Semua ini tidak seperti argumen orang-orang yang mengatakan bahwa pahlawan selalu datang kesiangan. Pertama, aku tidak pernah menganggap diriku sebagai pahlawan; sebaliknya, aku selalu menjadi seorang pengecut yang berprinsip 'jika orang lain bisa, kenapa harus aku?' dan bersembunyi di balik zona nyaman yang tidak akan pernah membawaku kemana pun. Kedua, sayangnya, saat ini—sepertinya—tidak ada orang lain yang bisa. Ketiga, aku orangnya tidak tegaan. Dan salahku sendiri, aku tidak segera pergi dari sini dan membuat perasaan tidak tegaanku kian berlarut.
Tetapi, mungkin Tuhan memang ingin agar aku terus melakukan kebaikan.
"Mana dukunnya? Panggilkan aku dukun, cepat!" teriak lelaki kasar itu seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Lama tak mendapat respons, ia mengangkat tongkat di tangannya dan hendak memukul lelaki itu. "Lepaskan aku, sial-"
"Tunggu! Tunggu dulu! Dia tidak sedang kerasukan!" seruku spontan. Semua orang mendadak terdiam dan mengalihkan perhatiannya padaku. Aku sendiri sempat terkejut karena berteriak begitu saja hingga mengundang perhatian semua orang di sini.
Rasanya seperti ada banyak serangga kecil yang menggerayami tubuhku saat semua perhatian itu tertuju padaku. Dadaku berdegup kencang saat mendapati lelaki berwajah garang itu juga melemparkan tatapan nyalangnya padaku. Mau bagaimana lagi? Aku rasa sudah terlanjur. Aku pun menyelinap di antara orang-orang itu dan berjalan menuju ke pusat kerumunan. "Jangan pukul dia!"
Lelaki tua bertubuh gempal dan berwajah garang itu membeliakkan mata. "Siapa kau?"
"Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah lelaki ini," ujarku seraya berjongkok di hadapan lelaki yang sedang kejang itu. Aku menggeletakkan sayuran belanjaanku dan mulai fokus pada lelaki malang di hadapanku itu.
"Kau tidak usah ikut campur, gadis aneh!" sentak lelaki itu.
Oh, lihatlah! Bahkan orang dari zaman kuno pun memanggilku aneh. Mungkin tidak seperti orang-orang di lingkunganku dulu, yang menganggapku aneh karena kebiasaanku. Sebelumnya Xinqian pun mengatakan begitu, tetapi rasanya berbeda.
Lelaki garang itu tampak mengerutkan hidungnya saat ia menatap rambut pendekku. Namun aku tidak peduli.
Aku mulai mengedarkan pandanganku. "Semuanya, tolong menjauh! Beri kami ruang untuk bernapas!"
Orang-orang itu mulai saling berbisik kembali tanpa sedikitpun menggerakkan sejengkal kakinya. Aku tak menyangka orang-orang pengghibah yang lebih senang memperhatikan sensasi dari pada empati seperti ini ada dimana-mana.
"Tolong menjauh!" Sekali lagi aku berteriak, kini dengan suara maksimal yang nyaris membuat pita suaraku putus.
Akhirnya orang–orang itu beringsut mundur dan memberi kami ruang.
Netraku kembali berkeliling, mencari sesuatu yang cukup empuk untuk kugunakan sebagai bantalan. Namun, aku rasa aku tidak akan bisa menemukannya di tempat seperti ini. Karena itu, aku segera menatap wanita berpipi gembul yang masih menangis itu. "Nyonya, bisakah anda ke sini dan berikan pangkuan anda untuk bantalan kepalanya?"
Wanita itu tampak kebingungan untuk sesaat, tetapi ia bergegas menghampiriku dan memberikan pahanya untuk bantalan kepala suaminya.
"Anda istrinya?" tanyaku lembut.
Wanita itu mengangguk tanpa bisa mengatakan apapun lagi.
Aku mencoba mengangkat lelaki malang itu dan menggesernya naik menuju paha istrinya, lalu menggulingkan badannya ke samping. Aku kembali menatap wanita itu dan berkata, "jangan diguncang. Biarkan saja dulu suami anda seperti ini sampai ia tenang sendiri. Selain itu, anda juga jangan panik. Tenang saja."
Wanita itu terhenyak dan terlihat sedikit kebingungan. Namun, sepertinya ia melihat keseriusan di mataku. Karenanya, meski sedikit ragu, wanita itu mengangguk ringan.
"Apa yang kau-"
"Shhh!" aku segera berpaling ke arah lelaki galak itu dan menyimpan telunjukku di muka bibir. "Jangan berteriak! Itu sama sekali tidak membantu!"
Lelaki tua itu tampak geram, tetapi ia berusaha untuk menahannya.
Aku mulai mengendurkan tali yang mengikat pinggangnya dan melonggarkan sedikit pakaiannya di bagian dada. Andai saja ada rumah sakit di sini—tentunya rumah sakit modern seperti rumah sakit di abad 21 dengan segala teknologinya yang canggih—akan lebih baik jika aku memanggil ambulans dan membawanya ke sana. Namun, apa daya. Jangankan rumah sakit, mungkin nama penyakit lelaki ini saja mereka tidak akan tahu.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya lelaki itu bisa tenang. Kejang-kejangnya mereda, dan nampaknya pernapasannya pun sudah lancar.
"Sa-sayang! Bicaralah!" pekau wanita itu masih agak panik.
"Nyonya, berbicaralah dengan lembut dan perlahan," anjurku lembut. "Selain itu, tolong siapkan sehelai kain, sendok-ah maksudku sumpit, atau apapun itu untuk mencegah dia mengigit lidahnya—jika dia mulai mengeratkan gigi dengan kuat."
Wanita itu menutup mulut dengan kedua tangannya, sebelum akhirnya dirinya membelai pipi suaminya dengan begitu halus. "Sayang? Kau tidak apa-apa?"
"Teruslah mencoba membuat suami anda sadar dengan suara yang lemah lembut. Anda harus tetap mendampiningnya hingga ia benar-benar sadar dan bisa merespons dengan baik."
Senyum wanita itu mulai merekah meski terlihat masih malu-malu. Ia pun mengucapkan terima kasih padaku dengan diiringi derai air mata.
Aku bersyukur dulu aku pernah mempelajari pertolongan pertama pada pasien epilepsi yang kambuh saat aku tergabung dalam PMR dan Pramuka di SMA dulu. Walaupun aku sudah mempelajarinya dengan baik dan serius, tetapi baru kali ini aku mendapat kesempatan untuk menerapkan ilmu yang dulu kudapat, meski tentu saja hal seperti pasien epilepsi yang tiba-tiba kambuh di tengah pasar seperti ini lebih baik tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada.
Dan melihat keselamatan seseorang terjaga seperti ini, aku merasa beban berat yang bersarang dipundakku perlahan terangkat.
"Setelah suami anda sudah sepenuhnya sadar dan merasa lebih baik, sebaiknya bawa dulu dia ke tempat yang tenang dan teduh. Jangan ada kebisingan yang berlebih, jangan ke tempat yang dikelilingi air, dan jangan pergi ke tempat yang bisa membuka traumanya," saranku pada wanita itu kemudian.
"Te-terima kasih banyak," ucap wanita itu.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi selain tersenyum pada sepasang suami istri itu.
Gemuruh perbincangan yang berasal dari kerumunan itu kembali bergemerisik seperti belukar yang diguncang angin kencang. Tentu saja mereka masih belum mengerti apa yang sedang terjadi dan merasa sedikit takjub—dan heran—karena lelaki yang diduga kesurupan itu tiba-tiba mereda hanya dengan penanganan sesederhana itu.
"Hei, nona! Apa yang terjadi?" teriak seorang lelaki dari dalam kerumunan.
Aku berdiri dan berbalik menghadap sumber suara itu. "Lelaki ini punya penyakit epilepsi… um… ayan. Kau tahu? Um… semacam gangguan pada aktivitas sel saraf di otak. " Bagaimana aku menjelaskannya biar mudah dimengerti?
"Kau bohong!" tukas ayah si wanita itu dengan suara yang begitu menggelegar. "Jelas-jelas si sialan ini kesetanan! Kau hanya ingin agar orang-orang mengasihaninya dan membiarkannya pergi, bukan begitu? Jangan-jangan kau ini berkomplot dengan bajingan ini!"
Aku sedikit terjengit saat mendengar omong kosong yang dilontarkan oleh lelaki berwajah garang ini. jika saja aku tidak cukup sabar, mungkin sumbuku akan dengan mudahnya tersulut dan mulai mengumpati ucapan tak masuk akal lelaki itu. Namun, aku masih bisa sabar meski helaan napasku terdengar berat dan payah.
Sebenarnya aku tidak ingin berdebat—sungguh aku sangat tidak suka berdebat dan lebih senang memilih untuk tetap diam. Tetapi tipe orang keras kepala seperti ini memang harus dikasih paham. "Terserah anda mau bilang apa. Tapi kenapa bapak sampai segitunya membenci pria ini? Bukankah dia ini menantu bapak?"
"Aku tak sudi mengakui pencuri ini sebagai menantuku! Dia telah mencuri barang daganganku!"
"Itu karena ayah merampas semua hasil kerja kerasnya hingga kami tak bisa membeli apapun untuk dimakan, bahkan hadiah pernikahanku juga! Dia tidak mencuri! Dia memohon untuk meminjamkan roti itu dan akan segera membayarnya dengan uang seharga roti itu! Tapi ayah malah menghardiknya hingga dia terpaksa mengambil sedikit roti di toko ayah karena anak kami sudah sangat kelaparan!" tepis wanita itu berderai emosi. "Jika ayah benar, kenapa ayah tidak melaporkannya pada pengawal dan membawanya ke persidangan?"
"Diam ka-" Lelaki itu mengangkat dan mengayunkan tongkatnya dengan maksud ingin memukul anak dan menantunya.
Refleksku mendorongku untuk melesat menuju spasi di antara mereka. "Jangan!"
"Minggir!" sentak lelaki itu. "Jangan campuri urusan kami!"
"Memangnya apa yang akan bapak dapat dari memukul anak dan menantu bapak?"
Alis lelaki itu masih saling bertautan, tetapi api di mata nyalangnya terlihat sedikit meredup karena kebingungan. Mungkin dia sedang berpikir. Baguslah jika seperti itu. Namun, dahinya yang sempat mengendur kini kembali mengernyit.
Sebelum ia mengeluarkan ucapan kotor nan menyentak, aku segera kembali berucap. "Berapa harga dari barang dagangan bapak yang diambil?"
Lelaki tua itu semakin mengernyitkan dahinya.
"Apakah jika saya membayar untuk dagangan yang lelaki itu ambil, bapak akan membiarkannya?" lanjutku
Ada celah pada diri lelaki itu yang membuat amarahnya mereda bak api yang disiram air seketika, membawanya untuk kembali memikirkan semuanya baik-baik. Lelaki tua ini butuh uang. Dia sangat gila harta hingga ia tega merampas semua harta anak dan menantunya, dan—dengan teganya—masih memperhitungkan roti yang diambil dari tokonya yang tak seberapa. Jika bukan begitu, aku rasa lelaki tua itu hanyalah orang kasar yang senang menyiksa orang.
"Baiklah kalau begitu. Tapi aku ingin kau membayaranya dua kali lipat."
Yup, aku sudah menduganya. Meski begitu, mendengar dirinya ingin aku membayar dua kali lipat membuatku terkena serangan jantung kilat. Maksudku… bisa-bisanya dia….
Tapi, ya sudahlah. Aku pun merogoh saku di pakaianku, lalu sadar bahwa di masa ini pakaian belum memiliki saku seperti di zaman modern.
Dan saat itu pula aku menyadari bahwa aku tidak punya uang sepeserpun. Semua uang untuk belanja dipegang oleh Xinqian dan Hua Fei. Di samping itu, aku bahkan tidak tahu mata uang atau benda yang digunakan sebagai alat tukar di masa ini.
Astaga! Kok aku bego banget, sih?!
"Mana uangnya?" Lelaki itu menagih uang yang kujanjikan.
Aku yang tertunduk mulai menggerakkan leherku secara kaku, melirik lelaki itu dengan tatapan enggan. Tubuhku mulai gemetaran dan keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. Seolah membaca ekspresiku, lelaki tua itu sepertinya menyadari ada sesuatu yang salah.
Inilah akibat dari sikap takabur dan tinggi hati. Yakali setelah ngomong sok kayak tadi aku akhirnya cuma bisa nyengir dan bilang kalo sebenernya aku gak punya duit? Dahlah, setelah ini gak lagi-lagi deh aku sok jadi orang baik dan sok ngebelain orang.
Di tengah kekalutan itu, seorang lelaki asing tiba-tiba datang dari dalam kerumunan. Hanya dalam jangka waktu kurang dari satu menit, lelaki itu membuatku dan semua orang terkejut.
"Tolong biarkan saya yang membayar semuanya."