Adrian Adhitama, pria dingin yang seringkali membuat para gadis diluar sana tergila-gila bahkan sampai rela merangkak ke atas tempat tidurnya dengan wajah memelas. Namun tak pernah sekalipun tergerak untuk membuka pintu hatinya yang telah lama terkunci dengan gembok yang berkarat.
Ia selalu bersikap tenang. Ah, bukan. Lebih tepatnya dingin dan acuh.
Bahkan Frans; sahabat sekaligus asisten pribadinya itu seringkali merasa heran dengan sikap sahabatnya yang sangat dingin bahkan seolah tak tertarik dengan gadis manapun. Padahal, ada banyak pilihan yang bisa menjadi acuan.
Saat ini, Frans baru saja sampai di hotel. Sang Bos memberi perintah tanpa peduli dengan langit yang gelap. Bahkan ayam jantan baru berkokok beberapa menit yang lalu.
"Kau terlalu lambat," Baru saja menginjakkan kaki di lobby, suara dingin itu telah menyambut kedatangan Frans.
Pria bermata coklat itu menatap ke arahnya dengan tajam. Frans memilih untuk diam sebab ia sendiri sangat yakin, membela diri hanya akan berakhir dengan sia-sia.
"Oh, ayolah! Lagipula kenapa memanggilku seperti ini?" Frans mencoba untuk mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung apalagi kini atmosfer di sekitar terasa tidak nyaman.
Adrian menghela nafas panjang, tapi sepertinya dia tidak berniat untuk memberikan jawaban apapun atas pertanyaan yang baru saja diberikan oleh Frans.
Pria dingin itu justru bersikap dingin dan berlalu pergi lebih dulu meninggalkan sahabatnya yang masih terpaku di lobby hotel. Frans menghela nafas panjang lalu berbalik dan mengikuti Adrian. Andai saja pria menyebalkan itu bukanlah bos di tempatnya bekerja, mungkin sebuah pukulan telah mendarat tepat di wajah tampan miliknya.
Kesal. Itulah perasaan yang selama ini dirasakan oleh Frans.
Namun sebelum melangkah pria dihadapannya ini benar-benar menjauh. Tiba-tiba saja ia berbalik dan menodong Frans dengan tatapan tajam.
"Aku ingin kau mencari tahu tentang seseorang."
Frans mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya saling berkaitan satu sama lain. "Seseorang?"
"Hm. Ada seorang kucing liar yang telah membuatku merasa terhina. Dan ... sepertinya aku harus menangkapnya agar bisa memberikan sebuah hukuman." Adrian bicara dengan bibir yang tersungging sinis. Bagaimanapun caranya, dia harus segera menemukan wanita itu.
Sophia, ia telah melakukan sebuah kesalahan besar karena meremehkan seorang pria dingin seperti Adrian. Pria dingin ini tak akan pernah meloloskan mangsanya begitu saja sebelum benar-benar membuatnya terkapar.
"Kucing liar?"
Adrian memutar bola matanya dengan malas. "Dia seorang wanita, Frans! Dan kau harus segera menemukan wanita itu secepatnya."
Frans terkekeh geli, ia tahu dengan jelas bahwa sahabatnya ini tidak pernah tertarik dengan satu wanita manapun. Padahal selama ini hidupnya selalu dikelilingi dengan berbagai wanita cantik dan menarik. Namun sepertinya mereka semua masih belum bisa menaklukan pria dingin yang lebih mirip bak sebuah gunung es.
Tapi sekarang? Adrian malah mati-matian mencari seorang wanita yang tak jelas asal-usulnya.
"Siapa wanita itu?"
"Aku tidak tau," jawab Adrian dengan entengnya.
Frans mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya saling berkaitan satu sama lain. "Bagaimana bisa kau memintaku untuk mencari seseorang tanpa tahu identitasnya sama sekali?"
Adrian melirik dengan tatapan tajam. "Jika tau siapa wanita itu, maka aku tidak akan memintamu untuk mencarinya."
"Lagipula ini tugasmu, Frans. Dan aku ingin mendapatkan informasi secepatnya." ujarnya lagi seolah mencari seseorang yang tidak diketahui identitasnya sangatlah mudah.
Bukan hanya dingin, namun ia juga sangat keras kepala.
"Memangnya siapa wanita itu? Ini pertama kalinya bagiku melihatmu rela bersusah payah untuk mencari seseorang. Bahkan, kau tidak pernah peduli dengan rekan kerja yang berkhianat. Tapi apa ini?"
Adrian terdiam sambil memikirkan tentang rasa tertarik yang entah darimana asalnya. Ia juga sadar, selama ini selalu mengacuhkan banyak hal.
"Entahlah, mungkin aku hanya tertarik saja."
Frans mengusap wajahnya dengan kasar. "Hah, aku senang karena kau sekarang bahkan terlihat seperti seorang pria normal karena tertarik dengan seorang wanita. Tapi bagaimana bisa kau tidak tahu namanya?"
Akan jauh lebih mudah untuk menemukan seseorang jika mengetahui sedikit tentang identitasnya. Namun, Adrian bahkan tak mengetahui namanya sama sekali.
"Ck! Lalu apa gunanya memiliki seorang asisten sepertimu jika tidak bisa menemukan seseorang?"
Jleb!
Entah mengapa namun pertanyaan yang baru saja diberikan oleh Adrian justru terdengar seperti sebuah kalimat berisi penghinaan.
"Hah?! Sialan kau--"
"Apa?" Adrian bertanya dengan alis yang naik sebelah. Semakin membuat emosi yang sejak tadi berusaha dibendung terasa menggebu-gebu.
"Memangnya ada yang salah dengan ucapanku barusan?"
'Andai kau bukan sahabat maupun atasanku, aku pasti telah menghancurkan seluruh tubuhmu!' umpat Frans dalam hati.
Dia harus tetap bersikap dengan tenang dalam menghadapi majikan yang menyebalkan. Karena hidup selalu membutuhkan uang.
Frans sangat paham dengan sifat sahabatnya yang seringkali membuat orang lain merasa sakit hati. Meskipun demikian, namun tak jarang ucapannya berhasil menggores hati Frans.
"Baiklah, aku akan segera mencari informasi dari wanita itu." Bagaimanapun juga, Frans tetap harus menjalankan perintah dari atasannya. Meski kesal dengan sikapnya yang cukup menyebalkan.
Adrian hanya diam, namun raut wajahnya menggambarkan dengan jelas isi hatinya. Meski merasa aneh dengan sikap dari sahabatnya ini, Frans memilih untuk tak banyak berkomentar.
"Oh, aku lupa!"
Adrian mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya saling berkaitan satu sama lain. Dia kembali menoleh dengan tatapan tajam. "Apalagi?"
"Tuan memintamu untuk pulang ke rumah," ujar Frans dengan nada yang terdengar bergetar, ia menggaruk belakang kepalanya yang tak terasa gatal.
Adrian menghela nafas malas. Ia bukanlah tipe seseorang yang gemar pulang ke rumah untuk bertemu dengan keluarga. Lebih tepatnya, dia malas jika harus bertemu dengan manusia-manusia yang kerap menggunakan topeng penuh kebohongan.
Ada banyak manusia yang seringkali mencoba untuk mendekati hanya karena melihat dari segi penampilan. Itu sebabnya Adrian selalu berlaku dingin. Bahkan pada keluarganya sendiri.
Karena ia tahu dengan jelas, bahwa musuh yang paling berbahaya berasal dari orang terdekat.
"Aku malas untuk pulang,"
"Tapi--" sebelum kalimat selesai diucapkan, Adrian sudah lebih dulu memotongnya.
Adrian menghela nafas panjang. "Kau tau sendiri hubunganku dengan mereka semua, bukan?"
Frans mengangguk perlahan. Ia tahu bahwa pria di hadapannya ini memang memiliki masalah sendiri. Kadang, orang lain berlomba untuk bisa pulang ke rumah agar bertemu dengan keluarga. Namun berbeda dengan Adrian. Sepertinya, rumah bukanlah sebuah tempat tujuan untuk pulang.
Karena dia memiliki banyak kenangan pahit yang menyisakan rasa sakit dan juga ingatan kelam yang sulit untuk dilupakan.
"Lagipula, entah apa yang sedang direncanakan oleh pria menyebalkan itu." Adrian menatap kosong ke arah langit. Tatapan matanya tampak cukup menyedihkan. Dibalik sikapnya yang dingin, ia memiliki hati yang rapuh.