"Apa rumah nenekmu masih jauh?" Baru beberapa menit perjalanan, Xav sudah mengeluh dan merengek. Pria itu tak henti-hentinya mengoceh pada Anya tentang jalanan yang kurang terurus di daerah ini. Karena mobil yang mereka tumpangi kesulitan dengan medan terjal dan berbatu.
"Kau sudah menanyakan hal itu puluhan kali, tuan muda. Kau ingin aku menjawab apa?" Anya memutar bola matanya malas, gadis itu lalu membuang pandangannya ke arah luar kaca mobil. Sepi sekali jalanan yang mereka lewati, sepanjang jalan mereka hanya bertemu beberapa kendaraan saja. Itupun hanya truk besar yang sedang membawa hasil panen anggur untuk dibawa dan dijual di kota.
"Seandainya aku tahu bahwa tempat tinggal mu se-menyedihkan ini, mungkin aku akan menyuruh Ronnie untuk tinggal saja. Jadi aku tak perlu menjadi supirmu seperti ini," gerutu Xavier memberengut. Meski sebenarnya kesal mendengar perkataan pria di sampingnya, Anya memilih diam dan hiraukan ocehan Xav. Anggap saja seperti angin lalu yang segera hilang dan pergi tanpa bekas.
Tahu bahwa gadis di sampingnya tak merespon, Xav pun hentikan laju mobil secara tiba-tiba.
"Anya Smith! Kenapa kau tak menjawabku?!" Xav mengamuk.
"Kau cerewet sekali!" Anya tak mau mengalah, gadis itu kemudian membuka pintu mobil, lalu keluar.
"Kalau kau tak mau mengantar ku kesana, aku bisa jalan kaki sendiri. Aku harus mengunjungi makam ibuku sebelum gelap, kembalilah ke pondokan, dan tidurlah dengan nyenyak!" Anya mengucapkan kata-kata itu dengan suara tenang, sama sekali tak tunjukkan rasa marah. Meski sebenarnya dadanya terasa mendidih. Xav tercengang melihat spontanitas gadis itu, sama sekali berbeda dengan Anya Smith yang biasanya.
Brak!
Anya menutup pintu mobil, dan segera berjalan menyusuri jalanan berdebu dan terjal di depannya.
"Anya!" Xavier keluar dari mobil hendak mengejar gadis itu, tapi ia hentikan langkah saat sadar tindakan bodohnya yang tak logis. Bagaimana mungkin ia meninggalkan mobil milik Mr. Barry disana.
"Anya, hai ... pelayan, masuklah kembali ke dalam mobil. Hai, aku tuan mu, menyuruhmu untuk masuk ke dalam mobil lagi!" teriak Xav untuk kedua kalinya.
Anya pun berbalik, menatap pria, lalu mengacungkan jari tengah kepadanya. Xav membelalakkan mata, lalu mengumpat.
"Sial!"
Dia pun kembali ke dalam mobil, lalu melajukan mobilnya perlahan sambil membunyikan klaksonnya berkali-kali dengan tujuan agar Anya mau kembali ke dalam mobil. Namun, tidak, Anya tak akan membuat ini mudah. Dia akan menggunakan sifat keras kepalanya untuk memberi pelajaran pada Xavier.
Tin ...tin ...tin....
Klakson terus berbunyi tapi Anya hiraukannya. Karena sudah sangat jengkel, Xav pun kembali hentikan mobil, lalu keluar. Dengan beberapa gerakan cepat, pria itu langsung menangkap tubuh Anya dan menggendongnya paksa. Secara paksa pula ia memasukkan gadis itu ke dalam mobil. Gadis itu berteriak dan meronta, akan tetapi Xav tak peduli.
"Duduk!" pekik Xav kasar. Pria itu lalu memasangkan sabuk pengaman untuk Anya.
"Kenapa kau sangat keras kepala?" Xav menggerutu.
"Karena kau menyebalkan! Kau juga sangat cerewet seperti nenekmu!" sahut Anya cepat.
Xav ingin sekali membekap mulut Anya, tetapi ia tak bisa melakukan hal itu. Meskipun badung, ia masih ingat bagaimana nasehat yang diberikan Isabelle—almarhum sang ibu. Pantang bagi seorang pria sejati mengangkat tangannya kepada wanita. Begitulah kata sang ibu. Xav masih mematri kata-kata itu di dalam otaknya. Oleh sebab itulah ia mengalah dengan gadis di depannya.
"Baiklah, memang aku seperti nenekku. Lalu apa masalah mu, Nona Smith?"
Anya tak mau menjawab, ia melengos dan menekuk kedua lengannya di depan dada dengan angkuh.
"Kalau kau tak mau berbicara dengan ku, maka jangan salahkan aku jika aku tak mau berakting di depan keluargamu," bisik Xav dengan nada mengancam.
Tak ingin gagal membuat keluarga besarnya menyesal, karena selama ini telah menyia-nyiakannya, Anya pun terpaksa kembali bersikap manis kepada Xavier.
"Tidak, maksudku jangan. Hmm ....baiklah, aku akan bersikap manis padamu," kata Anya dengan sekilas senyum yang amat dipaksakan.
"Sebaiknya kau tak usah tersenyum. Aktingmu sangat jelek, kau terlihat memaksakan bibirmu untuk melengkung," sungut Xav yang kontan membuat senyum Anya memudar.
"Baiklah jika itu maumu, sebentar lagi kita akan sampai. Jangan lupa dengan rencana kita tadi," kata Anya.
Xav hanya mengangguk mengiyakan.
Selang beberapa menit sampailah mereka di batas yang memisahkan kebun anggur luas dan pemukiman penduduk. Sesuai rencana, Xav menurunkan Anya disana. Gadis itu akan berjalan kaki menuju rumah sang nenek, dia datang kesana hanya untuk mengambil anjing kesayangannya, yang bernama Pacito.
Hal ini sengaja ia lakukan, untuk mengetahui bagaimana reaksi keluarganya, melihat dia datang dalam keadaan menyedihkan seperti itu.
Anya pun mulai berjalan menyusuri jalanan batu di kampungnya. Beberapa tetangga yang mengenal dirinya, hanya melihat tanpa mau menyapa. Bahkan saat ia melewati sebuah rumah besar dengan halaman luas yang dipenuhi oleh tanaman anggur merah, yakni rumah Emily sepupunya, mereka hanya memerhatikan Anya dari jauh. Seraya berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Bahkan Anya sempat melihat bagaimana Emily lebih memilih menyelinap ke dalam rumah, daripada menemui dirinya ataupun sekedar menyapa.
Ini pasti karena sang nenek— Beatrice, wanita tua yang bagi Anya sangat mirip nenek sihir itu, sudah mengabarkan tentang keburukan Anya ke seantero kampung. Mungkin soal dia yang tidak mengirim uang sudah tersebar luas. Manusia hanya mau mendengarkan apa yang ingin mereka dengar, tentu saja keburukan dan aib orang lain adalah santapan lezat bagi mereka.
"Uhmm ... Bukankah itu cucu Beatrice?" Ia mendengar seseorang berbisik di belakangnya, tepat setelah ia melewati sebuah kedai kopi tradisional.
"Oh, anak dari si pemabuk itu? Dia sangat durhaka kepada neneknya, apa kau tahu itu?"
Anya mendengar, tapi tak pedulikan hal itu. Baginya, menanggapi hal yang tak berguna hanyalah membuang waktu saja. Tak ada gunanya menjelaskan sesuatu pada orang yang telah menghakimi kita tanpa kroscek fakta. Jadi biarkan saja, hiraukan saja pandangan mata aneh yang ditujukan padanya.
Langkah gadis itu berhenti di depan sebuah rumah kecil, rumah kayu sederhana. Sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam, Anya menghela nafas panjang terlebih dahulu.
"Apa yang kau lakukan di rumah ku?!" teriak Beatrice dengan suara kasar dan keras.
"Kau! Dasar cucu tidak tahu diri, pergi kau dari rumahku, aku tak sudi menerima mu disini lagi!"
"Nenek, siapa yang datang?" Anak dari bibi Magdalene, Silvania, datang. Gadis berambut ikal itu terbelalak saat melihat Anya sudah berdiri di depan pintu.
"Anya ... " Silva begitu senang melihatnya.
"Silva! Jangan menyentuh gadis kotor itu!" Teriak Beatrice lagi.
"Dia telah menjual dirinya, menjual keperawanannya untuk mendapatkan banyak uang. Kau kira aku tidak tahu, kalau kau datang kepada ayahmu yang bajingan itu? Aku sungguh kasihan kepada ibumu, dia pasti sedang menangis di kuburannya sekarang. Karena punya anak jalang dan bodoh seperti mu!"
"Nek, hentikan ucapan mu!" Anya yang sedari tadi diam, akhirnya tak dapat lagi menahan diri.