Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam lamanya, sampailah mereka di kampung halaman Anya. Mr Barry segera menyambut keduanya dengan ramah, mempersilakan pasangan itu untuk makan siang bersama di kebun anggur mereka.
"Kau sangat cantik," puji mrs Barrymore, istri tuan Barry yang masih sangat muda. Sebenarnya dia lebih pantas untuk menjadi putri lelaki itu dibanding pasangan. Anya beberapa kali memerhatikannya. Entah dimanja mereka bertemu yang jelas ia merasa tak asing dengan mrs Barrymore.
"Terima kasih, Nyonya. Anda juga," sahut Anya.
"Kalian sebaiknya makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju christmas valley," sahut mr Barry.
"Maaf paman, aku sudah merepotkan," Xav terlihat sungkan kepada pria bertopi koboi itu.
"Kau sudah ku anggap seperti putraku sendiri Xav. Apakah pantas seorang ayah merasa direpotkan karena kedatangan putranya?"
Xav tersenyum, "bagaimana kabar ayahmu, nak?" tanya mr Barrymore.
"Baik, aku rasa. Entahlah paman, kami baru saja bertengkar. Dia bahkan tak mau mengajak ku bicara." Anya yang sedari tadi sibuk memerhatikan kebun anggur yang luasnya berhektar-hektar itu sampai tak sadar kalau wajah lelaki di sampingnya seketika berubah saat membicarakan perihal sang ayah.
"Aku kira hubungan kalian membaik?" sahut Mrs Barrymore.
Dengan segera mr Barry melirik sang istri, mengisyaratkan agar wanita itu tak melanjutkan perkataannya.
Xav tersenyum kecut, "tidak, aku rasa hubungan kami tak akan pernah membaik, justru semakin buruk dari hari ke hari."
Keadaan menjadi sangat canggung setelahnya, makan siang terlewati dalam keadaan hening. Sikap Anya yang tampak tak peduli pada apa yang terjadi dengan Xav membuat mr Barrymore mengerutkan dahinya. Timbul secercah rasa curiga di hati pria itu.
***
Usai makan siang, mereka berdua segera berpamitan. Kentara sekali kalau Xav tak nyaman berada di sana lama-lama. Dia lebih memilih untuk segera pergi meninggalkan rumah mr Barrymore. Dengan dipandu oleh seorang supir pribadi, Xav dan Anya menuju pondok milik mr Barry. Tempat mereka akan menginap. Ronnie langsung kembali ke twinnies palace sehingga kini hanya tinggal mereka berdua.
"Terima kasih," ujar Anya saat si supir membantu membawakan koper dan barang-barang mereka ke dalam pondok.
"Sama-sama, oh ya ini nomor telepon ku. Kalian bisa menghubungi nomor ini jika membutuhkan sesuatu. Dan ini kunci mobil yang ada di garasi, ada persediaan bahan bakar juga di gudang." Jelas pria muda itu sebelum pergi meninggalkan mereka.
"terima kasih," sahut Anya ramah, sedangkan Xav terkesan diam dan tak banyak bicara setelah makan siang tadi.
Pria muda itu pun pergi. Hanya selang beberapa detik kemudian Xav tiba-tiba berceletuk, "kenapa kau ramah sekali pada pria mesum itu?" tanyanya dengan nada tak enak, pada Anya.
Gadis itupun terkejut dengan pernyataan yang keluar dari bibir Xav.
"Dia pria yang baik, kenapa kau menyebutnya seperti itu?" balas Anya tak terima.
"Dasar gadis bodoh! Begitu mudahnya kau dibohongi oleh wajah polos itu!" Xav menoyor kepala Anya begitu saja lalu pergi.
"Hei, jangan sentuh kepalaku!" jerit Anya lalu menyusul Xav, dengan niat ingin membalas perbuatannya. Tapi tentu saja hal itu tak mudah mengingat tinggi Anya hanya sebatas bawah dada pria itu. Ukurannya terlalu mini untuk perawakan Xav yang menjulang tinggi.
"Balaslah kalau kau bisa!" ejek Xav seraya tertawa puas.
Keduanya pun berlarian mengitari ruang tamu ponfokan itu. Anya berteriak, meracau, bercampur kesal karena tak kunjung bisa membalas Xav.
"Hei, kurcaci, kau takkan bisa menyentuh kepalaku!"
"Apa katamu? Kau memanggilku kurcaci?!" pekik Anya berang.
"Kau memang kurcaci, lihatlah dirimu yang sangat mungil ini," kekeh Xav mencibir.
"Tanpa kurcaci ini kau takkan bisa mendapatkan posisi yang kau inginkan!" Anya memberengut meninggalkan pria yang sebenarnya tak ada maksud untuk menghina, selain hanya sekadar menggoda.
"Apakah dia benar-benar marah?" tanya Xav pada dirinya sendiri.
Dia melihat Anya meninggalkan ruangan itu dan langsung menuju lantai atas dengan wajah menekuk.
"Anya Smith? Apakah kau marah padaku?" Dia mulai khawatir saat gadis itu tak menjawab panggilannya.
"Anya?"
Hening tak ada suara.
"Apa kau marah?"
Xav pun segera menyusul sang gadis ke lantai atas.
"Anya kau dimana?" teriak Xav.
Masih tak ada jawaban. Pria itu kemudian membuka salah satu pintu kamar. Tepat beberapa detik setelah ia mendorong pintu, sebuah tangan melayang ke kepalanya dan menoyor kepala Xav dengan lumayan keras. Refleks lelaki itu menangkap tangan tersebut dan...
Bruagh!
Tubuh yang berdiri di atas kursi itu limbung, dan jatuh tepat di atas tubuh Xav yang ikut tersuruk ke lantai.
Niat hati Anya hanya ingin membalas apa yang dilakukan oleh Xav, malah membuat dirinya kini berakhir terjatuh di atas tubuh Xav. Mata beriris coklat itu menatap mata amber milik Xav.
"Kenapa dalam jarak sedekat ini, dia terlihat begitu tampan," bisik Anya dalam hati. Degupan jantung Anya yang tadinya normal seketika berubah abnormal.
"Mau sampai kapan kau berada di atas tubuhku?" bisik Xav dengan suara lirih dan serak, persis seperti lelaki yang sedang naik libidonya.
"Sial!" umpat Anya saat sadar bahwa ia kini masih berada di atas tubuh Xav. Ia pun segera bangkit, dan tak lupa lemparkan tatapan tajam ke arah pria yang kini tampak menahan tawa itu.
"Jadi kau tadi sedang berusaha mengelabuiku, kau ingin membalasku?" tanya pria itu, yang tentu saja tak Anya hiraukan.
"Aku paling tidak suka jika ada orang yang menyentuh kepalaku dengan cara itu. Karena ayahku yang gila dan pemabuk itu selalu melakukan hal itu kepadaku dan ibuku tiap kali dia mabuk dan tak punya uang, dia akan melakukan hal itu berkali-kali hingga aku menangis."
Kali ini gadis itu mengatakan dengan suara dan mimik wajah serius. Xav yang masih menganggap hal itu hanya candaan pun seketika merasa bersalah.
Ia bangkit dan segera mengejar Anya yang ternyata sudah turun ke lantai bawah.
"Anya..." panggil Xav.
Gadis yang dipanggil sedang menatap mesin kopi di depannya. Ia sama sekali tak bersuara dan menyahut meski sudah jelas ia mendengar panggilan Xavier.
Pria itupun menyusul Anya ke dapur.
"Maafkan aku..." ucapnya dengan tulus.
Anya menoleh, "apa kau mau kopi?"
"Kau tidak marah?" tanya Xav dengan wajah bingung.
"Lupakan saja, anggap saja aku tidak pernah membicarakan hal itu padamu. Kau mau espresso?" tanya nya lagi.
"Yes, please..." jawabnya sambil duduk di meja belakang mesin kopi.
"Anya," panggilnya lagi.
"Hmmm..."
"Apakah ayahmu adalah pria yang sangat kasar?" tanya Xav.
"Menurutmu, apakah ada pria lembut yang tega memukuli istrinya hingga keguguran?" Anya tersenyum pahit.
"Wow, kau pasti mengalami banyak hal buruk selama menjadi putrinya," tanggap Xav dengan bergumam.
Anya menaruh secangkir kopi di hadapan Xav, tanpa mau menanggapi ucapan pria itu.
"Bisakah kita segera pergi ke rumah nenekku secepatnya? Ada beberapa hal yang harus ku lakukan, tapi..." Anya akan meneruskan ucapannya tetapi ia terlihat ragu-ragu.
"Aku ingin meminta tolong padamu."
Xav yang baru saja menyesap isi cangkirnya melirik gadis itu dengan kening mengernyit.
"Hmmm... Apa kau keberatan jika aku minta untuk bersikap mesra di hadapan keluargaku? Aku hanya ingin membuat orang-orang jahat itu menyesal telah menyia-nyiakan ku selama ini..." ujarnya dengan jujur dan polos.
Xav berdiri lalu dekatkan wajahnya ke Anya," apa aku harus mencium mu di depan mereka? "
Anya melotot dan menggeleng," tentu saja tidak, bukan itu maksudku. Enak saja kau mau mencium ku sembarangan, " sungutnya.
" Tapi... Kau menikmatinya bukan?" bisik Xav tepat ke telinga Anya.