Chereads / My Maid My Lover / Chapter 17 - Kejutan dari Sang Nyonya besar

Chapter 17 - Kejutan dari Sang Nyonya besar

"Jatuh cinta katamu?" Anya masih terbahak seraya memegangi perutnya.

"Apa kau pikir cinta itu hal penting untuk gadis miskin seperti ku? Apa kau tahu? Untuk makan sehari-hari saja aku kesulitan? Kau pikir urusan hati lebih penting dari urusan perut?" Anya terus tergelak hingga membuat wajah Xav berubah masam. Pria itu nampaknya tersinggung dengan cara Anya menanggapi pertanyaannya.

"Apanya yang lucu? Kenapa kau tertawa seperti itu?" Xav membentak. Seketika gadis itu mengatupkan mulut, diam dalam sekejap.

"Kenapa kau menanyakan hal itu padaku? Ahh ... kau membuat ku teringat pada cinta pertama. Tapi itu dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar," jawab Anya lalu berjalan melewati Xavier.

"Mau kemana kau?"

Anya berhenti lalu berbalik, menoleh kepada pria di belakangnya."Bukankah kau tadi menyuruhku untuk tidur?"

"Tidak sekarang!" Xav menarik lengan gadis itu, lalu memaksanya duduk di ruang tengah. Di sofa panjang yang menghadap sebuah televisi layar datar berukuran empat puluh sembilan inch.

"Katakan padaku, bagaimana rasanya jatuh cinta?" Xav bertanya pada gadis itu seperti seorang HRD yang mewawancarai calon karyawan.

"Kau bisa mencari jawaban itu melalui mesin pencarian di ponsel pintar mu, kenapa kau malah memintaku untuk menjelaskan hal yang jelas-jelas aku sendiri tak tahu jawabannya." Anya hendak pergi beranjak dari duduknya, tapi Xav menarik lengannya lagi, "siapa yang mengijinkan mu pergi dari sini. Aku bilang duduklah!" seru Xavier memaksa.

"Sekarang, pegang tanganku!" suruhnya pada gadis yang kini menatap Xav dengan perasaan bingung. Tentu saja, Anya tak serta merta patuh begitu saja dengan perintah aneh sang tuan muda.

"Cepatlah! Kau membuang-buang waktuku saja," keluh Xav lalu memegang tangan Anya dan mencium punggung tangan gadis itu dengan mesra, bak pangeran yang sedang merayu sang putri.

"Apa yang kau lakukan!" teriak Anya seraya menarik tangannya dengan cepat. Gadis itu mengelap bekas ciuman Xav dengan kausnya.

"Kenapa kau membersihkannya?'" protes Xavier tak terima.

"Dasar kau tuan muda mesum, apa maksudmu mencium tangan ku seperti itu?"

"Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaan mu ketika ada laki-laki yang bersikap mesra padamu?" Xav membela diri.

"Kau pasti sudah tidak waras tuan muda, jika kau ingin bermain-main jangan denganku. Kau bisa melakukan hal itu dengan pelayan lain, atau ya itu ... gadis yang kemarin mabuk itu. Ehhm mantan pacarmu itu, siapa? Ahh ... aku lupa namanya," racau Anya sambil menepuk dahi.

Lagi-lagi, tangan Anya dijegal, Xav tak mengijinkan gadis itu pergi dari ruang tengah.

"Lepaskan aku!" teriak gadis itu, bukannya melepaskan, Xav justru menarik tubuh Anya ke dalam dekapannya. Gadis itu meronta, akan tetapi Xav justru mengeratkan pelukannya.

"Apa kau merasa nyaman?" tanya Xav seraya tersenyum manis, padahal jelas-jelas Anya meronta ingin dilepaskan.

"Hangat kan?" tanya Xav lagi tanpa mengindahkan pekikan dan umpatan kasar yang meluncur dari mulut Anya.

"Sssstt ... diamlah. Jangan bergerak terus, apa kau tidak bisa diam sebentar saja?" protes Xav sambil mengapit tubuh Anya dengan kedua lengan kekarnya.

"Lepaskan aku! Kau membuat ku tak bisa bernapas!" seru Anya berang. Dengan hanya satu gerakan, pria itu melepaskan kungkungan kedua tangannya dari tubuh sang gadis.

Bruagh!

Anya pun terjatuh hingga ia mengerang kesakitan.

"Kau!" teriak Anya sembari mengarahkan telunjuknya kepada Xav.

"Kau minta untuk ku lepaskan," sahutnya dengan salah satu alis terangkat. Anya segera berdiri dari tempat ia terjatuh, dan tanpa aba-aba mendorong tubuh Xav dengan kuat untuk membalas perbuatannya tadi. Pria itu limbung dan akan terjatuh saat tangannya dengan cekatan menarik Anya, terjatuh bersama, terguling di atas permadani bercorak abstrak tersebut.

Tubuh Anya menindih tepat di atas dada Xav. Wajah mereka saling tatap, hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Waktu seakan berhenti, seiring dengan deru detak jantung yang semakin meningkat.

Xav mendekatkan bibirnya ke bibir berwarna merah muda milik gadis itu. Memagut lembut bibir atas sang gadis, desir aneh memenuhi rongga dada Anya. Sisi lain dirinya berteriak untuk menghentikan hal ini, meski sebagian lain menuntut lebih. Terjadi perang selama ciuman hangat dan intens dari Xav ia rasakan. Hingga, mata yang tadi terpejam, karena ikut tenggelam dalam kenikmatan, saat bibir pria itu mulai menyentuhnya pun terbuka lebar. Gadis itu kontan sadar, bahwa ia harus mempertahankan harga diri.

Bruagh!

Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Xav, dan segera beralih dari atas tubuh pria itu. Berjalan cepat dari tanpa itu, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Xav yang masih menatap dan memegang bibirnya sendiri.

***

"Ciuman pertamaku, ciuman pertamaku, dirampas oleh pria gila itu! Tuan muda tidak waras yang tak punya otak!" umpat Anya sambil mencuci mulut dan menyikat giginya di wastafel. Ia sudah melakukan hal itu sebanyak tiga kali. Tentu bukan karena ia takut sakit gigi atau terkena infeksi gusi, tapi karena ia ingin menghilangkan bekas ciuman Xavier tadi. Atau mungkin lebih tepatnya menghapus ingatan akan ciuman tadi, ingatan yang masih terputar jelas di otaknya.

"Dia mengambil ciuman pertama berhargaku! Anya kenapa kau bodoh sekali? Kenapa kau membiarkan Xavier melakukan hal itu padamu?!" marahnya pada dirinya sendiri sembari berkaca.

Usai puas memaki dirinya dan Xavier, Anya menghempaskan diri ke atas ranjang sempit itu. Matanya tak bisa terpejam, ini selalu saja terjadi tiap kali ia berpikir berlebihan tentang sesuatu. Ia tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Kejadian yang baru saja ia alami, sungguh mengganggu pikiran dan batinnya.

***

Pria bernama Xav itu berjalan menuju kamarnya, setelah beberapa jam duduk di tangga sambil mengawasi kamar yang berada di ujung koridor dekat dapur. Kamar seorang pelayan bernama Anya, gadis yang ia selamatkan dari rumah Margot sang pelacur.

Ada perasaan bersalah saat ia sadar telah melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan oleh laki-laki berpendidikan dan bermartabat seperti yang selama ini digaungkan oleh keluarga Dmitry.

Usai berganti pakaian dengan piyama mahal berbahan sutera, Xav pun mengambil sebuah buku di atas nakas, namun sebelum sempat ia menikmati isi bacaan, tiba-tiba saja ponselnya berdering.

Paman Berry.

Sebuah panggilan yang masuk berasal dari pria berperut buncit bernama Beary. Dia adalah bodyguard sekaligus orang kepercayaan sang nenek— Nyonya besar Xerena Dmitry.

"Halo Paman—"

"Kau dimana sekarang?"

"Aku, aku sedang belajar, di twinnies palace," jawab Xav bohong.

"Anak muda, lagi-lagi kau coba membohongi kami."

Xav menggigit bibir, ia merutuki kebodohannya.

"Dimana kau sekarang?" ulang Beary, nama dari pria itu sebenarnya adalah Edmund. Tapi karena perawakannya mirip beruang, Xav selalu memanggil seperti itu sejak ia kecil.

"Aku ... uhmm ... di pondok pinggir danau," ucap Xav lirih.

"Kau mengunjunginya lagi?" tanya Edmund.

"Ya, aku, uhm ... aku sangat merindukan dia," jujur Xav.

"Apa kau tahu ada hal yang lebih penting daripada meratapi masa lalumu itu?"

"Apa maksud paman?" Xav merasa penasaran, dahinya mengernyit.

"Nyonya Xerena, akan mengumumkan sesuatu yang penting besok pagi. Jadi ... sebaiknya kau cepat kembali atau impian mu untuk menjadi pewaris utama tak akan terwujud. Sebenarnya, tuan besar melarang ku mengatakan ini kepadamu. Tapi kau tahu, aku menyayangi mu Xav ... "

Sejenak Xav terdiam, otaknya berpikir keras, menggambarkan simulasi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi esok pagi.

"Semoga saja bukan sesuatu yang buruk," batin Xav meski ia tak yakin dengan keyakinannya sendiri.