Kali pertama aku menyukai acara jebakan di TV adalah saat aku menonton acara Just For Laugh yang tayang di salah satu stasiun TV swasta. Saat itu aku menganggap acara semacam itu sangat lucu—Just For Laugh memang acara jebakan atau prank terbaik sepanjang masa, setidaknya menurutku. Setelah itu, ada beberapa stasiun TV membuat program semacam itu. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan hiburan, banyak Youtuber dan selebgram membuat konten prank serupa. Pada awalnya memang lucu, tetapi entah kenapa semakin lama rasanya semakin hambar dan tidak lucu sama sekali. Bahkan beberapa terkesan rendahan.
Jika ini adalah acara TV atau konten prank semacam itu, maka ini adalah acara prank yang paling buruk sepanjang sejarah. Namun, tentu saja itu lebih baik dibanding dengan terlempar ke masa lalu, ke masa Tiga Kerajaan.
"Ka-kalian… serius?" tanyaku masih tidak percaya. Tubuhku terasa lemas seketika.
Lelaki berambut cepol itu merengut. "Maaf, tapi kau terlihat tidak senang. Apa kau bukan orang sini? Kau bukan dari dataran ini, ya? Ah, wajahmu memang terlihat agak asing, sih."
"Ti-tidak! Bukan begi-" Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, aku mulai terbatuk dan menggigil. Udara memang semakin menipis selama kami duduk berbincang di sini, tetapi aku tak menyangka aku bisa tergoyahkan begitu saja oleh angin yang berembus kuyu.
Dan tanpa kusadari, warna jingga keemasan di atas langit pun kian memudar.
"Nona, kau tidak apa-apa?" Lelaki itu panik saat suara batukku terdengar semakin parau.
"Dasar bodoh! Tentu saja dia tidak baik-baik saja! Kau tidak lihat kondisinya?" omel gadis itu dengan suaranya yang cempreng. Ia segera meraih bahuku dan merebutku dari apingan ragu sang lelaki yang kini terlihat kikuk. "Dia bisa mati kedinginan. Sebaiknya kita bawa dia ke perkemahan."
"Ah, tentu saja!"
"Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir," tampikku.
Alis gadis itu menukik saat ia memutar paksa tubuhku untuk menghadap padanya. Pandangan kami kini saling beradu. "Dengar, ya! Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, siapa dirimu, dari mana asalmu, dan kenapa kau terlihat berpenampilan aneh seperti ini. Tapi satu hal yang kutahu, dan kau juga harus tahu, kau tidak terlihat baik-baik saja. Tidak hanya itu, kau terlihat sangat kebingungan. Kau pikir kami akan membiarkanmu begitu saja?"
"Dia benar," timpal lelaki itu dengan raut serius. "Nona, ikutlah bersama kami. Aku yakin kau membutuhkannya."
Lelaki berwajah manis itu benar. Tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang sudah terjadi. Rasa pahit yang sudah tercecap di lidah tidak akan bisa dihilangkan hanya dengan memuntahkan kembali makanannya. Saat ini, kuakui, aku membutuhkan pertolongan. Karena itu, harusnya aku bersyukur karena aku bisa ditemukan dan ditolong oleh kedua orang ini. selain itu, mungkin aku bisa menemukan sesuatu jika ikut bersama mereka.
Aku memegang tangan sang gadis yang masih bersarang di bahuku. "Baiklah. Tapi biarkan aku jalan sendiri."
******
Saat aku berkata bahwa aku baik-baik saja, aku memang mengatakan yang sebenarnya. Batuk dan tubuh yang menggigil tidak bisa diartikan sebagai pertanda bahwa aku butuh diaping, atau bahkan digendong. Jika kedua orang ini mengajakku ke tempat mereka berkemah, maka aku akan mengikutinya dengan kakiku sendiri. Namun, aku tak menyangkan perjalanan yang cukup singkat ini terasa melelahkan.
"Nona, kau yakin tak mau kugendong?" tanya sang lelaki yang kini berjalan beriringan denganku setengah menggoda. Beberapa saat yang lalu ia menawarkan hal yang sama, tetapi aku menolaknya karena aku merasa tak enak.
Dan untuk yang kedua kalinya, aku kembali menolaknya. "Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja."
Si gadis yang berjalan di hadapan kami mulai memperlambat lajunya dan menyamakan langkah, sehingga kini aku diapit oleh mereka berdua. Berbeda dengan beberapa saat yang lalu, ia kini tampak sangat riang. "Tak usah sungkan. Meski terlihat lemah, Hua Fei cukup kuat, lho! Dia bisa mengangkat dua karung gandum sekaligus."
"Iya, tapi para tentara bisa mengangkat tiga sampai lima karung sekaligus," timpal lelaki bernama Hua Fei itu dengan mulut mengerucut, sebelum akhirnya mereka berdua terkikik kecil.
"Oh, iya. Kami belum memperkenalkan diri. Namaku Xinqian, dan lelaki ini Hua Fei. Kami bekerja pada tuan yang sama," ujar gadis yang memperkenalkan diri sebagai Xinqian itu seraya menunjuk Hua Fei yang berjalan di sisi lain.
Aku menoleh pada Hua Fei dan mendapati dirinya tersenyum begitu manis. "Salam kenal."
"Lalu, siapa namamu?" tanya Xinqian, mengulangi pertanyaan Hua Fei beberapa saat yang lalu.
Langkahku hampir terhenti hanya karena kembali memikirkan hal itu. Aku menerawang ke angkasa, mencari nama yang bagus untuk kuperkenalkan sebagai diriku. Mereka sudah sedikit curiga karena penampilanku. Aku tidak mau mereka semakin mencurigaiku karena memiliki nama yang berbeda—dan terdengar asing bagi mereka. Di tempat asalku saja namaku sudah tedengar cukup aneh dan tak biasa, apalagi di sini—jika benar ini adalah masa 1800 tahunan yang lalu di Negara Cina. Namun, aku sama sekali tak punya ide.
"Nona?"
"Ah." Aku mengerjapkan mata. "Sebenarnya… aku… tak ingat siapa namaku."
Tanpa kuduga, justru kedua orang itu lah yang menghentikan langkah mereka. Keduanya kemudian terpatung seperti kehilangan nyawa untuk beberapa saat. Dengan mata sipit mereka yang terbuka lebar, keduanya berusaha mengungkapkan bahwa mereka terkejut.
"Ternyata kau memang sedang linglung," gumam Xinqian.
Aku yang tak bisa menimpali ucapannya hanya bisa tersenyum pahit.
"Nona, kau benar-benar tak ingat namamu?" Kontras dengan reaksinya sebelumnya, mata Hua Fei kini terlihat berbinar memandangiku, meski mulutnya yang membulat sempurna masih menunjukkan bahwa perasaannya sama sekali belum memudar.
"Aku… akan mencoba mengingatnya." Aku akan mencoba memikirkan lagi nama yang bagus untuk samaranku.
"Ya sudah, sambil menunggu ingatanmu pulih, bagaimana kalau kau ikut dan tinggal bersama kami?" ujar Xinqian yang mengomandoi kami untuk kembali berjalan.
"Ya! Ikutlah bersama kami! Sebenarnya kami sedang dalam perjalanan kembali menuju Chengdu," sambung Hua Fei.
"Entahlah. Aku…."
Sebelum menyelesaikan kalimatku, tanpa kami sadari, kami sudah tiba di sebuah area perkemahan kecil di sebuah tanah lapang kering dengan rumput yang jarang. Di pusat area kemah, terlihat dua buah tenda berwarna kusam berdiri saling berhadapan di antara sebuah tungku yang masih mengepulkan asap sisa pembakaran. Struktur tenda serta alat penopangnya terlihat begitu sederhana. Kain yang digunakan untuk dijadikan dinding dan naungannya pun terlihat seperti kain yang tak dijahit lalu dibuat membentuk sebuah segitiga yang tidak begitu simetris dalam ukuran yang cukup besar.
Di sisi terdalam area perkemahan yang mengarah langsung ke jalan utama yang sedikit berkerikil, sebuah kereta kuda berornamen sederhana terparkir, beriringan dengan dua ekor kuda tunggangan lainnya yang sedang asyik memakan rumput di samping kereta kuda.
"Ah, lihat! Kita sudah sampai." gumam Xinqian. Ia kemudian menarik tanganku menuju area perkemahan itu.
Aku mengarahkan pandangan pada dua orang lelaki berwajah menyeramkan yang duduk di hadapan tungku. Mereka menatapku sinis dengan dahi yang mengernyit, memindaiku dari atas sampai bawah seperti kamera CCTV yang otomatis bergerak begitu menangkap pergerakan yang aneh.
Bahkan tanpa bersuara pun aku tahu mereka pasti sedang memikirkan sesuatu tentang diriku. Namun lebih baik aku bersikap biasa saja, cuek dan tak menghiraukan mereka.
Xinqian dan Hua Fei langsung membawaku menghadap tenda di sisi sebelah kiri yang ukurannya lebih kecil daripada tenda yang satunya.
"Tunggu sebentar," ucap Xinqian yang menghentikanku di ambang pintu masuk tenda, lalu masuk. Setelah cukup lama berada di dalam, Xinqian kembali keluar dan mempersilakanku untuk ikut masuk bersamanya, sementara Hua Fei bergabung dengan kedua lelaki yang kini mulai saling membisikkan sesuatu.
Di dalam tenda yang pengap itu, seorang wanita bertubuh ramping duduk sambil menyulam. Aku tak bisa melihat wajahnya yang sedang tertunduk dengan begitu jelas. Yang jelas, wanita itu memiliki kulit yang putih di balik hanfu berwarna hijau rumputnya yang segar, serta rambut panjang berwarna hitam pekat yang menggantung halus di bahu kanannya.
Wanita itu menghentikan aktivitasnya begitu aku duduk di hadapannya. Saat ia mengangkat kepala, aku pun melihat sosoknya yang memiliki wajah cantik dengan hidung yang cukup tajam. Manik matanya yang jernih kemudian menatapku dengan begitu lembut, sebelum akhirnya bibir merah muda yang lembut itu mengulas senyuman yang hangat.
Untuk sesaat, aku pun terpana pada sosoknya yang begitu anggun.
"Ini Nyonya Huang. Beliau ini adalah majikanku." Xinqian memperkenalkan wanita itu padaku.
"Aku sudah mendengarnya dari Xinqian. Kau terhanyut dan tersangkut di pinggiran sungai Yangtze?" ucap wanita bernama Huang itu dengan suara yang mengalun lembut. Meski begitu, sorot matanya memancarkan kekhawatiran.
Mataku mengerjap sebelum akhirnya membalas perkataan wanita itu dengan sedikit gugup. "Y-ya."
Nyonya Huang memalingkan pandangannya pada Xinqian yang masih berdiri di sampingnya. "Xinqian, tolong siapkan minuman hangat untuk nona ini.
"Baik, Nyonya." Xinqian menunduk hormat, lalu pergi meninggalkan tenda.
Nyonya Huang menyimpan alat menyulamnya, lalu menghampiri sebuah peti kecil di sudut ruangan dan merogoh isinya. "Sebaiknya kau lepas pakaianmu."
"A-apa?" ucapku terkejut.
"Bajumu basah, dan kau harus menggantinya."
"Ta-tapi… langsung melepasnya di sini…."
"Tidak perlu malu." Nyonya Huang tersenyum tipis. Ia kemudian menyerahkan satu setel hanfu berwarna biru langit padaku.
Melihat senyuman tulus dari wajahnya yang memancarkan kehangatan, aku tak bisa menepisnya lagi. Lagi pula, wanita ini memiliki maksud yang baik. Selain itu, tak ada salahnya jika aku segera menuruti permintaannya karena toh kami sesama perempuan. Jadi, tanpa berbasa-basi lagi, aku menerima hanfu yang ia ulurkan padaku, lalu mengganti pakaianku.
"Jadi, jika berkenan, bisakah kau memberitahu siapa namamu?" tanya Nyonya Huang.
Gerakanku terhenti begitu wanita itu mencapai akhir kalimatnya. Lagi, pertanyaan itu terlontar. Pertanyaan itu pasti akan selalu terlontar, tetapi aku belum bisa menemukan jawaban yang tepat—nama yang tepat. Aku sudah memikirkan beberapa nama perempuan Cina, tetapi aku ragu untuk mengatakannya. Bagaimana jika nama yang kuperkenalkan sebagai namaku itu memiliki arti yang buruk, aneh bagi mereka, atau bahkan tidak sesuai? Bagaimana jika ada yang memiliki nama yang sama dengan nama yang kulontarkan?
Lagi-lagi aku terlalu banyak berpikir. Ini adalah salah satu kebiasaanku yang membuatku sering dicap aneh. Entah ini kebiasaan baik atau buruk, tetapi terkadang ini sangat mengganggu.
Pada akhirnya aku mengungkapkan hal yang sama dengan apa yang kuungkapkan pada Xinqian dan Hua Fei. "Saya… tidak tahu. Saya tak ingat."
Wanita itu terhenyak. Wajah cantiknya merengut pilu, menampakkan simpati dan rasa cemas yang nyata. "Astaga, malang sekali nasibmu. Lalu, apa kau ingat dari mana asalmu?"
Apakah aku juga harus mengatakan bahwa aku tak mengingat tempat asalku? Itu akan jauh lebih aman. Tetapi di sisi lain, hal itu tidak akan bisa menghapus kecurigaan—jika wanita ini dan orang-orang di luar sana memang mencurigaiku. Tetapi di zaman ini, jika benar ini zaman Tiga Kerajaan, Indonesia maupun Nusantara masih belum ada. Lalu bagaimana aku harus menjawabnya? Aku tak bisa mengatakan namaku, maka setidaknya aku harus mengatakan dari mana asalku.
Lagi pula, aku tidak bisa begitu saja mengatakan aku datang dari masa depan. Mereka akan berpikir bahwa aku gila.
Tidak dengan mengarang nama tempat, aku pun kemudian terpikirkan sesuatu. "Saya memang tidak ingat nama saya, tetapi saya ingat bahwa saya berasal dari Tenggara."
"Tenggara? Oh ya ampun! Kau dari Jianning, Jiaozhi, atau Nanhai di Wu?"
Tunggu dulu! Wu? Maksudnya kerajaan Wu yang itu? Jadi benar ini zaman Tiga Kerajaan? Oh Tuhan, aku kesal pada diriku sendiri yang terlalu denial, tetapi aku masih tidak mau mempercayai bahwa aku terlempar ke masa ini.
Selain itu, bagaimana aku menjawab pertanyaan Nyonya Huang?
Nyonya Huang semakin mendekatiku saat aku kesulitan untuk mengikat tali hanfu. Ia meraih tanganku, mengajakku untuk berdiri, dan membantuku merapikan pakaianku.
"Kehilangan ingatan pasti menyakitkan, bukan? Maaf jika pertanyaanku terlalu memaksa. Aku tidak bermaksud apa-apa. Sungguh, aku hanya ingin membantumu. Tetapi, jika itu terlalu membebani pikiranmu, tidak apa-apa. Kau tidak perlu mengingatnya."
Setiap untaian kalimat yang terlontar dari lisan wanita berwajah lembut itu membuat hatiku merasa tenteram. Seperti air di sebuah danau yang jernih, tanpa ada riak di atas permukaannya, kata-katanya yang mengalun bagaikan puisi cinta yang sendu terdengar begitu tulus. Aku jadi merasa bersalah karena tak bisa mengatakan kejujuran, meski yang kusembunyikan mungkin tidak berarti sama sekali bagi dirinya.
Tetapi Nyonya Huang yang kini membawaku kembali duduk dan menyisir rambut pendekku yang masih basah menepis semua perasaan yang bergumul dalam benakku dengan suaranya yang begitu lembut. "Kau gadis yang manis. Ikutlah denganku ke Chengdu."
Aku bergegas membalik tubuhku dan berhadapan dengan Nyonya Huang yang kini tercekat karena pergerakanku yang tiba-tiba. "Nyonya, tapi-"
"Jika kau berpikir dirimu bisa membuatku repot, maka aku akan merasa sedih. Jika kau berpikir bahwa kau tak bisa dipercaya karena asal usulmu yang tak jelas, maka aku akan menghukummu di sini sekarang juga." Nyonya Huang kemudian meraih kedua bahuku. "Aku ingin kau ikut denganku bukan karena mengasihanimu. Tetapi, bukankah menebar kasih sayang itu adalah perbuatan yang mulia?
"Selain itu, aku ingat seseorang pernah berkata bahwa orang yang kau tolong di tengah jalan suatu saat akan menolongmu kembali. Bukan berarti aku ingin mendapatkan timbal balik seperti itu. Aku ingin menolongmu dengan harapan kau bisa melanjutkan kehidupanmu dengan baik. Itu akan membuatku merasa lebih senang daripada mendapat balas budi."
Mendengar perkataannya, aku mempertanyakan diriku sendiri yang berpikir untuk menolak kebaikan nyonya cantik ini. Mungkin karena kebiasaanku dan sifatku yang tidak enakan, aku hampir saja membuang kesempatan ini. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan sendirian di tempat dan zaman antah berantah ini?
"Terima kasih banyak, Nyonya. Kebaikan Nyonya akan selalu saya kenang."
Nyonya Huang menyambut diriku dengan seulas senyum yang mengembang sempurna. Tangannya yang begitu halus menjelajahi pipi kiriku dan menyela rambutku dengan jemarinya, sebelum menyampirkannya di belakang telinga.
Saat itu pula Xinqian masuk dengan membawa secangkir minuman hangat yang diminta Nyonya.
"Xinqian," ujar Nyonya Huang, "mulai sekarang gadis ini akan tinggal bersama kita."