Saat Nyonya Huang memutuskan untuk membawaku bersamanya, itu berarti bahwa ia sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menunjang kehidupanku ke depannya, meski baru berupa catatan kecil dalam ingatannya yang—menurut Xinqian—sempurna. Dengan kebijaksanaannya pula, ia berkata bahwa aku boleh tinggal di tempatnya selama yang aku mau, dan bebas memutuskan untuk tetap tinggal atau meninggalkan tempatnya kapanpun aku berkehendak, dengan syarat aku sudah—setidaknya—siap untuk memulai kehidupanku yang baru, jika pada akhirnya ingatanku tak kunjung pulih, walaupun sebenarnya sejak awal ingatanku tidak pernah hilang.
Dengan kesempatan yang diberikan oleh Nyonya Huang, sambil memulai kehidupanku yang baru di zaman ini, aku bisa mencari informasi tentang dunia ini dan alasan kenapa semua keanehan ini terjadi—dan jika memungkinkan aku juga bisa mencari cara untuk kembali ke masaku. Dan untuk membalas kebaikan Nyonya Huang, aku diperbolehkan untuk bekerja di tempatnya, meski awalnya Nyonya Huang menolak permintaanku.
"Aku membawamu bukan untuk kujadikan pelayan," ujarnya saat aku meminta untuk bekerja di tempatnya.
"Tetapi bukankah anda ingin saya memiliki kehidupan yang baik? Saya akan merasa lebih baik jika saya bisa melakukan sesuatu," timpalku saat itu. "Lagi pula, ini adalah bentuk kebaikan yang bisa saya berikan sebagai tanda terima kasih. Bukankah menebar kasih sayang dan kebaikan adalah perbuatan yang mulia?"
Nyonya Huang tersenyum puas mendengar ujaran yang terlontar dari mulutku. Ia meraih bahuku dan mengusapnya lembut, sebelum akhirnya ia berkata iya.
Setelah satu malam tambahan yang kami lalui karena kondisiku yang tiba-tiba turun drastis, akhirnya aku—bersama rombongan Nyonya Huang—berangkat menuju Chengdu. Nyonya Huang sebenarnya ingin kami bermalam satu malam lagi, tetapi aku tidak mau menahan mereka lebih lama lagi. Meski Nyonya Huang tidak merasa direpotkan, tetapi tetap saja aku merasa tak enak.
Sementara hari terus bergulir dari terik ke petang dan sebaliknya, aku mulai terperangkap ke dalam suasana perjalanan dengan ritme yang agak lambat ini. Hampir dua hari dalam perjalanan membuat energiku semakin cepat terkuras walaupun aku hanya duduk menumpang di dalam kereta kuda Nyonya Huang, tidak seperti Hua Fei dan lelaki berwajah sangar yang menunggangi kuda mereka.
Aku jadi ingat masa-masa saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Sebelum libur akhir semester, prodiku mengadakan perjalanan wisata ke Bali dengan menggunakan jalur darat. Butuh waktu dua hari dua malam untuk bisa sampai di Bali. Sungguh, meski cukup menyenangkan, tetapi tubuh terasa remuk dan tenaga terkuras begitu saja. Itu menggunakan bus, bukan kereta kuda seperti yang kutumpangi saat ini.
"Kau pasti lelah," ujar Hua Fei yang melongok dari jendela kereta kuda, mengagetkanku yang terkulai di bangku penumpang.
"Sepertinya kau tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh," sambung Nyonya Huang yang duduk di seberangku. Ia bahkan menghentikan kegiatan menyulamnya untuk sementara.
Aku sedikit panik saat Nyonya Huang menatapku cemas. Mungkin di matanya kini aku terlihat seperti seseorang yang telah melakukan olahraga berat. Karenanya, aku bergegas mengibaskan tanganku ke udara seraya mengumbar senyum yang sedikit kupaksakan. "Ti-tidak, Nyonya. Saya tidak apa-apa. Sungguh. Perjalanannya memang cukup panjang, tetapi saya tidak apa-apa."
"Baiklah kalau begitu. Kalau kau butuh apa-apa, bilang saja."
"Baik, Nyonya."
"Kau ingin aku mencarikan buah segar atau mengambil air, Nona?" Lelaki berwajah sangar yang ternyata pengawal Nyonya Huang itu tiba-tiba muncul di sisi lain kereta kuda. Xinqian yang duduk dekat jendela di sisi itu terperanjat kaget.
"Tidak usah, terima kasih," jawabku pada lelaki berkumis dan berjanggut tipis yang baik itu.
"Sebentar lagi kita sampai. Tenang saja," gumam Xinqian.
"Iya."
Xinqian tidak berbohong. Setelah beberapa saat kereta kuda melaju, kusir kuda memberi isyarat bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan kami, Chengdu.
Setelah menyeberangi gerbang kota dan sebuah sungai kecil melalui jembatan batu yang menghubungkan sisi luar kota dengan pusat keramaian, kereta kuda melaju melintasi jalanan ramai dengan bangunan serta kios-kios beratap jurai khas arsitektur Tiongkok dan berwarna senada yang berderet di sepanjang jalan. Terik matahari yang menyengat tidak membuat orang-orang yang memadati jalanan menyerah untuk beraktivitas. Sebaliknya, seperti matahari yang bersinar terang, semangat orang-orang yang semuanya berpakaian tradisional itu semakin bergelora, meneriakan kata-kata yang saling beradu dalam riuh suasana jalanan yang panas. Beberapa orang tampak berteduh di bawah naungan ruang teduh dan pepohonan di sudut kota, mengusir penat sebelum mereka kembali memulai aktifitas.
Ternyata benar, aku sudah terlempar ke masa Cina kuno. Melihat pemandangan ini dari jendela kereta kuda, aku sudah tidak bisa menyangkalnya lagi. Ini sudah bukan waktunya bagi logika untuk bekerja, dan aku rasa ini saatnya aku berpasrah pada takdir yang menggiringku.
Kereta kuda berjalan menjauhi area perkotaan yang ramai dan memasuki sebuah kawasan hijau dengan pepohonan yang berderet rindang meneduhkan pandangan. Kusir kemudian menghentikan laju kereta kuda di depan sebuah pondok bernuansa sejuk.
"Kita sudah sampai," kata Nyonya Huang yang mulai membuka pintu kereta kuda. Kami pun turun dan berjalan memasuki pekarangan kediaman Nyonya Huang.
Saat mengetahui bahwa Nyonya Huang adalah istri dari seseorang yang memiliki pengaruh di kota ini, yang muncul dalam bayanganku adalah kehidupan yang mewah dan bergelimang harta. Namun, semua pemikiran itu ditepis begitu saja tatkala aku mulai melangkah masuk ke lingkungan kediaman Nyonya Huang.
Jika dibandingkan dengan bangunan serta rumah mewah di daerah perkotaan, kediaman Nyonya Huang ini terlihat begitu sederhana. Sebelum melewati gerbang kecil beratap jurai dengan pagar dari dahan pohon, kami harus menaiki tujuh anak tangga batu yang akan membawa kami ke dalam kediaman Nyonya Huang. Ada tiga bangunan memanjang berukuran sedang yang berdiri membentuk angkare—atau bentuk U—dengan bangunan utama yang berdiri di sisi tengah menghadap gerbang masuk, serta halaman kosong yang terhampar di tengah area itu. Dinding bangunannya pun terbuat dari kayu dengan ketebalan yang cukup tipis.
Aku kira penampilan Nyonya Huang yang sederhana hanyalah sebatas penampilan sementaranya di tengah perjalanan. Rupanya wanita anggun itu memang orang yang bersahaja.
"Nyonya, kami mohon pamit untuk pulang ke rumah dan melapor pada Tuan," ucap pengawal Nyonya Huang seraya menunduk hormat.
Nyonya Huang tesenyum. "Terima kasih, Cheng Yu."
Pengawal bernama Cheng Yu dan kusir kereta kuda itu pun pergi.
Nyonya Huang kini memberikan atensinya padaku. "Sebelumnya aku minta maaf karena kediamanku mungkin tidak sebagus dan sebesar yang kau kira, tetapi aku sangat berharap kau merasa nyaman tinggal di sini."
"Tidak, Nyonya. Kediaman anda sangat asri dan nyaman. Saya sangat berterima kasih karena Nyonya menerima saya di sini." Aku tidak berbohong saat mengatakan rumah ini begitu nyaman. Dengan semilir angin yang berdesir lembut menggugah dedaunan hijau yang memanjakan mata, serta tanpa kebisingan yang mengusik pendengaran, aku yakin aku akan merasa sangat betah tinggal di sini, tak peduli seberapa besar bangunan yang menaungiku.
"Kalau begitu, beristirahatlah. Kau pasti sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, Xinqian akan mengantarmu ke kamar," pungkas Nyonya Huang.
Aku menghela napas panjang dan tersenyum tipis. Padahal ia juga sudah menempuh perjalanan yang sama denganku, bahkan mungkin lebih jauh dan melelahkan jika disatukan dengan jarak perjalanannya sebelum bertemu denganku.
******
Langit sudah mulai gelap, dan semilir angin yang berhembus manis beberapa saat yang lalu kini terasa sedikit menusuk. Bunyi jangkrik di halaman belakang rumah terasa begitu menenangkan, tapi entah kenapa bisikan-bisikan alam di sekitarnya membuatku merasa semakin gelisah.
Dalam keheningan malam, aku duduk di beranda belakang dengan perasaan gundah. Pikiranku berkabut, membuatku tak bisa berpikir jernih. Meski aku sudah memutuskan untuk tinggal sembari mencari informasi, tetap saja aku merasa cemas dan gelisah. Saat sendiri seperti ini, pikiranku menjadi semakin tak keruan.
Kini aku berada di sini, di masa dimana daratan Tiongkok terpecah menjadi tiga kerajaan. Mungkin sekarang aku selamat dan tinggal di rumah seorang bijaksana nan baik hati yang telah menolongku. Tetapi apa yang terjadi di masaku saat aku menghilang dalam pendakian? Apakah aku akan masuk ke Daftar Orang Hilang dan membuat keluarga serta temanku merasa sangat cemas, atau keberadaanku di dunia dan ingatan semua orang di masa itu lenyap? Apakah waktu di masa itu akan terhenti begitu saja, atau semua orang akan melanjutkan hidupnya dalam waktu yang berjalan seperti biasanya?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain membebani diriku dengan pikiran-pikiran seperti itu. Seperti biasanya.
Sejak dulu aku memang selalu berpikir secara berlebihan, bahkan masalah kecil seperti terlambat mengumpulkan tugas atau berbicara dengan nada tinggi tanpa sengaja pun selalu membuatku stress karena terus memikirkannya beserta kemungkinan-kemungkinan—buruk—yang terjadi atas tindakanku itu. Parahnya lagi, kadang-kadang semua pikiran buruk itu berubah menjadi ketidakberuntungan yang menjadi kenyataan, seperti seleksi beasiswa fakultas itu. Karenanya, aku selalu bersikap pesimistis hingga mengalami masa-masa sulit, terutama saat aku duduk di bangku sekolah.
"Belum tidur?" Suara seorang gadis membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh ke belakang. Xinqian sudah berdiri di belakangku dengan sudut bibir yang mengembang, membawa sesuatu di tangannya.
"Aku sudah membereskan barang-barangmu," ujarnya seraya duduk di sampingku. Ia menaruh bawaannya di ruang kecil kosong di antara kami.
"Duh, padahal kamu tidak perlu repot-repot begini."
"Tidak apa-apa."
"Kalau begitu, terima kasih. Maaf sudah merepotkan."
Xinqian menoleh padaku dan menunjukkan senyumannya lagi. "Sama-sama. Kau tak perlu sungkan."
Aku membalas senyumannya yang manis itu, dan kembali mengalihkan pandangan pada kolam jernih yang beriak di hadapanku.
"Aku penasaran," gumam Xinqian tiba-tiba, "kau ini sebenarnya siapa dan dari mana."
Aku mengangkat alis. "Kau mencurigaiku?"
"Tidak!" tampik Xinqian yang mengibaskan tangannya di udara. Pandangannya masih lurus menatap kolam. "Hanya saja, penampilanmu saat kita pertama kali bertemu itu… cukup aneh. Selain itu, jarang sekali aku melihat perempuan berambut pendek sepertimu. Kau tahu? Rambut adalah simbol harga diri bagi seseorang. Ah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya. Tidak akan ada yang berani memotong rambutnya menjadi pendek sepertimu. Kau bilang kau dari Tenggara, 'kan?"
"Ya." Aku mengangguk perlahan. "Bagaimana aku mengatakannya, ya? Sebenarnya… aku bukan berasal dari sini. Bukan dari Xu, ataupun dari wilayah manapun di Negara ini. Apa kau akan percaya jika aku mengatakan aku berasal dari negeri yang jauh?"
Xinqian mengusap dagu. "Aku percaya saja. Lagi pula, penampilanmu pun sungguh tidak biasa. Tapi, dari mana?" Xinqian memalingkan wajahnya yang sedikit merengut ke arahku.
"Entahlah, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya."
"Ya sudah, kau tidak perlu mengatakannya. Lagi pula, ingatanmu belum sepenuhnya pulih, 'kan? Santai saja!"
Senyuman Xinqian yang begitu cerah di tengah suasana malam yang gelap ini membuatku tergugah. Matanya yang kian menyipit hingga hampir terpejam saat ia tersenyum meyakinkanku bahwa gadis ini adalah gadis yang sangat baik dan tulus, meski mungkin kesan awalku saat pertama kali kami bertemu sedikit tidak baik.
Santai saja. Mungkin itu yang kubutuhkan.
"Oh, iya. Besok aku dan Hua Fei akan pergi ke pasar untuk berbelanja dan melakukan beberapa pekerjaan di kota. Besok Tuan juga akan pulang. Ah, Tuan itu maksudnya suami Nyonya Huang. Kau mau ikut?"
"Wah, boleh."
"Baiklah. Kalau begitu malam ini kau harus tidur dengan nyenyak."
Sebelum Xinqian beranjak, aku segera menahannya. " Ah, Xinqian, tunggu!"
"Iya?"
"Sebelum pergi tidur, bisakah kau mengajariku beberapa hal dasar dan umum di sini? Um, maksudku... seperti etika dan tata krama, informasi umum, peraturan dan hukum di sini, dan sebagainya?"
Xinqian terlihat gamang, tetapi kemudian ia tersenyum. " Aku tidak begitu pandai, tapi aku akan mengajari dan memberitahumu semua yang kutahu. Aku juga akan mengajak Hua Fei untuk mengajarimu."
"Terima kasih."
Satu malam lain di masa yang asing ini akan terlewati begitu saja oleh diriku yang masih limbung, sebelum esok aku akan memulai kehidupanku yang baru di tempat ini dengan lebih santai.