Chereads / Song From The Unknown / Chapter 5 - Dunia Baru yang Tua

Chapter 5 - Dunia Baru yang Tua

Sesuai janji Xinqian, pagi ini kami akan pergi berbelanja.

Aku nyaris berkata 'seperti kembali ke masa lampau' saat berjalan menembus pasar, sebelum aku mengingat kembali bahwa aku memang sedang berada di masa lampau sekitar 1800 tahun yang lalu di negeri Tiongkok. Mungkin akan lebih tepat jika aku berkata bahwa Kota Chengdu di masa lampau seperti di dunia lain saja.

Saat aku pertama kali tiba di sini, aku sudah sedikit melihat suasana Chengdu beserta hiruk-pikuknya. Namun, kali ini aku bisa melihat ibu kota Provinsi Yi ini dengan lebih jelas dan detail.

Xinqian, Hua Fei, dan aku berjalan menyusuri satu blok penuh kios makanan dan toko kerajinan tanah liat, kemudian berbelok di sudut jalanan hingga kami memasuki sebuah area yang cukup luas dan panjang.

Aku menatap sekeliling. Terdapat barisan demi barisan bangunan kelabu dengan lampion merah di setiap gedung. Semua tampak seragam dan melebur satu sama lain dalam nuansa klasik yang, meski tak begitu berwarna, tetapi tampak begitu hidup.

Inikah negeri Tiongkok di zaman dulu?

"Nona, ke sebelah sini!" seru Hua Fei dengan nada riang.

Aku mempercepat langkahku dan menyusul mereka yang sudah berada beberapa meter di hadapanku.

Kami melangkah menyeberangi jalan dan melintasi beberapa kios yang ramai dipadati para pengunjung. Semuanya memakai hanfu dengan jenis dan warna yang berbeda-beda. Perutku sedikit tergelitik saat membayangkan ini seperti di event-event atau festival jejepangan, dan orang-orang di sekitarku—termasuk diriku—sedang bercosplay ria. Namun, perasaan itu menghilang seketika saat aku kembali dibangunkanoleh kenyataan bahwa kini aku memang berada di masa lalu.

"Hei, kita beli sayuran dulu di sana," ujar Xinqian.

Aku pun mengikutinya ke salah satu kios dengan satu meja penuh dengan sayuran segar, sementara Hua Fei berbelok memisahkan diri dari kami. Katanya ia akan pergi ke toko tembikar.

"Hua Fei mau membeli tembikar?" tanyaku penasaran.

"Iya. Tuan memintanya membeli sebuah kendi baru dan beberapa wadah," jawab Xinqian yang memilah sayuran.

Ah, iya. Hari ini suami Nyonya Huang akan pulang. Entah kenapa aku merasa sangat gugup saat mendengar tuan rumah yang kini kutinggali akan kembali. Meski Nyonya Huang sudah memberiku izin untuk tinggal di tempatnya, aku masih sangsi apakah suaminya akan memiliki pendapat yang sama dengan istrinya itu.

"Xinqian," gumamku pada Xinqian yang kini sedang memilih tomat. Aku pun turut memilih sayuran yang hendak kami beli. "Tuan… maksudku, suami Nyonya Huang itu orangnya seperti apa?"

Xinqian yang melirik padaku terkikik kecil. "Kau pasti gugup, ya? Terlihat jelas di wajahmu, tuh."

Aku terhenyak kaget. "Eh? Masa?"

"Haha. Iya." Xinqian kembali fokus pada sayuran-sayurannya. "Tenang saja. Tuan orangnya sangat baik dan bijaksana, sama seperti Nyonya Huang, meski mungkin dia agak aneh. Tapi kau tidak usah cemas."

"Tahu, gak? Kamu baru saja menakutiku saat kamu bilang Tuan itu orangnya aneh."

Xinqian tertawa. "Maksudku bukan begitu. Orang yang baru mengenal dan bertemu dengannya biasanya akan menganggap dirinya aneh. Tapi sebenarnya dia sangat hebat."

Aku mengenal beberapa orang hebat yang aneh, baik itu dari cerita fiksi maupun di lingkungan sekitarku. Aku jadi ingat wali kelasku dulu saat aku kelas sembilan. Para murid yang sebelumnya menganggap beliau aneh menjadi waspada pada beliau karena ternyata beliau memiliki 'indera keenam' dan selalu tahu apa yang dilakukan dan disembunyikan murid-muridnya. Walaupun begitu, beliau adalah sosok guru yang baik yang selalu menyayangi dan mengayomi murid-muridnya. Aku yang biasa selalu menyembunyikan permasalahanku pun menjadikannya tempat untuk curhat—karena di hadapan beliau aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan apapun.

Kini aku jadi semakin penasaran dengan sosok suami Nyonya Huang ini.

"Aku akan pergi ke toko rempah dulu. Kau tunggu saja di sini, ya? Aku takut saat Hua Fei datang nanti dia kebingungan karena kita tidak ada di sini," ucap Xinqian.

"Ah, baiklah."

Xinqian pergi menyeberangi jalan dan menghilang di tengah kerumunan orang-orang.

Kerumunan orang yang memadati area pasar semakin meluas seiring dengan pergerakan matahari yang terus naik. Aku bergeser ke pinggir kios sayuran untuk berteduh, meski aku sama sekali tak mendapat naungan. Aku mendongakkan kepala ke atas langit, berusaha menerka jam berapa sekarang, berhubung masa ini belum mempunyai teknologi canggih seperti jam atau pengingat waktu. Namun rupanya usahaku sia-sia. Aku sama sekali tak tahu jam berapa sekarang, selain fakta bahwa sekarang sepertinya masih belum mencapai tengah hari.

Kemudian aku ingat bahwa aku masih memiliki ponsel di saku jaketku, jika saja Xinqian tidak menemukannya, atau bahkan menemukannya dan menyimpannya. Atau jika ponselku tidak terjatuh saat aku tercebur ke dasar sungai. Tidak apa-apa jika aku tak bisa menggunakannya lagi untuk berkomunikasi. Setidaknya aku masih bisa menggunakannya untuk melihat waktu atau mengambil beberapa gambar. Itu pun jika bisa.

Ngomong-ngomong soal waktu, aku tidak tahu kenapa Xinqian belum juga kembali, pun Hua Fei yang pergi ke toko tembikar lebih awal. Kakiku sudah mulai pegal dan kesemutan. Aku mencoba untuk berjongkok, tapi itu membuat orang-orang yang berlalu lalang tidak bisa melihatku dan menubrukku sebelum akhirnya mereka memarahiku karena membuat mereka kagok. Selain itu, sayuran yang berada dalam dekapanku ini bisa cepat layu jika kami tidak segera pulang.

"Dasar penipu! Kemari kau!"

Riuh suara keributan tiba-tiba saja terdengar tak jauh dari tempatku berdiri. Semua orang—termasuk diriku—segera mengalihkan pandangan mereka ke sebuah kerumunan kecil di sebelah Timur, hanya terselang dua kios dari kios sayur.

Astaga, ada apa ini?

"Jangan seret dia!" Terdengar suara seorang wanita yang tersedu, memohon kepada seseorang dengan nada yang mengalun pilu.

"Jadi kau lebih memilih pencuri ini daripada ayahmu sendiri?!" tukas seorang pria dengan suara garangnya yang menggelegar.

"Bukan begi-"

Di sela suara pertengkaran yang menyita banyak perhatian itu, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan parau yang begitu memekakkan telinga.

"A-ada apa dengannya?" Kini suara pria itu terdengar panik.

"D-dia… dia kerasukan?!"

"Tunggu! Apa? Tidak mungkin!"

Suara teriakan yang terdengar menyakitkan itu kembali bergema, seperti seseorang yang sedang disiksa di neraka. Tidak. Mungkin lebih tepatnya seperti suara iblis yang tersiksa di dalam sebuah ruang penderitaan dan mencoba untuk keluar.

Lingkaran para pejalan kaki yang mengerumuni sumber keributan itu kini semakin melebar. Aku bergegas pergi dari sana untuk menghindari kerumunan dan mencari Xinqian atau Hua Fei. Namun, belum sempat meloloskan diri, aku sudah terkepung dan terjepit di antara kerumunan itu.

"Apakah di sini ada dukun? Ada orang kerasukan di sini!"

"Bodoh! Jelas-jelas ini hanyalah tipuan agar dia bisa bebas dari amarahku!"

Mendengar itu aku semakin mengerutkan dahi. Apakah mereka sedang bercanda? Ada orang kesurupan di tengah keramaian pasar seperti ini? aku memang pernah mendengar riwayat bahwa pasar adalah salah satu tempat yang dipenuhi oleh setan—bukan hantu. Namun, tidak mungkin 'kan hal seperti ini terjadi?

Tetapi aku penasaran. Apakah benar lelaki yang memekik begitu pilu itu tengah kerasukan? Aku mencoba menerobos maju ke arah pusat kerumunan, tetapi aku malah berakhir terjepit oleh orang-orang yang mulai mundur karena sesuatu telah terjadi di pusat kerumunan itu.

Meski begitu, aku bisa melihat sedikit keadaan di sana.

Lelaki malang itu masih terus menggeliat di atas permukaan tanah, sementara seorang wanita menangis tersedu-sedu di dekat lelaki yang diduga sedang kerasukan itu. Sementara itu, di sisi lain, seorang lelaki beralis tajam dengan tongkat di tangannya melihat kekacauan itu dengan raut panik sekaligus geram.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pada seorang lelaki yang berdiri di hadapanku.

"Sepertinya lelaki itu mencuri sesuatu di toko bapak-bapak galak itu, tapi langsung ketahuan. Bapak itu langsung menyeretnya dan hendak menghukumnya, tetapi tiba-tiba saja lelaki itu kerasukan seperti itu."

Aku mengalihkan pandanganku pada wanita yang tergeletak sambil terus menangis di tengah kerumunan sana. "Lalu wanita itu siapa?"

"Dia istrinya, juga putri dari bapak itu."

"Kalau begitu… lelaki itu menantunya?" tanyaku dengan dahi yang mengernyit.

"Yah, begitulah. Tetapi sepertinya hubungan mereka tidak baik."

Kini aku merasa semakin bingung. Aku memang sering mendengar pertentangan antara mertua dan menantu seperti ini, meski mungkin aku belum pernah melihatnya secara langsung—aku hanya melihatnya di sinetron-sinetron di televisi. Tapi, bukankah ini terlalu aneh? Dan konyol? Seseorang harus menghentikan ini.

Ah, tidak. Ini bukan urusanku. Lagi pula, untuk apa ikut campur urusan orang-orang di masa lalu? Terlebih keadaan di sini dan di negara dan masaku mungkin saja berbeda. Aku tidak bisa melakukan itu.

Aku hendak berbalik menjauhi kerumunan untuk mencari Xinqian dan Hua Fei, tetapi langsung terhenti saat wanita itu menjerit pedih.

Rasa penasaranku membuatku kembali memberikan perhatianku pada ketiga orang itu. Sang ayah mertua terlihat akan menendang menantunya, tetapi kakinya dicengkeram begitu saja oleh sang menantu yang masih kejang-kejang hebat, sementara sang wanita itu masih terus menjerit histeris.

"Lepaskan aku, sialan!" hardik lelaki garang berjanggut tebal itu seraya menendang lelaki yang menjadi menantunya. Tetapi, sang menantu tak mau melepaskan cengkeramannya.

"Ayah, kumohon hentikan!" seru wanita itu parau. "Seseorang, tolong bantu kami!"

"Diam kau! Dukun! Apakah ada seorang dukun di sini? Lelaki gila ini sepertinya memang sudah kerasukan!"

Tidak ada reaksi lain dari orang-orang yang berkerumun ini selain berbisik dan menatap nanar ketiga orang itu. Bahkan tidak ada orang yang berusaha mencari bantuan jika mereka memang tak bisa membantu mereka.

Tanganku terasa gemetar, pun kakiku yang mulai kehilangan rasa pegal yang sebelumnya mendera. Aku tidak tega melihat orang-orang seperti itu hanya dikerumuni tanpa ada yang membantu, terutama sang wanita beserta suaminya. Bahkan tidak ada yang mencoba menahan atau meredam amarah lelaki yang katanya ayah sang wanita—meski mungkin aku pun akan berpikir dua kali untuk mencoba menenangkan lelaki itu.

Kini aku melirik lelaki yang diduga kerasukan itu. Lelaki itu terlihat kejang-kejang hebat. Seluruh tubuhnya dipenuhi peluh dan debu tanah yang menempel akibat gerakannya di atas tanah. Di matanya hanya tersisa warna putih sklera. Selain itu, air liur yang membanjiri mulutnya tampak menetes ke permukaan tanah.

Setelah beberapa saat melihat lelaki itu, aku pun mulai menyadari sesuatu.