"Cepat bangun!" pekik Candace, membuat Anya yang baru saja tertidur gelagapan dibuatnya.
"Kau tidur atau mati? Bangunlah Anya! Waktunya kita bekerja," teriak Candace.
Anya mengerutkan dahi, "bekerja?" tanyanya.
"Ya, be-ker-ja, kau pikir kau dikirim ke tempat ini untuk bermalas-malasan?" tanya Candace seraya berkacak pinggang.
Dia memaksa Anya bangkit dari sofa itu dengan kasar, kemudian memintanya untuk membersihkan diri.
"Cepatlah, kita harus bergegas, sebelum Margot menghukum kita," ujar Candace.
"Siapa Margot?" tanya Anya usai mencuci wajah sekenanya.
"Bergegaslah, apa kau bisa berdandan?" tanya Candace tanpa memedulikan pertanyaan Anya.
Anya menggeleng pelan.
"Apa?! Kau tidak bisa berdandan? Kau ini perempuan atau bukan?!" Candace sedikit berteriak.
"Apa kau ingin melihat organ intimku, agar kau yakin kalau aku ini perempuan?"
Candace bergidik, "tidak, terima kasih."
"Kalau begitu duduklah, aku akan mengubahmu. Kau pasti tidak bisa mengenali dirimu sendiri setelah tangan ajaibku memoles wajahmu," kata Candace sembari mengelus pipi Anya yang mulus dan bersih.
Candace mulai membersihkan wajah Anya, memoleskan concealer hingga memulas bibir merah muda milik Anya dengan warna yang lebih menonjol dan berani.
"Selesai!" ujar Candace sambil mengulurkan sebuah kaca kecil kepada Anya. Gadis itupun mulai melihat tampilan 'barunya'. Ia masih ingat betul, kapan terakhir kali ia menggunakan alat make up. Mungkin empat atau lima tahun lalu, saat Emily meminta dirinya menjadi Bridesmaids. Itupun hanya menyewa tukang make up murahan, dengan hasil ala kadarnya.
"Candace, a-pa yang kau lakukan?" lirih Anya terkejut.
"K—kau, kau tidak menyukainya?" Candace terbata.
"Ini luar biasa, kau punya bakat dalam bidang ini. Kenapa kau tidak berhenti saja dari pekerjaan ini, dan membuka salon kecantikan. Aku yakin kau pasti—"
"Stop! Jangan berkata omong kosong, sekarang, cepat ganti bajumu!" kata Candace meninggalkan Anya dengan wajah kesal, setelah sesaat sebelumnya ia melemparkan sebuah gaun berwarna biru tua untuk Anya.
Anya mengerutkan dahi, terheran dengan reaksi Candace yang sedikit berlebihan. Gadis itu kemudian memerhatikan gaun yang diberikan Candace.
"Terlalu terbuka, aku tak bisa memakainya!" protes Anya sambil meletakkan baju itu di sofa.
"Apa kau bilang?" Candace tak habis pikir dengan gadis keras kepala di hadapannya.
"Lihat kerah baju ini, ini terlalu rendah membuat orang bisa melihat dadaku, Candace," Anya memrotes dengan wajah tanpa dosa.
"Baju ini sengaja dibuat agar orang bisa melihat dada dan lekuk tubuhmu, jadi pakailah saja sekarang, jangan banyak protes. Kecuali jika kau ingin berakhir sebagai mayat tak dikenali di meja autopsi. Lalu dokter forensik akan dibuat kaget saat membedah tubuhmu, karena mereka tak menemukan organ dalam mu disana," kata Candace sembari menyeringai. Anya meringis mendengar ucapan Candace yang teramat mengerikan.
Dengan sangat terpaksa Anya pun memakainya. Gaun itu sungguh ketat, hingga membuat dirinya kesulitan bernafas.
"Kau cantik sekali, kau pasti dapat tamu istimewa malam ini," ujar Candace seraya tersenyum puas.
Mereka pun meninggalkan apartemen, dan berjalan kaki menuju jalan utama untuk mencari taksi.
"Taksi!" Candace melambaikan tangan dan taksi berwarna kuning itupun berhenti.
"Margot's house," kata Candace, lelaki bertopi itupun mengangguk.
Sepertinya tempat yang ia tuju cukup terkenal, sampai-sampai supir taksi itu tahu kemana tujuan mereka.
"Dengar, Margot adalah wanita yang kejam, jadi kau tidak boleh melawan atau membantah ucapannya. Mengerti?" Candace berbicara lirih sekali.
"Siapa dia?"
"Dia adalah pemilik tempat itu-"
"Tapi katamu kau yang akan menjadi pemiliknya—"
"Ahh, aku hanya becanda saja. Kau tak perlu menganggapnya serius," kata Candace tertawa kecut.
"Margot adalah istri simpanan tuan Daffon, dia adalah kepala dari pimpinan para mafia underground. Sebaiknya kau tak berurusan dengan mereka, karena nyawamu bisa terancam. Bekerjalah sepertiku, yang terpenting kau bisa makan, bersenang-senang dan hidup. Apa kau mengerti?" Candace menjelaskan panjang lebar, sedangkan Anya hanya mengangguk. Bukan anggukan patuh, aksi itu ia lakukan agar wanita di depannya tak terus mengoceh soal Margot.
Anya akan membuktikan sendiri seberapa bahayanya berurusan dengan Margot. Apakah benar seperti yang Candace katakan?
***
Supir taksi itu menurunkan mereka di sebuah bangunan tua yang mirip kastil. Jarak antara pintu gerbang dengan bangunan terbilang cukup jauh, sehingga suara-suara yang berasal dari bangunan tak akan terdengar sampai luar. Pohon-pohon besar berjajar di depan bangunan tersebut. Meski depan terlihat gelap, namun saat Anya semakin mendekat ke arah bangunan, ia sadar bahwa di dalam begitu gemerlap, seperti ada sebuah pesta.
"Pesta?" tanya Anya.
Candace mengangguk.
"Akan ada pesta setiap hari, bagaimana, apa kau menyukainya?" Candace melirik.
Anya menyengir, sembari membatin, 'hanya orang gila yang menyukai pesta untuk menjual diri'.
Sebelum masuk ke dalam, ada dua laki-laki berbadan besar memeriksa mereka. Candace mengatakan sesuatu yang terdengar seperti kode atau password kepada salah satunya. Lalu mereka pun dipersilahkan masuk ke dalam. Namun, bukan ke ruang utama melainkan melalui koridor samping.
"Cepatlah, ternyata Tuan Daffon datang untuk melakukan inspeksi," kata Candace. Anya yang tak mengerti maksudnya memilih diam dan mengikuti apa kata Candace.
Wanita berpakaian ketat warna merah itu membawa Anya menuju sebuah ruangan yang seluruhnya dindingnya ditutup dengan kain hitam, hinggap jendelanya pun tak tampak. Ada banyak kursi disana, Candace meminta Anya untuk duduk menunggu. Sedangkan Candace berdiri sambil memainkan ponselnya, kemudian wanita itu tersenyum, " pelanggan terbaikku sudah datang, aku akan mendapatkan banyak uang malam ini."
Melihat bibir tersenyum, tapi sorot mata menangis membuat Anya merasa miris. Ia tahu Candace tak menyukai pekerjaan ini, tapi mungkin wanita itu tak punya pilihan, sehingga berpura-pura bahagia adalah cara yang ia pilih untuk menutupi kekurangan serta ketidak bahagiannya.
Selang beberapa menit, seorang wanita berpakaian putih dan stoking hitam datang. Dari wajah cantik tapi bengis, membuat Anya langsung tahu siapa wanita itu.
'Pasti Margot!' batinnya.
"Wow, lumayan, kau bisa mulai bekerja Candace. Aku akan mengurusnya," kata Margot. Candace menurut dan meninggalkan Anya disana.
"Katakan padaku, siapa namamu?" tanya Margot dengan suara lembut. Tapi Anya tahu, Margot bukan wanita lembut, setidaknya gadis yang baru saja lewat di depan pintu tadi mengatakan semuanya. Gadis itu babak belur, dan Candace mengatakan kalau luka-luka yang ada di tubuh dan wajah gadis itu adalah hasil karya tangan Margot yang kejam.
Setelah menunggu beberapa detik, tapi Anya tak kunjung menjawab Margot pun merasa kesal. "Apa kau tuli? Aku bertanya padamu, siapa namamu?" bentaknya sambil meremas dagu Anya dengan kasar.
"Anya!" katanya singkat dan cepat, gadis itu sama sekali tak tunjukkan rasa takut. Ia dengan berani menatap mata wanita di depannya, tatapan mata penuh perlawanan.
"Baiklah Anya, apa kau masih perawan? Kata para pria yang membawamu, kau masih perawan?" tanyanya.
Anya berdecih, tersenyum sinis tapi tetap diam dan tak menjawab.
"JAWAB AKU!" pekik Margot yang tak bisa kontrol emosinya. Tampaknya dia punya masalah dengan emosi yang meledak-ledak.
"Apa itu penting bagimu?" tanya Anya.
"Tentu saja, karena itu akan menentukan hargamu nantinya. Oh ya aku tak mau lagi dibodohi anak baru, kalau kau memang masih perawan, aku harus mengeceknya sendiri. Sekarang kau ikut aku!" suruh Margot dengan wajah serius.
Anya mengerutkan keningnya, " apa maksudmu dengan mengeceknya?" tanya Anya.
"Aku akan melihat vaginamu, aku harus melihat apakah kau benar-benar perawan?" katanya dengan santai lalu melenggang pergi.