… apakah benar….
Karena penasaran, aku pun mengangkat wajahku untuk melihat siapa sebenarnya suami Nyonya Huang itu. Aku berharap aku salah, dan berpikir mungkin saja beliau memiliki suara yang mirip dengan orang itu.
Namun, ternyata aku yang salah.
Aku sangat terkejut saat melihat sosok suami Nyonya Huang yang kini sudah berada tepat di hadapanku. Dia… dia adalah lelaki itu, lelaki bijak yang kutemui di pasar!