Courtney menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Tak pedulikan semua orang di sana memandang dirinya dengan tatapan aneh. Padahal dulunya Courtney adalah gadis idola di kampus, tak hanya itu dia juga salah satu gadis terkaya disana. Dia juga adalah gadis yang terkenal angkuh, dan kejam. Ia akan memutus lelaki yang sudah bosan ia pacari. Dan lagi, para lelaki yang memuja dia sudah selevel dengan para anggota sekte. Mereka akan mati-matian melakukan apapun yang gadis itu suruh.
Tapi semua gelar itu hancur saat Courtney mulai jatuh cinta dan tergila-gila kepada Xavier. Gadis itu mengejar putra sulung keluarga Dmitry seperti orang yang telah kehilangan kewarasannya. Namun, bukan lelaki namanya jika tidak suka tantangan. Dia justru memanfaatkan kegilaan Courtney untuk memenangkan taruhan dengan teman-temannya. Sehingga meskipun pada dasarnya ia tak mencintai Courtney, Xavier mau saja berpacaran dengan gadis itu.
Meski pada akhirnya ia memutuskan Courtney tepat di hari ulang tahunnya, karena ia sudah tidak tahan dengan sikap posesif yang gadis itu tunjukkan. Pada mulanya Xav tak berpikir jika gadis itu akan berbuat segila ini, mengejarnya bahkan setelah kelulusan. Tapi disinilah ia sekarang, harus rela menghadapi ketidak warasan Courtney.
Meski ingin sekali rasanya ia berbuat kasar dengan melemparkannya keluar dari rumah ini, akan tetapi Xav tak bisa melakukan hal tersebut. Ia terlanjur berjanji kepada sang ayah bahwa ia akan memperlakukan putri dari sahabat karib ayahnya itu dengan baik, sekalipun ia tak mencintai Courtney.
"Hans!" pekik Xav memanggil salah satu bodyguard-nya yang kini berada di ruangan itu. Lelaki itu segera berlari ke arah Xav.
"Tolong antar dia ke kamarnya," suruhnya.
"Aku tidak mau tidur di kamar tamu!" pekik Courtney seraya berjalan sempoyongan ke arah Xav, lelaki itupun mundur beberapa langkah.
"Nona, mari aku akan mengantarmu—" Belum sempat Hans mengatakan hal lebih lanjut, Courtney sudah mendorongnya.
"Enyah kau, Hans! Jangan pegang aku! Aku tidak mau tidur di kamar tamu," katanya dengan nada khas orang mabuk alkohol.
"Lalu kau mau tidur dimana, Courtney?" tanya Xav menahan geram. Kesabarannya hampir saja habis, namun ia menahannya.
"Kamarmu!" teriak Courtney seraya tergelak.
"Kamar kita, Honey."
"Kamar pengantin kita!" imbuhnya.
Xav memandangi gadis itu dengan tajam, sejenak ia menunduk seolah sedang menahan rasa malu atau mungkin muak. Anya dapat merasakan ketidaknyamanan yang lelaki itu rasakan.
"Baik, jika itu maumu. Kau tidurlah di kamarku. Hans tolong bawa dia ke kamarku," perintahnya dengan nada rendah. Terlihat sekali kalau ia sudah lelah dengan apa yang ada di hadapannya.
"Aku tak mau jika Hans yang mengantarku, Xav. Aku mau ... kau ... " Courtney kembali menarik kesabaran Xav hingga batas akhir.
"Baiklah!" Hanya itu kata yang keluar dari mulut Xav. Pria itu kemudian memapah gadis mabuk tersebut menuju ke lantai teratas bangunan ini.
Semua mata memandangi mereka menapaki tangga satu per satu, suara omelan dan racauan Courtney masih terdengar hingga lantai bawah. Meski bayangan keduanya sudah tak tampak lagi.
Hans menatap Anya yang masih terpaku di tempatnya.
"Hai, Nona, maafkan aku. Bolehkah aku meminta minuman?" tanyanya. Pria itu jauh dari kesan menakutkan meskipun profesinya sebagai bodyguard. Dia tampan, tubuhnya memang kekar, garis rahangnya tegas, namun sorot mata teduh itu melunakkan semua kesan keras dan garangnya.
Anya mengangguk, dan segera mengambilkan segelas minuman untuk Hans.
"Kau pasti pelayan baru," tebak Hans memulai percakapan. Anya enggan berbicara, dia hanya mengangguk saja.
"Darimana asalmu?" tanya Hans.
"Kalau sudah selesai minum, tolong kembalikan gelas ke tempatnya. Aku mau ke dapur mengambil sesuatu," kata Anya seraya melangkah meninggalkan Hans.
"Apa di dapur ada makanan?" tanya Hans.
"Banyak," kata Anya singkat. Ia tak tertarik untuk bercakap-cakap dengan siapapun yang berhubungan langsung dengan Xavier.
"Aku mau, bisakah kau membawakan untuk—"
"Sebaiknya kau tanya langsung pada Rimar, aku tidak tahu apakah kau boleh memakannya," jawab Anya jujur.
Gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya menuju dapur. Sesaat sebelumnya ia sempat menoleh ke arah tangga. Pikirannya entah kenapa melayang kepada Xav dan gadis bernama Courtney itu.
Hanya akan butuh waktu kurang dari sepuluh menit saja untuk mengantarkannya ke kamar. Namun, ternyata Xav tak juga kembali bahkan setelah lima belas menit pertama terlewati.
"Mereka pasti bercinta," gumam Anya dalam hati. Anya semakin yakin jika penilaiannya kepada Xav sama sekali tidak meleset. Dia adalah laki-laki brengsek yang suka memainkan perempuan. Dia tak akan segan berganti perempuan sesering dia mengganti kaos kakinya.
Sedetik setelah menyumpahi Xav, Anya pun tersadar, bahwa tak masuk akal jika ia memikirkan apa yang dilakukan Xav dan Courtney di dalam kamar. Hal itu bukan urusannya. Yang menjadi urusannya disini hanyalah masalah kebersihan kamar mandi dan toilet. Menyedihkan sekali, Anya seharusnya masih kuliah di semester akhir, jika saja dana perkuliahan yang sudah ibunya tabung tak dihabiskan sang nenek untuk berjudi.
Nasibnya memang malang, ia sendiri seperti sudah kebas dengan segala penderitaan dan ujian hidup. Hal-hal menyedihkan itu sudah terlalu sering mampir ke dalam kehidupannya.
Anya berjalan dengan langkah gontai, sebenarnya tak ada yang ia lakukan di dapur. Ia hanya ingin bernafas saja sesaat, karena para anak orang kaya itu menyuruhnya dirinya mengambil ini itu tanpa jeda. Seolah ia adalah robot yang tak punya rasa lelah.
"Aku heran, apa mereka sudah lupa kalau Tuhan memberkati mereka dengan dua kaki dan dua tangan? Kenapa mereka terus saja menyuruhku!" gumam Anya mengeluh, ia berbicara sendiri. Begitulah cara ia melepaskan kekesalan.
"Siapa yang melakukan hal itu padamu?" celetuk sebuah suara yang membuat Anya sadar bahwa ia tak sendirian di dapur. Anya pun segera memutar netranya, mencari sosok yang mengeluarkan suara yang cukup familier di telinganya.
Seorang lelaki bermata sebiru langit, sedang menatap dirinya seraya tersenyum. Noah!
"K—kau ..." Suara Anya bergetar, karena ia nervous sekali. Ia tak mengira kalau pria itu akan muncul dengan tiba-tiba di dapur. Noah berdiri dan menyandarkan berat tubuhnya ke pintu dapur. Pintu tersebut memang terhubung langsung ke istananya.
"Kenapa kau kaget begitu?" Noah berjalan mendekati Anya. Akan tetapi gadis itu masih memaku, ia tak percaya dengan apa yang kini ia lihat.
"Apa kabar? Aku sangat senang melihatmu disini." Noah mendekatkan wajahnya ke wajah Anya.
"Kau adalah kakak dari Xavier?" tanya Anya, Noah pun mengangguk.
"Ya, dan adik yang ku ceritakan padamu adalah dia, Xavier."
"Kalian sangat berbeda," lirih Anya menceletuk.
"Ya, kami memang sangat berbeda," bisik Noah sembari mengulas senyum misterius.