Ada yang menyanyi.
Di ambang kesadaran, aku mendengar sayup-sayup suara seorang gadis yang sedang bersenandung dengan begitu lembut. Meski tak begitu jelas, aku bisa menangkap beberapa penggal lirik dalam bahasa yang terdengar asing, tetapi anehnya bisa kupahami dengan baik.
Mentari yang terbenam membawa para tentara pulang, menuju hari esok sambil memendam harapan. Begitulah kira-kira bunyinya.
Lalu, tiba-tiba nyanyian terhenti, terganti oleh pekikan yang memekakkan telinga.
Aku yang terhenyak spontan membuka mata, dan mendapati diriku tengah terbaring di tepi perairan dengan kondisi setengah tubuh masih tercelup ke dalam air. Seluruh tubuhku basah kuyup—tentu saja. Untuk sejenak aku menatap lembayung di atas langit senja yang begitu jernih. Aku merasakan kedamaian, terlebih saat angin bertiup ringan, walaupun itu membuatku kedinginan.
Tetapi kemudian aku teringat sesuatu.
Sebuah sengatan kejut memaksaku untuk segera bangun, membuat nyeri di kepalaku semakin berdenyut kencang. Kepalaku masih terasa berat, tetapi aku berusaha untuk duduk tegap.
Apakah ini mimpi?
Seingatku, beberapa waktu yang lalu aku terperosok ke dalam jurang saat mendaki bukit, tenggelam di sungai dasar jurang, kemudian semuanya menjadi gelap dan hampa. Aku kira aku sudah mati, tetapi rasa nyeri yang menjalar di tubuhku, aku rasa, sudah cukup membuktikan bahwa ini bukan mimpi dan aku masih hidup.
Tetapi dimana ini?
Aku mengerjapkan mata, menyipitkannya dalam cahaya suam yang berpendar di udara, lalu membulatkan pandangan dan mengedarkannya. Aku mulai merasa gamam saat menyadari diriku tengah berada di pinggir sungai berukuran besar—kira-kira lebarnya sekitar tiga kilometer—dengan tepian berpasir yang terhalang rumput dan bebatuan. Selain itu, padang hijau yang bergradasi dengan warna langit di belakangku, serta tebing batu yang berdiri kokoh membentengi seberang sungai membuatku bingung.
Ini bukan di bukit dekat tempat tinggalku. Aku bahkan tak bisa membayangkan ada dimana diriku sekarang. Meski sama-sama di alam terbuka, tetapi semuanya tampak berbeda. Tidak mungkin aku hanyut terlalu jauh. Lagi pula, mana ada sungai sebesar ini di daerah Bandung, Garut, Jawa Barat, dan sekitarnya?!
Panik mulai menyerang. Segera saja aku merasa dungu. Bagaimana jika aku terlempar ke suatu tempat? Afrika misalnya. Atau Amerika Selatan? Atau mungkin, seperti dalam utas Twitter tentang kisah pendakian dan ekspedisi alam, aku disembunyikan oleh penunggu gunung? Bodoh sekali! Aku berusaha menyingkirkannya dengan logika, tetapi saat ini akal sehatku tidak bisa bekerja dengan baik.
Aku bergegas bangkit untuk pergi, tetapi tubuhku masih terasa limbung dan berat. Selain itu, udara yang semakin menipis memaksaku untuk kembali duduk dan meringkuk menjaga kehangatan.
Bagaimana ini? Aku tidak tahu aku berada di mana dan tak tahu kemana aku harus pergi. Aku benar-benar panik.
"Kemari! Aku melihatnya di sini!"
Akhirnya telingaku menangkap suara seorang manusia. Suaranya terdengar sedikit melengking tak sedap, tetapi aku bisa mengingat dan mengenalinya dengan baik, walaupun saat itu aku hanya mendengarnya sekilas. Itu adalah suara yang bersenandung itu, yang tiba-tiba berubah menjadi jeritan beberapa saat yang lalu.
"Jangan bercanda! Mungkin kau salah lihat." Terdengar suara seorang laki-laki menimpali ucapan sang gadis.
"Aku sungguh melihat mayat di sana!" seru sang gadis.
Terang saja diriku kini dipenuhi oleh lonjakan kegembiraan. Tanpa memedulikan rasa sakit dan koordinasi tubuh yang tidak baik, aku segera berdiri dan berbalik untuk menyambut dia yang mungkin saja bisa menolongku.
Namun, lonjakan kegembiraan itu surut seketika saat aku menemui dua orang yang kini berdiri berhadapan denganku itu. Bukan karena tak senang. Aku merasa semakin ternanap.
Bagaimana tidak? Dua orang dihadapanku itu sama-sama memiliki wajah oriental yang begitu kentara dan mengenakan hanfu—pakaian tradisional cina—berwarna putih berpalet hijau dengan model sederhana. Sang gadis dengan wajah seperti anak marmot memiliki gaya rambut yang terurai, sedangkan rambut sang lelaki terlihat dicepol ala pelayan di zaman dinasti.
Apa-apaan mereka ini? Apakah mereka sedang cosplay? Di tempat seperti ini?
Eh, tunggu dulu! Barusan mereka berbicara bahasa Cina, 'kan? Ya, tak salah lagi! Jika diingat kembali, nyanyian yang kudengar beberapa saat yang lalu pun berbahasa Cina. Pantas saja terdengar agak asing di telingaku. Tapi kenapa aku bisa mengerti ucapan mereka?
Di samping itu, sepertinya mereka berdua pun merasakan apa yang kurasakan, terlihat dari ekspresi sang gadis dengan mata membulatnya yang seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya, pun sang lelaki dengan wajah manisnya yang nampak tercengang. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka terkejut, apakah itu karena aku—yang ia anggap sebagai sesosok mayat di tepi sungai—telah bangkit dari kematian, atau karena pakaian dan penampilanku yang terlihat berbeda dari mereka. Jika aku penduduk zaman dulu, aku pun akan merasa aneh jika melihat seorang gadis berambut pendek berpenampilan kasual dengan celana jins, kaus bergambar wajah Ice Bear dari We Bare Bears, jaket parka berwarna hijau army, dan sepatu sneakers.
Tapi, tidak mungkin aku benar-benar kembali ke masa lalu, 'kan?
"Mayatnya hidup!" pekik gadis itu seraya menunjuk ke arahku.
Aku ingin menyanggahnya, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Walaupun aku bisa mengerti apa yang mereka bicarakan, belum tentu aku bisa berbicara dalam bahasa yang sama.
"Dasar bodoh! Mana mungkin ada mayat yang bisa hidup kembali! Kenapa kau tidak memastikan dulu apakah dia masih hidup atau tidak?" sentak lelaki itu. Ia segera menghampiriku tanpa segan. "Nona, kau tidak apa-apa? Seluruh tubuhmu basah kuyup. Kau pasti kedinginan."
Suaranya yang halus dan terkesan ramah membuatku terbuai untuk beberapa saat. Aku mengangguk perlahan, masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Siapa nama Nona? Dan dari mana asal Nona?" tanya lelaki itu seraya mengajakku untuk kembali duduk di sebuah batu di darat, tak jauh dari tempat kami berdiri. Gadis itu pun mengikuti.
Aku kembali diserang panik. Lupakan soal memperkenalkan diri dan bagaimana konsekuensinya jika mereka tidak mengenali nama dan tempat asalku. Aku sama sekali tidak bisa berbicara dalam bahasa Cina dan segala dialek dan variannya, bahkan hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan mereka. Otakku bahkan masih terus berputar untuk menemukan alasan kenapa aku bisa mengerti apa yang mereka katakan.
"Kenapa dia tidak menjawab? Apa dia bisu?" celetuk sang gadis dengan dahi berkerut.
Lelaki berlesung pipit itu langsung melemparkan tatapan menukas pada gadis itu. "Dasar tidak sopan!"
"Ah, sudahlah. Gak apa-apa," ucapku.
Kedua orang itu menoleh padaku secara serempak, menampakkan kekagumannya seperti para bocah yang terkesima saat melihat dan mendengar bule berbicara bahasa Indonesia dengan fasih.
Lebih dari itu, aku terkejut pada diriku sendiri. Aku yakin aku berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi… kenapa yang keluar… adalah bahasa Cina?
Ini sangat tidak masuk akal. Semua ini sangat tidak masuk akal hingga rasanya aku ingin melepaskan tawa akibat dari kegilaan ini. Sepertinya aku terlalu banyak menonton anime dan film-film fantasi reinkarnasi, teleportasi, perjalanan waktu, atau apalah itu, hingga aku mengalami mimpi yang aneh ini.
Aku mencubit tangan kiriku seraya berharap aku tidak merasakan sakit. Namun, cubitan itu terasa begitu perih. Kemudian aku menampar pipiku berulang kali, berharap aku segera bangun dan tertawa karena mengalami mimpi yang begitu aneh. Tetapi aku masih berada di sini, duduk di antara dua orang Cina yang kini terlihat risi.
"Hei! Apa yang kau lakukan?" seru lelaki itu cemas. Ia langsung memegangi kedua tanganku dan menenangkanku.
Apakah kisah pengalaman orang-orang yang tiba-tiba memiliki kemampuan luar biasa setelah mengalami kecelakaan itu nyata? Mungkinkah saat ini aku juga mengalaminya?
"Um, nona?"
"Ah, maaf. Tahun berapa sekarang?" tanyaku gelisah.
"Ini tahun anjing ta-"
"Ah, maksudku dalam angka," selaku.
"Um... Kalau tidak salah... tahun Jian'an ke 23," jawab lelaki itu.
Aku memutar bola mataku. Ini sama sekali tidak membantu. Jika mereka ternyata memang cosplayer, aku sangat memuji akting dan pendalaman mereka. Tetapi sebagai makhluk sosial, mereka benar-benar payah.
Aku kembali bertanya dengan pertanyaan yang berbeda. "Baiklah, aku ubah pertanyaannya. Kita… ada dimana?"
Alis si gadis saling bertautan, mungkin mulai mencurigaiku. "Kenapa kau bertanya seperti itu? Memangnya kau berasal dari mana?"
"Ah, um, itu... Sudahlah, kumohon jawab saja dulu!"
"Kita sedang berada di sungai Yangtze yang melintasi wilayah Ba," jawab gadis itu. Ia kemudian menunjuk daratan yang membentang di hadapan kami. "Jauh ke sana adalah kota Chengdu."
Sungai Yangtze? Chengdu? Ternyata benar aku berada di Cina. Tapi bagaimana bisa aku terhanyut sampai ke Cina?
"Syukurlah wilayah Ba kini sudah jatuh ke tangan Tuan Liu Bei, dan sekarang kita bisa bepergian menyeberangi sungai Yangtze degan aman," lanjut sang gadis berbicara pada dirinya sendiri.
"Tetap saja kita harus berhati-hati. Kampanye Hanzhong baru saja selesai. Jika bukan karena menemani Nyonya bepergian, di masa-masa seperti ini, aku lebih baik tinggal dan bekerja dengan tenang di Chengdu," timpal lelaki itu dengan nada cemas yang terkesan dibuat-buat. "Tetapi jika bisa memilih, aku lebih senang tetap tinggal di Longzhong."
Kini aku merasa udara di sekitarku menguap seketika. Mendengar nama Liu Bei disebutkan sebagai penguasa wilayah ini, aku merasa seperti ada sesuatu yang menghujam jantungku dan melumpuhkan syarafku secara tiba-tiba. Liu Bei? Liu Bei yang 'itu', 'kan?! Ada berapa Liu Bei sih di dunia ini?
Kepalaku kembali terasa berputar, pun perutku bergejolak hebat begitu mendengar obrolan mereka yang lebih terdengar seperti sebuah dialog drama itu. Namun, melihat ekspresi kedua orang itu, aku justru berbalik meragukan diriku dan persepsiku sendiri.
Aku tidak percaya ini. Tidak mungkin aku terlempar ke zaman Tiga Kerajaan.