Kesalahan seringkali terjadi bukan karena disengaja. Namun bagaimana rasanya jika harus menjalani hidup dengan bayang-bayang kesalahan yang terus bermunculan tiap kali memadu kasih dengan pasangan?
***
"Dimana aku?" Seorang wanita mengerjap perlahan, rasa pening sekaligus heran campur aduk menjadi satu.
Perlahan, dia mulai bangkit sambil memijat kening yang terasa berdenyut nyeri. Bau alkohol yang menyengat membuatnya menutup hidung. Bola matanya yang berwarna coklat menyapu pandangan ke ruangan yang luasnya tidak lebih 10 x 20 meter. Ruangan yang terasa asing membuatnya mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya saling berkaitan satu sama lain.
Sedetik kemudian, dia baru sadar dengan keadaan tubuhnya sendiri yang tak lagi ditutupi sehelai benang pun. Tangannya bergegas menarik selimut, namun sayangnya sebuah benda yang cukup berat membuatnya kesulitan. Kini, matanya beralih melirik ke arah samping. Seorang pria asing tergeletak tepat di samping tubuhnya dengan keadaan setengah telanjang. Sebuah pekikan mengiringi keterkejutannya. Dia menutup mulut dengan telapak tangan agar tidak menimbulkan suara gaduh.
"Sialan!" Sebuah kalimat umpatan keluar dari bibir tipisnya yang berwarna pink alami. Matanya masih terbelalak lebar sebab tak percaya dengan sesosok makhluk yang tampak menawan. "Kenapa ada pria setampan ini?!"
Dia memukul kepalanya sendiri, "Duh! Kenapa aku bodoh sekali, sih?! Ini bukan waktu yang tepat untuk memuji ketampanannya!"
Entah hal bodoh apa yang telah dilakukannya semalam. Namun dia sangat yakin, sesuatu yang buruk dan salah pasti telah terjadi. Mungkin, ia dan pria asing ini telah melakukan sesuatu yang panas dan ... intim. Sayangnya, otak tak bisa berpikir dengan jernih apalagi saat mengingat bahwa ia telanjang bulat sekarang. Bisa dipastikan bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang cukup fatal.
"Astaga, Sophia! Kenapa kau bodoh sekali, sih?!" Ya, nama wanita itu; Sophia Vergara. Dia kembali menggerutu sendiri sambil menahan rasa kesal yang semakin menumpuk. Melihat keadaan tubuhnya sendiri yang tampak memalukkan lantas membuat wajahnya bersemu merah.
Semalam dia pergi ke Bar bersama dengan Jessica; sahabat sedari kecil. Namun entah hal buruk apa yang menimpanya sampai kini malah terjebak dengan pria asing yang bisa dibilang lumayan tampan. Apalagi dada bidangnya yang tampak menggoda untuk disentuh.
"Ugh ... Sialan! Ini bukan waktunya untuk memikirkan hal mesum!"
Dia kembali menggelengkan kepala menepis perasaan aneh yang perlahan mulai muncul di dalam dada. Bagaimanapun juga, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mencuri pandang ke arah pria tampan itu. Meski wajah serta tubuhnya terus menggoda iman.
Sophia meremas rambutnya dengan kasar. Melewati malam panas bersama pria asing tak pernah terlintas di dalam otaknya. Apalagi mengingat statusnya yang kini telah menikah. Bahkan untuk merasakan kenikmatan duniawi, dia tak perlu bersusah payah mencari pelarian apalagi mengajak pria asing untuk bercinta.
Sekarang, dia harus memikirkan alasan yang tepat agar tak membuat Suaminya curiga. Tak pulang semalaman pasti telah mengakibatkan banyak masalah. Lebih buruknya lagi, mereka berdua mungkin saja akan larut dalam perdebatan.
Sophia meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Jarinya bergerilya mengusap layar ponsel. Benar saja, ada puluhan panggilan tak terjawab serta ratusan pesan dari Radit. Namun sedetik kemudian matanya tertuju pada sebuah pesan dengan nama pengirim Jessica. Sejak semalam, sahabatnya ini bahkan tak mengirimkan pesan satupun. Padahal mereka berdua terpisah saat mabuk berat.
Ia menghela nafas panjang dan berat. "Sialan!"
"Andai saja kemarin aku tak minum terlalu banyak, mungkin kami tak akan berpisah satu sama lain dan hal buruk ini pasti tak akan terjadi." Penyesalan memang selalu datang diakhir. Ajakan untuk menemani sahabatnya yang sedang dilanda rasa kecewa akibat dikhianati oleh kekasihnya sendiri, justru menjadi momok permasalahan yang akan mengakibatkan hubungan suci pernikahannya hancur dengan pilar-pilar kepercayaan yang mulai roboh.
Sekelebat pikiran buruk hinggap di dalam kepalanya. Rasa khawatir tak bisa membuatnya tenang sama sekali. Mungkin saja sahabatnya itu telah melakukan kesalahan. Meskipun beberapa kali mencoba untuk menghubungi, namun ponselnya tidak aktif. Ia tak bisa berpikir positif sama sekali. Otaknya terasa kalut dengan keringat dingin yang terus mengucur.
"Ya Tuhan, semoga saja dia tak mengalami hal buruk …," Sophia meremas rambutnya sendiri. Sesekali menggigit jari tangan untuk mengusir rasa cemas.
Tanpa pikir panjang, ia langsung beringsut dari kasur dan memunguti pakaian yang telah berserakan di lantai.
"Ugh!" Dia mendesis pelan saat merasakan nyeri di bagian sensitifnya. Malam tadi, ia telah melakukan banyak hal gila. Bergerak liar di atas tubuh pria asing dan mendesah tak karuan dengan keringat yang terus bercucuran.
"Shit! Hanya mengingatnya saja membuatku hampir gila!" umpatnya kesal.
Sekelebat ingatan tentang malam panas yang telah ia lewati bersama pria asing, kembali muncul di dalam kepala. Kepingan-kepingan ingatan itu terus berputar bak sebuah kaset DVD. Ia masih ingat dengan jelas, bagaimana ia tanpa rasa malu menyeret dan memaksa pria asing ini untuk menyentuhnya. Lalu erangan penuh kenikmatan lolos dari bibirnya saat hentakan demi hentakan menghasilkan rasa surga dunia yang seharusnya dirasakan oleh sepasang suami istri. Tanpa sadar, mereka berdua telah sampai di puncak kenikmatan yang salah.
Bulir bening mulai menumpuk di kelopak mata. Perlahan mulai berkumpul dan siap untuk tumpah kapan saja. Andai saja kemarin malam mengurungkan niatnya, mungkin kesalahan malam tadi tak akan terjadi. Satu hal yang terus membuatnya menyesal, ia malah menikmati tiap sentuhan dari pria asing tersebut. Ia merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Ia masih ingat dengan jelas sikapnya bak wanita jalang yang merindukan sentuhan dari seseorang.
Sophia menghela napas panjang, lalu memejamkan mata sejenak agar air matanya tak tumpah. Dia tak ingin berkutat terlalu lama hanya untuk memikirkan sesuatu yang tidak jelas. Tak ada siapapun yang bisa membayangkan bahwa wanita yang terlihat polos sepertinya, ternyata berani melakukan kesalahan. Lebih tepatnya kesalahan yang tidak disengaja. Bahkan Radit; Suaminya sendiri pasti akan marah besar jika mengetahui hal ini.
Sebelum pria asing ini terbangun, dia harus segera pergi. Terlalu memalukkan untuk berbincang dengan seseorang yang telah diseret dengan paksa untuk naik ke atas ranjang dan memagut kenikmatan sesaat.
Dia meraih sebuah tissue dan menuliskan bait demi bait berisi kalimat permintaan maaf. Bagaimanapun juga, ia bersalah dalam hal ini. Tak lupa, ia juga meletakkan beberapa lembar uang sebagai ganti rugi.
Sesuatu yang salah telah terjadi dan kini hanya menyisakan penyesalan. Seberapa banyak pun menangis tidak akan bisa memutar waktu kembali. Ibarat kata, nasi telah berubah menjadi bubur.
Sebelum benar-benar melangkah pergi, ia kembali menoleh ke arah pria asing yang masih tergolek lemas di tempat tidur seusai bertempur. Ada rasa sesak di dada yang perlahan kembali menyeruak sampai ke tenggorokan.
"Aku harap kita tak akan pernah bertemu lagi,"