Setelah mendapat informasi dari Beary bahwa sang nenek akan mengumumkan sesuatu yang penting esok pagi. Xav segera turun dan hendak menemui gadis itu, ia butuh bantuan untuk merapikan semua barang bawaan ke dalam tas.
Baru saja ia berjalan menuju kamar Anya, tiba-tiba langkah kakinya terhenti tatkala melihat ternyata gadis itu sedang duduk di dapur.
"Kau belum tidur?" Tanya Xav.
"Aku tidak bisa tidur," jawab Anya dengan perasaan canggung. Ia bahkan tak menatap pria yang kini berdiri di depannya. Seandainya Xav tahu, kenapa ia tak bisa tidur. Mungkin kejadian itu tak berarti bagi Xav yang menurut Anya suka berganti-ganti pasangan. Akan tetapi bagi seorang Anya Smith, ia telah kehilangan ciuman pertamanya. Direnggut oleh pria yang sama sekali tak ia sukai. Tentu saja ia akan lebih rela jika ciuman itu direnggut oleh Noah, bukan adik laki-lakinya.
"Bantu aku bersiap-siap," kata Xav memecah keheningan, Anya terkesiap, ia hampir saja tersedak secangkir cokelat hangat yang baru saja ia minum.
"Bersiap-siap kemana?"
"Pulang, kita harus pulang sekarang," Xav terlihat gusar, Anya dapat melihat kilatan cahaya di matanya yang sedang berusaha menyimpan sesuatu.
"Sekarang?"
Xav mengangguk. Anya segera bangkit lalu mengikuti langkah Xav ke lantai atas. Ada begitu banyak barang yang mereka bawa, Anya baru saja mengeluarkan barang-barang itu tadi siang, kini ia harus memasukkan semuanya kembali ke dalam tas. Beberapa alat lukis, buku hingga alat menyelam atau diving.
"Cepatlah, waktu kita tak banyak." Xav mengatakan hal itu sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Anya sendirian di kamar tanpa perabot itu.
Meski sebenarnya Anya sudah kelelahan dan ingin segera tidur, tapi nampaknya keinginan sederhana itu tak akan terwujud. Ia harus segera mengerjakan semua perintah Xav, yakni merapikan semua barang dan memasukkan barang-barang tersebut ke dalam bagasi lagi.
***
Anya sudah menyelesaikan semua pekerjaan yang Xav bebankan kepada dirinya. Pada mulanya ia memilih menunggu pria itu keluar dari kamar, akan tetapi setelah hampir empat puluh menit lamanya, dan Xav tak kunjung keluar dari kamar, Anya akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar sang tuan muda.
Beberapa ketukan pertama berlalu tanpa satu sahutan pun dari dalam.
"Dia pasti tertidur, dasar sialan, dia sendiri yang menyuruh ku untuk cepat. Lalu lihatlah siapa sekarang yang begitu lamban?" Anya menggumam.
Klek!
Belum sempat Anya menutup mulutnya, pintu tiba-tiba saja terbuka, di hadapannya kini berdiri seorang pria yang hanya kenakan handuk saja melingkari sebatas pinggulnya. Tatapan tajam dan intens dari iris serupa tembaga milik Xav membuat detak jantungnya menjadi cepat.
"Berisik!" Ketus Xav.
"Aku dapat mendengar semua yang kau ucapkan tadi dengan sangat jelas," ujar Xav tersenyum sinis. Anya pucat pasi begitu tahu kalau Xav mendengar perkataannya.
"Aku sedang mandi, bukan tertidur!" Sungut Xav lalu segera menutup pintu kamarnya kembali.
Anya mematung di depan pintu kamar beberapa saat. Setelah menguasai keadaan, ia pun segera beranjak pergi dari tempat itu.
***
"Kau duduk di depan, di sampingku, jangan duduk di belakang, aku bukan supir mu!" Pekik Xav saat Anya kebingungan sekaligus canggung, harus duduk dimana. Karena kini hanya ada dia dan Xav di dalam mobil. Supir dan tuan D'viore keluar sejak sore hari, entah kemana dan belum kembali.
"Apa kita tidak perlu menunggu Rob dan tuan D'viore?" Tanya Anya sesaat setelah menghempaskan pantatnya ke jok depan.
"Tidak perlu, mereka akan menyusul kita besok."
Xav pun mulai menghidupkan mesin, ia akan segera menginjak pedal gas, tapi tiba-tiba saja ia mematikan mesin. Kepalanya menoleh ke arah Anya, matanya menatap gadis itu dari atas ke bawah, berulangkali.
"Ada apa?" Tanya Anya sedikit ketakutan, karena lelaki itu menatap seolah dirinya adalah mangsa. Tapi, Xav tak mengatakan apapun. Tangan pria itu mengulur, meraih seat belt lalu memasangkan pengaman itu untuk Anya.
"Kau harus memakai sabuk pengaman, jangan buat aku ditilang, karena itu akan sangat memalukan." Ketus si pria yang kemudian kembali menyalakan mesin, perlahan pun mobil mulai meninggalkan tempat tersebut.
***
Perjalanan dari rumah pinggir danau hingga ke twinnies palace, memang memakan waktu cukup lama. Saat sampai di sana, Anya sudah terlelap, ia tertidur.
"Bangunlah, kita sudah sampai," bisik Xav sambil menggoyangkan lengan Anya. Namun, gadis itu tak segera bangun, ia justru melenguh. Kemudian dengan damai dan tanpa rasa berdosa ia kembali tertidur. Pria itu lalu mencoba membangunkannya kembali.
"Bangun, kita sudah sampai!" Xav agak mengeraskan volume suara.
"Sial!" Pekik Xav sambil membuka pintu dan keluar dari mobilnya. Lalu beralih ke pintu di bagian lain dimana Anya kini sedang pulas tertidur.
Tanpa keraguan, Xav pun mengangkat tubuh Anya. Lalu meminta penjaga pintu untuk membereskan semua barang di bagasi.
"Tubuhmu kelihatannya kecil, tapi kenapa kau berat sekali Anya!" Rutuk Xav lirih. Tanpa sengaja, mata Xav memandang wajah cantik Anya yang sedang terlelap dan tampak kelelahan itu. Ada desir yang tak bisa ia jelaskan begitu saja muncul dan mengusik ketenangan hatinya.
Sesaat, ia pun tersadar telah berada di persimpangan ballroom yang menghubungkan kamar pelayan dan tangga menuju kamar tamu. Xav gamang, ia tak tahu harus menidurkan gadis ini dimana. Tak mungkin rasanya ia mengetuk kamar pelayan dan membuat semua orang tahu kalau ia sedang membopong tubuh Anya. Ini akan menimbulkan gosip di antara mereka, dan hal itu tak bagus.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk membawa Anya ke lantai dua, dimana kamar tamu berada.
"Ah berat sekali," katanya seraya merebahkan tubuh Anya ke ranjang. Ia hendak meninggalkan Anya begitu saja, akan tetapi entah kenapa tiba-tiba saja bayangan masa kecilnya saat sang ibu selalu membenarkan selimut untuknya, begitu saja hadir. Seperti film yang tiba-tiba saja terputar otomatis di pikirannya. Masa-masa indah bersama sang ibu memang membekas dalam ingatan serta alam bawah sadarnya.
Xav pun berbalik dan menyelimuti tubuh Anya rapat-rapat, sama persis seperti apa yang biasa sang ibu selalu lakukan untuk dirinya.
***
Baru kali ini, Anya merasakan tidur berkualitas, ia sangat nyenyak. Perlahan ia mengangkat kelopak matanya. Iris cokelat itu memandang sekitar, mengamati ruangan yang tak asing baginya. Tapi, kini ia sadar, ia mulai bertanya-tanya bagaimana caranya ia bisa sampai di kamar ini? Bukankah ini kamar khusus untuk tamu kehormatan keluarga Dmitry?
Anya melompat dari ranjang dengan tergesa, dan segera berlari ke lantai bawah, belum sempat ia sampai di anak tangga paling bawah tiba-tiba saja telinganya menangkap suara gaduh yang berasal dari lantai bawah. Suara Xav dan ayahnya.
"Aku mencintai gadis itu, aku akan menikahinya!"
"Tapi dia seorang pelayan, Xav!" Suara lawan bicara Xav terdengar emosional.
"Lalu apa masalahnya?"
"Ibuku juga seorang pelayan! Apa itu juga masalah bagi ayah?"