Chereads / Song From The Unknown / Chapter 10 - Sang Naga Tidur dan Pemberian Darinya

Chapter 10 - Sang Naga Tidur dan Pemberian Darinya

Pertama kali aku mengenal Kisah Tiga Kerajaan adalah dari gim Dynasty Warriors yang sering kumainkan saat kecil dulu. Sebagai seorang anak kecil, waktu itu aku tidak memiliki ketertarikan yang lebih terhadap cerita maupun sejarah yang menjadi latar belakang gim itu. Aku hanya senang berperan menjadi seorang prajurit hebat yang bertempur melawan musuh dalam gim, dan hanya fokus pada sosok Sun Ce yang begitu kusukai. Dan mungkin satu hal yang bisa kubanggakan, aku bisa hafal semua nama tokoh dalam gim itu, tidak seperti anak-anak lain yang memanggil mereka dengan nama-nama yang asal—seperti temanku yang menyebut Lu Bu si kera sakti karena memiliki ornament kepala yang sama dengan tokoh Sun Go Kong dalam serial Journey To The West.

Beranjak dewasa, aku mulai tertarik dengan kisah Romansa Tiga Kerajaan lebih jauh lagi, tetapi aku tidak begitu mendalaminya seperti saat aku mempelajari sejarah Revolusi Industri atau Perang Dunia I dan II. Aku hanya membacanya sekali-kali, lalu mulai kagum pada sosok Zhuge Liang, sang ahli siasat kerajaan Shu yang memiliki kejeniusan yang luar biasa.

Sekarang aku berada di sini, terlempar ke zaman Tiga Kerajaan yang melegenda itu. Hal ini saja sudah membuatku sangat terkejut, hingga terkadang aku masih tak menyangka bahwa aku benar-benar terlempar ke zaman ini. Dan sekarang, aku duduk satu meja dengan sosok yang kukagumi itu. Sosok seorang Zhuge Liang yang terkenal itu. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayainya begitu saja?

"Tu-tunggu! Zhuge Liang katamu?!" Aku tersentak kaget. Refleksku hampir membawaku untuk berdiri, tetapi beruntung aku masih bisa menahannya.

Semua orang di ruangan ini kini memberikan perhatiannya padaku, termasuk Xinqian dan Hua Fei yang sepertinya terkejut atas reaksiku.

"Eh, aku kira Xinqian sudah memberitahumu." ucap Hua Fei. Kini pandangannya beralih pada Xinqian yang duduk di sampingnya. "Kau belum memberitahunya?"

Xinqian menggeleng lemah. "Karena dia berkata dia berasal dari negeri yang jauh, aku kira dia tak akan mengenal nama Tuan Zhuge Liang. Tapi, seharusnya dia sudah tahu." Xinqian kembali melirik ke arahku. "Bukannya kau mendengar kami menyebut namanya tadi?"

"Jadi maksudmu Tuan Liang itu Zhuge Liang? Zhuge Liang… yang itu?"

"Memangnya ada Zhuge Liang yang lain?" ucap Xinqian.

Jadi… Lelaki yang kutemui di pasar itu, lelaki yang kini duduk satu meja denganku, adalah Zhuge Liang? Zhuge Liang, Sang Naga Tertidur yang asli? Kalau begitu… Nyonya Huang ini… Huang Yueying?

Astaga! Hari belum berakhir dan sudah ada begitu banyak kejutan yang menyerangku.

Lelaki itu kini telah terbangun dari sikap diamnya. Seraya mengembangkan garis mulutnya, lelaki yang diduga Zhuge Liang itu mulai kembali berbicara. "Oh, betapa cerobohnya diriku karena lupa memperkenalkan diri pada tamu di rumahku sendiri. Mohon perkenalkan, nama margaku Zhuge, namaku Liang, dan nama kehormatanku Kongming. Seperti yang sudah kau ketahui, aku adalah tuan rumah di sini. Mohon maaf atas sambutan yang kurang baik dariku sebagai tuan rumah."

"Ti-tidak, Tuan! Ja-jangan bicara seperti itu! La-lagi pula, sekarang saya pelayan di rumah ini. Sa-saya yang harusnya meminta maaf karena tinggal di sini tanpa meminta izin terlebih dulu kepada anda sebagai tuan rumah," ucapku tergagap seraya mengibaskan tangan di udara.

Semenjak mengetahui bahwa lelaki di hadapanku ini adalah Zhuge Liang, aku jadi merasa sangat gugup. Aku bahkan tidak bisa mengontrol diriku dengan baik karena rasa kejut yang menyengatku secara tiba-tiba dan bertubi-tubi ini.

Ah, kalau begitu... Lelaki yang datang bersamanya itu... Apakah dia Ma Su?

"Kau tidak perlu berkata seperti itu, nona. Aku senang karena seorang pemudi yang baik sepertimu tinggal di tempatku. Kau tidak usah sungkan."

"Ah, i-iya. Te-terima kasih." Sumpah, aku benar-benar terkejut, gugup, deg-degan, pokoknya perasaanku saat ini tidak keruan. Aku belum bisa mencerna semua ini dengan baik.

"Jadi, siapa gerangan nama nona?" tanya Tuan Zhuge Liang kemudian.

Ah, pertanyaan ini datang lagi. Buruknya, aku masih belum kepikiran nama yang bagus sebagai nama samaranku. Mau tak mau aku harus kembali mengeluarkan alasan itu.

Namun, sebelum aku mulai berbicara, Nyonya Huang mendahuluiku berbicara. "Nona ini kehilangan sebagian ingatannya, dan dia tidak bisa mengingat namanya."

"Ya ampun, betapa malangnya. Ini pasti sangat berat bagimu," ucap Tuan Zhuge Liang penuh simpati. Raut wajahnya berubah sendu, tetapi aku yakin hal itu tidak cukup mengejutkannya. Entahlah, tetapi mungkin dia sudah mengetahuinya.

Aku tersenyum getir, mencoba menyembunyikan semua pikiran yang bergumul ini dan mencegahnya untuk tercurahkan dalam rangkaian kalimat. Beruntung, Nyonya Huang—yang tidak pernah kukira dirinya adalah Huang Yueying—segera mengambil alih.

"Suamiku, anak-anak, jika kita terus berbicara, sampai malam pun kita tidak akan bisa menyelesaikan santap siang kita. Kita bisa meneruskan perbincangannya nanti. Sekarang kita makan dulu sebelum semuanya menjadi dingin."

******

Langit sudah gelap saat aku melangkah menuju teras belakang rumah yang anyap. Aku menghela napas sebelum duduk menghadap kolam jernih yang memantulkan cahaya rembulan yang sedikit redup. Angin yang bertiup menghempaskan dedaunan yang terjatuh di pohon persik tepat di tepi kolam di ujung seberang sana, lalu mendaratkannya di atas refleksi bulan pada permukaan kolam. Angin itu juga berembus menerpa diriku dan membuat rinding menyapu kulitku.

Sebuah desahan berat keluar dari mulutku, dan sayangnya hal itu berkontradiksi dengan segala keindahan dan ketenangan yang kurasakan saat ini. Lelah yang kudera mengusik tubuh dan jiwaku. Tak hanya itu, beberapa hal mulai menggangguku setelah aku mengetahui bahwa tuan dari rumah yang saat ini kutinggali adalah Zhuge Liang dan Yueying seperti bagaimana nasibku setelah ini, dan takdir macam apa lagi yang sedang menungguku—aku bahkan masih sulit untuk mempercayai bahwa diriku ebrtemu dengan seorang Zhuge Liang yang asli.

Memikirkan semua itu membuat kepalaku berdenyut kencang. Bukan berarti aku tak senang dan membatalkan rasa syukurku begitu saja, tetapi ini semua terlalu rumit untuk kupikirkan. Maksudku, karena aku sudah kadung bersumpah untuk menjadi pelayan seorang Nyonya Huang Yueying—yang mana membuat Zhuge Liang otomatis menjadi tuanku juga—aku bisa saja memberitahunya bahwa di masa depan setelah kematiannya, Shu akan runtuh dan dinasti Jin yang didirikan keluarga Sima akan berkuasa. Selain itu, aku bisa saja mendapat kehidupan yang lebih baik dan posisi tinggi di kerajaan jika aku menggunakan pengetahuanku dan informasi sejarah dari masa depan untuk membantu kerajaan Shu.

Ah, iya juga. Nasibku di kehidupanku yang sebelumnya tidak begitu bagus. Lalu kenapa tidak kumanfaatkan saja 'bekalku' dari masa depan untuk membuat kehidupanku jauh lebih baik di masa kini?

Tidak. Coba pikirkan lagi! Apa yang akan terjadi di masa depan jika sejarah diubah? Mungkin saja perubahan hanya akan terjadi di daratan Tiongkok. Tetapi tetap saja, dampaknya pasti akan berimbas kemana-mana. Lalu apakah aku tega melakukan hal itu demi kesenanganku sendiri? Lagi pula, selain nama-nama pertempuran yang terjadi dan beberapa peristiwa ikoniknya yang terkenal, aku tidak begitu tahu apa yang terjadi sepanjang masa Tiga Kerajaan ini

Tunggu dulu! Ngapain aku mikirin hal ginian segala? Saat ini aku hanyalah seorang pelayan. Aku tidak perlu khawatir tentang perubahan zaman atau sejarah atau apalah itu. Lebih baik aku jalani saja kehidupanku di sini sebagaimana mestinya, dan sebisa mungkin mencari cara agar aku bisa kembali ke masaku.

Ah, apakah aku benar-benar bisa kembali?

Kutatap rembulan di atas sana seraya kembali membayangkan apa yang mungkin terjadi di tempat tinggalku saat ini, di zamanku saat ini, saat aku menghilang. Meski kehidupanku tidak begitu bagus, tetapi bukan berarti semuanya buruk. Aku masih menyukai kehidupanku sebelum datang ke masa ini, dan kini aku merasa sangat merindukannya.

Aku menarik napas, lalu secara spontan mulai bernyanyi.

"Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati….

Air matanya berlinang, mas intannya terkenang….

Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan….

Kini ibu sedang lara, merintih dan berdo'a."

Aku tidak tahu kenapa aku menyanyikan lagu ini. Mungkin karena beberapa minggu yang lalu aku sering menyanyikannya bersama kelompok paduan suara kampus dalam latihan untuk acara festival kesenian kampus. Melodinya yang syahdu telah merasuk begitu jauh ke dalam relung hatiku—atau mungkin lagu ini terlalu earworming untukku.

Ah, iya. Kalau diingat-ingat lagi, saat aku tenggelam, aku mendengar suara nyanyian. Lalu saat aku tersadar di pinggiran sungai Yangtze, aku juga mendengar Xinqian bernyanyi. Itu lagu apa ya?

"Sungguh nyanyian yang sangat indah." Suara seorang lelaki bergumam lembut di belakangku, membuatku terperanjat dan secara refleks berbalik untuk melihat siapa yang datang.

Aku tergemap saat menangkap sosok Tuan Zhuge Liang tengah berdiri di belakangku dengan tangan memegang kipas bulu bangau, sementara tangan yang lainnya terlipat ke belakang—kali ini dia benar-benar terlihat seperti Zhuge Liang yang asli. Apakah dia mendengarkanku bernyanyi? Oh, yang benar saja!

Lonjakan kepanikanku membuatku sangat ingin membenamkan kepala ke dalam kolam sekarang juga. Sungguh, rasa malu dan serba salah ini membuatku merinding sendiri. "Ah, Tuan-"

"Bolehkah aku duduk?" tanya Tuan Zhuge Liang.

Aku mengangguk kikuk. Mana mungkin aku melarangnya, 'kan?

Aku beringsut sedikit untuk memberinya ruang. Tuan Zhuge Liang kemudian duduk bersila di sampingku. Melihatnya bersila seperti itu, aku pun mengangkat kakiku yang menggantung dengan maksud untuk duduk bersimpuh di atas lantai kayu yang kududuki. Namun, Tuan Zhuge Liang yang melihatku mulai mengangkat kaki segera mencegahku dengan kipas bulu bangaunya.

Kemudian, tanpa mengatakan apapun, Tuan Zhuge Liang mengubah posisi duduknya. Ia menurunkan kakinya ke permukaan tanah, lalu menyingkirkan kipasnya dari pangkuanku. Barulah setelah itu ia terlihat begitu santai seraya mengembuskan napas ringan.

"Sungguh, syair serta nyanyianmu sangatlah indah. Aku sangat tersentuh," ujar Tuan Zhuge Liang yang melontarkan senyumannya pada dedaunan yang berguguran. "Selain itu, suaramu cukup unik. Disamping itu, nyanyianmu sangat lembut dan menyentuh, namun begitu menyayat. Bagaimana aku mengatakannya? Seperti mendengar nyanyian duka lara dari seorang dewi di atas surgaloka, yang membuat hujan turun sebagai representasi dari air matanya. Saat mendengar nyanyianmu, Hatiku bergetar, dan aku pun merasa seperti tengah berada dalam guyuran air hujan itu."

"Anda terlalu berlebihan," tampikku yang kini mulai tersipu malu. Aku pun kembali melemparkan tatapanku pada air kolam yang kini terlihat begitu tenang. "Itu adalah lagu dari tempat asal saya. Belakangan ini saya sering menyanyikannya, dan mungkin saya pun sudah terbawa nuansa lagu itu."

"Ho, rupanya ingatanmu tidak sepenuhnya hilang?"

"Eh?"

Tuan Zhuge Liang kini melirik padaku seraya melemparkan sebuah suggingan tipis dengan roman usil. "Aku tidak percaya orang yang bahkan tak mengingat namanya sendiri masih ingat pada sebuah lagu dari tanah airnya."

Sesuatu dalam diriku runtuh, dan aku merasa terjengit saat menyadarinya. Aku kesulitan menemukan kalimatku selanjutnya—untuk melakukan sebuah penyangkalan. Dan sepertinya aku pun kehilangan sesuatu yang lain: cengkeramanku pada diri sendiri. Mungkin memang sebaiknya aku mengatakan yang sejujurnya, termasuk tentang namaku yang mungkin akan terdengar aneh baginya.

Namun, sebelum aku menyerah, Tuan Zhuge Liang kembali berucap. "Terkadang memang sesuatu yang sudah tertanam di dalam relung jiwa terdalam kita tak akan bisa hilang dengan begitu mudahnya. Aku bisa mengerti itu."

Aku mengangguk seraya tersenyum miring. Aku tidak mengerti ke arah mana pembicaraannya menuju, tetapi entah kenapa intuisiku mengatakan dia sedang menyindirku. Namun, sudahlah kalau memang dirinya berpikir seperti itu.

Angin malam kembali berembus, membawa ruang terbuka ini ke dalam sebuah nuansa yang baru. Bunga dan dedaunan yang kembali berguguran kini menghujani permukaan kolam dan menimbulkan riak kecil yang menggoyahkan bayangan bulan.

Kami berdua terpaku dalam kesunyian malam. Tidak ada obrolan lebih lanjut lagi selain suara riak air kolam dan embusan napas Tuan Zhuge Liang yang ia keluarkan melalui mulutnya. Suasana canggung ini nyaris membunuhku, tetapi bercakap-cakap dengan seorang Zhuge Liang lebih lanjut lagi pun sungguh tidak baik untuk jantungku. Saat ini saja deburan jantungku sudah berdetak sedikit abnormal.

"Maafkan aku. Jika aku boleh berkata, sepertinya kau ini seorang gadis pemikir," gumam Tuan Zhuge Liang memecah keheningan. "Tetapi jika menyangkut keselamatan orang lain, kau seolah membuang titel itu dan langsung bertindak sesuai insting yang mungkin saja bertolak belakang dengan apa yang kau pikirkan."

Aku terkekeh gabir, tak bisa menyangkal ucapannya. Tuan Zhuge Liang sudah pernah mengatakannya di pasar sebelumnya, dan diri ini pun memang menyadarinya—dan terkadang menganggapnya merepotkan.

Meski begitu… "Apakah... itu bagus?"

Tuan Zhuge Liang memejamkan matanya dan mengibaskan kipasnya perlahan. "Menjadi orang baik memanglah pilihan yang bagus, tetapi menjadi bijak adalah sebuah keharusan jika kau ingin membuat semuanya menjadi lebih baik lagi."

"Um, saya rasa anda sudah pernah mengatakannya, meski mungkin tidak persis seperti itu," timpalku.

Tuan Zhuge Liang menoleh padaku seraya tersenyum. "Kalau begitu, aku rasa kau sudah tahu jawabannya."

Rasa gugup yang merundungku seketika sirna saat aku melihat senyuman Tuan Zhuge Liang yang terasa begitu manis dan menyegarkan. Tidak ada keraguan sedikitpun dari sorot mata berbulu lentiknya yang tajam dan penuh keyakinan, yang membuat keyakinan dan senyuman itu pun menular padaku.

Canggung dan buncah kini berganti menjadi sebuah rasa senang yang menenteramkan dan begitu memuaskan. Aku nyaris lupa jika aku pernah berharap bertemu kembali dengan orang yang membantuku di pasar tadi pagi. Maka inilah dia. Aku bertemu lagi dengannya, dan aku kembali mendapat sesuatu yang berharga.

Ah, mengenai hal itu, aku jadi ingat sesuatu.

"Ah iya, Tuan. Mengenai kejadian tadi pagi di pasar, ada sesuatu yang masih belum saya mengerti," ucapku.

"Tentang apakah itu?" tanya Tuan Zhuge Liang.

Aku mencoba mengingat apa yang terjadi tadi pagi. "Kenapa anda memberi saya uang untuk mengganti barang belanjaan saya?"

"Bukankah aku sudah menjelaskan semuanya? Tentang diriku yang sedang ingin makan sup jamur dan bagaimana aku bisa mengenali dan mengetahui dirimu?"

"Tidak, bukan itu. Kenapa anda memberi saya uang saat anda tidak memilikinya? Bukankah anda hanya punya satu keping Ban Liang? Dan ingot emas yang anda miliki pun sudah anda berikan pada lelaki pemarah itu. Apakah… anda berbohong?"

Tuan Zhuge Liang mengusap janggutnya seraya melemparkan tatapannya ke atas langit. "Aku tidak pernah berkata hanya mempunyai satu keping Ban Liang. Aku hanya berkata bahwa diriku tidak punya uang sebanyak yang pria itu inginkan. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak memiliki uang sebanyak 300 keping Ban Liang, tetapi aku punya uang kurang dari jumlah itu, lima puluh Ban Liang."

Oh, astaga. Jika Firda ada di sini dan melihat serta mendengar apa yang saat ini tengah diceritakan Tuan Zhuge Liang, dia pasti akan berkata "gak habis thinking" sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis pikir, memang. Kecerdikan lelaki ini ternyata bukan hanya cerita belaka.

"Lagi pula," lanjutnya, "alasanku hanya ingin memberi pria tua itu sekeping koin bukan karena aku tidak memiliki beberapa jumlah uang."

Ya, aku tahu itu. Buktinya Tuan Zhuge Liang mempunyai satu ingot emas yang kira-kira memiliki berat lebih dari seratus gram.

"Lalu kenapa?" tanyaku.

"Tidak ada alasan bagiku untuk memberi pria itu dua kali lipat dari jumlah kerugian akibat roti yang menantunya ambil. Lagi pula, dia tidak mengalami kerugian sepeser pun. Jadi, untuk apa aku memberinya jumlah yang lebih?"

"Lalu kenapa Tuan memberinya satu ingot emas?"

"Aku tidak memberinya satu ingot emas. Anggap saja aku membeli seluruh peralatan dan bahan untuk membuat roti darinya untuk kuberikan pada anak dan menantunya."

"Tapi… kenapa satu ingot emas? Saya rasa harga seluruh peralatan membuat rotinya lebih murah dari itu—walaupun saya tidak tahu persis berapa nilai dari satu ingot emas itu. Lagi pula, peralatannya juga peralatan lama."

Tuan Zhuge Liang kembali mengibaskan kipasnya. "Untuk memanipulasi seseorang, pancinglah dengan hal yang menguntungkannya."

Ah, kalau tidak salah itu adalah salah satu kutipan dari Buku Seni Perang Sun Tzu. Aku tidak menyangka penerapannya bisa seperti itu.

"Pria itu tidak akan mau mengalah jika aku tidak memberi sejumlah yang ia tawarkan. Sedangkan aku juga tidak ingin memberi lebih dari apa yang semestinya jika hal itu sama sekali tak bernilai. Karena itu, aku menawarkan satu ingot emas dengan syarat lelaki itu mau memberikan semua peralatan usahanya yang mungkin saja ia dapatkan dari uang menantunya. Lagi pula, harga itu sebanding untuk membebaskan dan membantu pasangan itu untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi. Mereka akan mendapatkan uang lebih dari itu jika mereka memulai usaha mereka dengan baik. Dan aku yakin mereka akan menjalaninya dengan baik."

Tuan Zhuge Liang melanjutkan, "Dan untuk pria itu, seperti yang dikatakan putrinya, dia tidak akan menggunakan uang yang ia dapatkan untuk memulai usahanya kembali. Dari penampilan dan aroma tubuhnya, pria itu merupakan seorang pemabuk berat. Seorang pemabuk dan berengsek seperti dirinya biasanya adalah seorang pemain wanita, dan hal itu dikonfirmasi langsung oleh putrinya. Dia akan menggunakan semua uang itu demi kesenangan dirinya saja. Keserakahan dan sifatnya yang senang menghambur-hamburkan itu akan membuat dirinya miskin dan hancur dalam waktu sekejap. Hukuman itu cukup untuk dirinya."

Kini aku mengerti. Bukan hanya tentang kejeniusan dan sifat arifnya yang sungguh nyata, kini aku juga mengerti bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan antara menjadi baik dan bijaksana. Malam ini, Tuan Zhuge Liang kembali memberiku pelajaran yang begitu berharga, sehingga tanpa kusadari mulutku ternganga tanda terpukau.

Dia nyata. Zhuge Liang dan kecerdasannya benar-benar nyata. Dan setelah menemukan fakta itu, rinding terasa menyapu tubuhku, membuat seluruh bulu romaku berdiri tegak. Tetapi perasaan itu bukan datang dari angin malam yang bertiup kencang. Sebaliknya, perasaan ini datang dari suatu sensasi yang membara dalam tubuhku.

Tanpa kusadari, aku sudah membuat Tuan Zhuge Liang kebingungan. "Ada apa?"

"Ti-tidak. Tidak apa-apa. Saya hanya merasa kagum, anda sampai berpikir sejauh itu. Ternyata benar, anda bisa menembus visi yang sangat jauh dan membuat segala sesuatunya menjadi mungkin," ucapku penuh kekaguman.

"Oh, iya? Dari mana nona mendengar itu?" Alis tajam Tuan Zhuge Liang kini terangkat.

"Ah, um… itu… di tempat asalku, anda begitu terkenal. Aku banyak mendengar tentang anda dari orang-orang," kilahku gugup.

Saat menatapku, mata Tuan Zhuge Liang semakin menyipit, tetapi ia segera menutupnya seraya tersenyum. "Ah, begitu ya. Aku merasa tersanjung."

Aku rasa aku sudah membuatnya curiga. Namun, tentang percaya atau tidak dirinya padaku, itu pilihannya sendiri. Meski aku memang menyembunyikan sesuatu darinya, tetapi aku tidak bermaksud buruk. Aku benar-benar ingin menjalani kehidupanku yang baik di sini. Dan semoga Tuan Zhuge Liang bisa menangkap sinyal itu.

Ugkh! Lirikan matanya yang aneh itu membuatku berburuk sangka saja!

"Nona."

"Ah, I-iya?!" Lagi-lagi dia membuatku terperanjat.

"Mungkin ini sedikit tidak sopan, tetapi jujur saja, aku merasa sedikit kesusahan atas hilangnya ingatan tentang namamu. Dan sepertinya istriku serta yang lainnya pun sama sepertiku," tutur Tuan Zhuge Liang.

"Anda benar. Aku pun merasa begitu, dan itu membuatku merasa tidak enak." Mungkin ini saatnya aku memberi tahu nama asliku. Lagi pula, alasan yang kupegang teguh pun sangat konyol. "Sebenar-"

"Jika nona tidak keberatan, aku sudah memikirkan sebuah nama yang mungkin cocok untuk kau sandang," ujar Tuan Zhuge Liang. "Aku tidak ingin mengatakannya karena takut menyinggungmu, tetapi sebuah nama diperlukan untuk menjaga identitas seseorang. Aku ingin menjaga identitas dan kedudukanmu sebagai anggota keluarga pondok ini. Itu pun jika nona tidak keberatan."

Sepertinya aku salah. Sekarang aku berada di suatu masa dan tempat yang jauh dari tanah airku, dan sekarang aku pun mempunyai kehidupan dan orang-orang yang baru. Bukan berarti aku ingin membuang nama yang diberikan padaku sebelumnya, tetapi aku juga harus menghargai mereka yang sudah memberiku banyak kesempatan dan pertolongan. Lagi pula, aku tahu Tuan Zhuge Liang tidak bermaksud mengganti namaku dengan nama pemberiannya. Dan seperti yang dikatakannya, aku perlu menjaga identitas dan kedudukanku di sini, sebagai pelayan di pondok ini, anggota pondok ini.

"Saya adalah pelayan di rumah anda. Segala keputusan Tuan akan saya terima dengan senang hati," ucapku yang berusaha terdengar sangat formal dan sopan seperti seorang abdi istana.

Tuan Zhuge Liang tersenyum getir. "Aku dan istriku akan merasa lebih senang jika kau menggunakan kata 'anggota pondok' atau 'anggota keluarga' daripada kata 'pelayan'."

"Baiklah, terserah Tuan aja deh."

Garis mulut Tuan Zhuge Liang tampak semakin merekah, mungkin karena ia kembali mendengar logat aneh yang terkesan kurang sopan dariku—sungguh aku benar-benar kelepasan mengucapkan itu.

"Aku sudah memikirkan sebuah nama yang bagus untukmu. Lingyin. Mulai hari ini, namamu adalah Lingyin."