Sadar ada seseorang yang sedang memerhatikan perdebatan mereka, dua pria itupun menoleh dan menatap gadis yang terlihat berantakan karena baru saja terbangun dari tidurnya.
"Apa yang kau lakukan di lantai atas?" Tanya Adolfo dengan mata beringas, mengerikan. Pria itu tampak sangat menakutkan di mata Anya.
"A—aku ... " Gadis itu terbata-bata menjawab.
"Dia tidur di kamarku, kami tidur bersama. Apa itu masalah bagi
ayah?"
"Xavier!" Adolfo berteriak penuh kemarahan.
"Tidak, tidak tuan, kami tidak tidur bersama!" Bantah Anya.
Kegaduhan yang terjadi membuat penghuni rumah itu berdatangan dan mengintip dari balik dinding. Memasang telinga mereka baik-baik.
"Anya jangan berbohong, sebaiknya kita mengaku saja. Kau jangan takut kepada ayahku, dia pasti akan merestui hubungan kita."
"Tuan muda apa yang kau katakan? Apa kau sudah tidak waras? Restu apa yang kau maksud?" Anya maju beberapa langkah, tapi akhirnya ia berhenti karena sadar kalau pria berusia paruh baya di hadapannya kini seolah akan menerkam siapapun yang ada di depannya.
"Xavier hentikan kegilaanmu!" Adolfo berteriak untuk kedua kalinya dengan suara lebih keras lagi.
"Anya kita akan menikah, aku sudah menjanjikan itu padamu. Aku akan memenuhi janji itu," kata Xavier lagi, yang tentu saja membuat Anya semakin kebingungan.
"Gustav!" panggil Adolfo pada salah satu bodyguard-nya.
"Seret gadis itu keluar dari sini!" pekik Adolfo dengan mata membelalak ke arah Anya.
Hanya selang beberapa detik, seorang pria bertubuh tinggi besar, datang. Langsung menarik tangan Anya dengan paksa, menyeret tubuh gadis itu, tak peduli meski Anya meronta-ronta. Xav tak tinggal diam, dia segera mengeluarkan sebuah pistol dari saku jas yang ia pakai.
"Kalau ayah mengusirnya, maka aku akan bunuh diri di tempat ini sekarang!" ancam Xav, tentu saja ia tak serius soal ini. Xav melakukan ini bukan karena ia menginginkan Anya menjadi istrinya. Dia rela melakukan drama murahan ini agar dia bisa menikahi gadis itu.
***
Beberapa jam sebelumnya ....
Setelah membawa tubuh Anya dari mobil menuju kamar lantai dua, Xav pun segera pergi ke kamarnya sendiri. Tapi, sebelum sampai ke kamarnya yang berada di lantai tiga, ada seseorang yang telah menunggunya di tangga yang menghubungkan kedua lantai tersebut. Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Rimar.
"Tuan muda, aku mempunyai informasi penting untukmu," ucap pelayan tua itu padanya. Dia sudah seperti nenek Xav sendiri, wanita tua itu juga sangat menyayanginya. Bisa dibilang hubungan keduanya sangat dekat dan akrab, meski seringkali mereka harus berpura-pura tak sedekat itu. Karena memang aturannya, pelayan tak boleh terlalu dekat dan melampaui batasannya.
"Rimar? Aku kira kau sudah tidur," Xav terkejut.
"Apa itu, apa informasi penting yang kau punya?" tanya Xav setengah berbisik.
"Aku takut ada yang mendengar kita," cetus Rimar.
"Kita bicarakan di kamarku saja, kalau ada yang bertanya apa yang kau lakukan di kamarku malam-malam, bilang saja aku meminta tolong untuk membersihkan jas yang akan ku pakai besok pagi."
Rimar mengangguk mengerti, wanita tua itupun mengikuti langkah lelaki muda itu menuju lantai tiga. Menapaki tangga dengan pencahayaan temaram. Suasana rumah besar itu telah sepenuhnya sepi, karena hampir semua penghuni telah terlelap dalam mimpinya.
Setelah memasuki kamar, Xav mempersilakan Rimar untuk duduk, akan tetapi wanita itu memilih untuk tetap berdiri.
"Nyonya besar memberikan syarat baru untuk para calon pewaris," ucap Rimar tanpa basa-basi.
Xav berjengit, ia kaget bukan kepalang mendengar penuturan Rimar. "Apa itu?" tanyanya.
"Pernikahan. Kedua calon pewaris haruslah sudah menikah untuk bisa mengikuti tahap seleksi selanjutnya," tutur Rimar.
"Menikah? Kau tidak sedang bercanda kan, Bi?" Xav memanggil Rimar dengan sebutan bibi hanya ketika mereka sedang berdua.
Rimar menggeleng, "aku mendengar sendiri percakapan nyonya besar dengan Beary."
"Apa maksud nenek?"
"Dia hanya akan memberikan tahta itu, jika kalian sudah menikah."
"T—tapi, nenek tidak pernah memberitahukan hal itu sebelumnya," kesal Xavier, ia mengusap wajahnya berkali-kali. Pria muda itu tampak gusar.
"Kau tahu sendiri, bagaimana karakter nyonya besar. Dia wanita yang spontan, semua keputusan dan keinginannya tak bisa ditawar ataupun diganggu gugat."
"Ini gila, ini gila, benar-benar gila!" Xav mondar mandir bak orang tidak waras.
"Menikah, kenapa harus dengan syarat itu? Aku bahkan tidak punya kekasih, lalu dengan siapa aku harus menikah. Tidak, tidak, aku harus mencari cara. Ini tak boleh dibiarkan, Noah tidak boleh memenangkan pertarungan ini." Xav meracau tak keruan. Ia hampir putus asa sekarang. Syarat ini akan lebih mudah bagi Noah, dia sudah memiliki kekasih bernama Selena.
"Bi, apa kau punya ide untukku? Menurut mu apa yang harus ku lakukan? Siapa yang harus ku nikahi?" tanyanya pada wanita yang terlihat bingung, sama seperti dirinya.
"Courtney?" Rimar bercelatuk.
"Tidak, tidak, jangan sebut nama itu. Sampai mati pun aku tidak akan menikah jika harus dengan gadis itu, aku lebih baik mati dalam keadaan perjaka," kata Xav seraya terkekeh, Rimar menutup mulutnya sambil menahan tawa.
"Aku kira kau dulu menyukainya," goda Rimar.
"Tentu saja tidak, aku memacari Courtney hanya karena taruhan konyol yang teman-temanku lakukan," jelas Xav.
"Bagaimana kalau kau meminta tolong Anya, gadis pelayan itu untuk berpura-pura menjadi kekasihmu?" Rimar tiba-tiba bicara dengan ide yang sama sekali tak terpikirkan oleh Xavier.
"Dia? Apa kau yakin gadis gila itu mau melakukan hal itu untukku?"
Rimar mengangguk, " tentu saja dia tak akan menolak tawaran darimu, hanya jika kau membayarnya."
Xav kemudian tersenyum menyeringai mendapatkan ide dari Rimar. Pria itu kini tahu apa yang harus dilakukan, agar dapat memuluskan rencana serta jalannya untuk menjadi pewaris utama semua harta kekayaan sang nenek.
***