"Apa? Sekarang kau berani berteriak kepadaku?!" Beatrice melangkah maju, menuju ke tempat Anya berdiri. Gadis itu masih membeku di bibir pintu, Silvania yang tadinya ingin memeluk dirinya pun terdiam dan tak berani berkutik. Gadis desa polos yang selalu menjadi pesuruh neneknya yang jahat itu, tampak ketakutan mendengar lantang suara teriakan Beatrice.
"Aku tidak pernah menjual diri kepada siapapun, aku juga tak pernah menjual keperawanan ku."
"Kau jangan berdusta padaku, Anya. Aku sudah tahu semuanya, ayahmu yang pemabuk itu telah menceritakan segalanya kepadaku. Beberapa hari yang lalu dia datang, dan memberiku lima ribu dollar. Dia mengasihani ku, tapi aku tidak menerima uang itu—"
"Tapi, Nek, bukankah kau menggunakan uangnya untuk membeli pakaian baru dan perhiasan?" sahut Silva, yang tak bisa menahan diri untuk membiarkan kebohongan besar terjadi.
Anya tersenyum kecut, sembari menatap wanita tua yang telah membuat hidupnya lima kali lebih menderita dari yang seharusnya.
"Diam kau, Silva!" tanggap Beatrice yang terlihat salah tingkah, karena kebusukannya tercium oleh Anya.
"Oh, jadi kau membeli perhiasan dan pakaian baru dengan uang yang diberikan ayah?" Anya bertanya dengan nada mengejek.
"Tidak, tentu saja tidak," bantah Beatrice.
Anya menekuk kedua tangannya di depan dada, menatap wajah renta yang penuh kelicikan itu dengan seksama. Gadis itu lalu maju beberapa langkah, mendekati sang nenek.
"Nek ...." Dia menyentuh pundak wanita bergaun biru tua itu.
"Enyahlah dari hadapan ku! Jangan berani-berani untuk datang kepadaku lagi."
"Nek ..., apa kau tidak lelah terus-menerus berbohong kepadaku?" tanya Anya dengan nada rendah, suaranya lirih hampir tak terdengar. Ini adalah saat yang sulit bagi Anya, ia akan mengeluarkan segala kepahitan yang selama ini coba ia telan bulat-bulat.
"Ber—berbohong? Apa maksudmu berbohong? Aku tidak pernah berbohong sedikit pun padamu!" Wanita tua itu mendorong Anya, sehingga gerakan yang tiba-tiba itu membuat Anya tak siap dan limbung, hampir saja tersungkur jika Silva tak segera menangkapnya.
"Aku sudah tahu tentang semua kebohongan yang nenek lakukan. Tentang uang tabungan sekolah ku yang nenek habiskan untuk berjudi. Tentang kejahatan yang nenek lakukan, hingga membuat ibu meninggal." Anya mulai menitikkan air matanya.
Beatrice terkesiap, matanya mengatup membuka beberapa kali. Bibirnya membeku, lidahnya seolah kelu karena tak satupun kata pembenaran keluar dari lisannya.
Perlahan wanita renta itu mundur beberapa langkah, lalu terduduk di kursi kayu usang yang menjadi perabot satu-satunya di ruang tamu.
"Aku tahu penyebab kematian ibuku, Nek. Kau yang telah membuat ibuku mati konyol, di tangan para laki-laki biadab itu!" Anya berteriak histeris sesenggukan.
"Kau adalah penjahat, Nek. Kau mencuri uang dan masa depanku, kau juga telah membunuh ibuku secara tidak langsung!"
"Ibu!"
Silva menatap seseorang yang kini telah berdiri di belakang Anya. Bibi Magdalene, kakak dari ibunya.
"Ada apa ini? Anya? Kapan kau datang, nak?" Magdalene hendak menyentuh dan memeluk Anya, akan tetapi gadis itu mundur dan menepis uluran tangan Magdalene.
"Kau juga sama saja, bibi. Kau mengetahui semua kejahatan nenekku, tapi kau diam saja. Kau tega membiarkan ibuku, bekerja di rumah pria gila itu, hanya demi menutup hutang judi nenek!"
Magdalene tak kalah terkejut saat mengetahui jika Anya telah tahu tentang semua kebenaran yang selama ini mereka sembunyikan.
"Siapa yang memberitahu mu soal ini?" Magdalene mendekati Anya, tapi gadis itu mundur lagi beberapa langkah.
"Tak penting siapa yang memberitahu ku tentang kebenaran ini, aku hanya ingin memberi tahu kalian kalau sebentar lagi aku akan menikah. Kalian tak usah datang, karena aku tak akan mengundang kalian. Aku kesini hanya untuk mengambil Pacito." Gadis itupun bergegas menuju belakang rumah, dimana kandang Pacito terletak. Namum suara Silva menghentikan dirinya.
"Anya!" sahut Silva cepat.
"Pacito sudah tiada, dia, dia ...."
"Apa?!" Anya kembali dihantam kesedihan saat tahu jika anjing kesayangannya sudah mati.
"Aku membuang bangkai anjing itu di jurang, kalau kau ingin menemuinya kau bisa ikut terjun kesana. Agar kau mati sekalian cucu durhaka, sekarang pergi!"
"PERGI KAU DARI RUMAH KU?" Beatrice berdiri, dia memerintahkan Magdalene untuk menyeret Anya keluar dari rumahnya. Akan tetapi Silva tak tinggal diam, gadis itu justru membantu Anya. Dia ikut melawan ibunya yang bertubuh tinggi dan gempal itu.
"Jangan usir Anya, bukan Anya yang harus pergi dari rumah ini. Tapi nenek." Silva berteriak kencang melawan umpatan yang keluar dari mulut Beatrice. Serapah yang dia lontarkan untuk Anya.
"Silva hentikan, kau tidak boleh ikut campur!"
Plak!
Magdalene menampar pipi putrinya sendiri, hingga Silva seketika berhenti dan pegangi pipi sembari menangis.
"Silva ikutlah denganku!" tawar Anya.
"Kau tidak boleh tinggal bersama dua wanita jahat ini, aku tak ingin nasib mu berakhir seperti ibuku," Anya yang sudah terusir dan berada di luar rumah itu mengulurkan tangan pada Silva yang kini tersuruk di tanah.
Gadis itu tak segera membuat keputusan, dia menatap sang ibu dan Anya bergantian.
"Silva, kau jangan dengarkan rayuan iblis itu! Anya sudah jadi pelacur sekarang, kalau kau ikut dengannya, kau pasti akan dijual olehnya!"
"Tidak, Silva, aku tidak akan melakukan itu padamu. Justru sebaliknya, aku akan memastikan masa depanmu lebih baik dariku!"
Silva gamang, dia masih terlihat ragu-ragu.
"Tutup mulutmu, dan pergi dari sini! Jangan berani menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" Magdalene menyeret tubuh Anya dan melemparnya keluar. Bersamaan dengan itu sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Seorang pria dengan kemeja warna putih, berkacamata hitam keluar.
"Sayang, apa yang mereka lakukan padamu?" Xavier memulai aktingnya. Dengan gerakan dramatis, dia menolong Anya berdiri.
"S—siapa kau?" Magdalene tercengang pun Beatrice.
Pada mulanya dua wanita itu tak percaya dengan apa yang diucapkan Anya.
"Aku adalah .... "
"Keponakan dari Mr. Barrymore, aku yakin kalian mengenal siapa beliau. Bukankah beliau adalah tuan tanah disini? Hidup kalian pasti bergantung pada kemurahan hatinya kan?" Xav bertanya dengan nada mengejek.
"T—tuan, maafkan aku. Kenapa kau datang kemari? Apa kami membuat kesalahan?" Beatrice melangkah maju, dengan wajah gusar menghadapi Xavier.
"Tentu saja, kalian telah membuat kesalahan. Apa yang kalian lakukan kepada calon istriku?" Xav dengan nada marah.
Lagi-lagi kedua wanita itu melongo dengan mulut yang menganga. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar.
"Anya, aku akan menikah dengannya?" Silva bercelatuk, gadis itu kemudian bangkit.
Anya tersenyum penuh kemenangan, lalu mengangguk.
"Aku tidak berbohong seperti mereka membohongi ku, Silva. Oleh karena itu aku menawarkan padamu, maukah kau ikut denganku?"
Xav mengerutkan dahi, ia tak mengerti kenapa Anya tiba-tiba ingin membawa gadis kampung itu bersama mereka. Silva menganggukkan kepalanya mantap, dia bersedia ikut dengan Anya.
Baik Magdalene ataupun Beatrice membisu dan tak berani lagi melakukan apapun. Termasuk menghalangi Silva untuk ikut bersama Anya.
Mereka hanya bisa melihat mobil Xav meninggalkan tempat kumuh itu, seperti yang sudah Anya rencanakan mereka akan mampir ke makam ibu Anya terlebih dahulu sebelum kembali ke pondokan.