Plak!
Tanpa basa-basi lagi, gadis itu menampar Radit. Cukup sudah!
Dia memang mencintainya. Tapi apakah perlakuan buruk ini pantas didapatkan hanya karena mencintai pria yang sudah menikah?
Andai saja cintanya ini ditolak mentah-mentah mungkin semua ini tak akan terjadi. Penghinaan yang dia dapatkan sekarang mungkin tak akan pernah dirasakan. Seharusnya, menjadi yang kedua selalu diutamakan. Begitulah pepatah beberapa orang.
Namun bukannya mendapat cinta seperti impiannya. Gadis itu hanya terus dihadiahi dengan luka meski sekujur tubuhnya telah dihiasi dengan goresan menganga.
"Jangan menghinaku, Radit! Jika kau berani melakukan hal menjijikkan itu lagi maka aku tidak akan segan untuk membuat hidupmu hancur!"
Biasanya gadis itu terus diam saat mendapatkan banyak penghinaan. Dia diam karena memikirkan tentang perasaan Radit. Tapi sepertinya selama ini hidup gadis itu telah dikontrol oleh manusia yang tak punya hati. Bukan hanya diperlakukan dengan buruk namun dia juga semakin larut dengan rasa sakit.
Radit mengusap wajahnya yang kini berdenyut nyeri. Tamparan yang baru saja dia terima tak terlalu sakit. Namun ancaman yang keluar dari mulut gadis di hadapannya ini justru membuat amarahnya membara.
"Hah, sepertinya selama ini aku bersikap terlalu baik padamu." Radit menghela napas panjang sebelum kembali melayangkan tatapan tajam. "Bukan hidupku yang akan hancur. Tapi hidupmu sendiri, Jessica. Bagaimana pandangan orang-orang jika tau seorang gadis lajang seperti dirimu menggoda pria yang telah menikah? Terlebih lagi pria itu adalah suami dari sahabatnya."
Kalimat yang baru saja diucapkan pria itu bagaikan petir di siang bolong. Ya, gadis yang memiliki hubungan gelap dengan Radit memanglah Jessica; sahabat Sophia.
Jessica hanya bisa diam mematung. Bahkan hanya dengan membayangkan pandangan serta tatapan buruk dari orang sekitar berhasil membuat nyalinya menjadi ciut. Radit bukan pria sembarangan. Jessica pikir dengan sedikit mengancam akan berhasil membuat pria itu bertekuk lutut. Namun justru itu awal bumerang dari kehancuran hidupnya sendiri.
Orang di luar sana pasti akan langsung menghakiminya. Mereka pasti akan melontarkan berbagai kalimat yang menyakitkan. Lalu bagaimana dengan Sophia? Sahabatnya itu pasti akan meninggalkan dirinya karena telah kecewa.
Radit tersenyum tipis. Senyum yang tampak begitu sinis. Dugaannya memang benar, Jessica tidak akan berani berbuat macam-macam karena gadis itu pasti sudah tahu dengan jelas konsekuensi apa yang akan didapatkan oleh dirinya sendiri jika berani mengungkapkan tentang hubungan gelap mereka pada publik.
"Jessica, ingatlah satu hal bahwa hubungan kita tidak akan pernah bisa dipublikasikan. Kau sendiri juga sudah tahu dengan jelas bahwa menjadi yang kedua itu artinya harus banyak mengalah."
Jessica hanya bisa diam membeku saat pria itu mengecup beberapa area sensitifnya. Gadis itu hanya mengeluarkan suara lenguhan panjang. Namun pikirannya justru entah kemana. Dia tahu dengan jelas bahwa ini semua salah dan harus segera diakhiri secepat mungkin. Tapi tak semudah itu bisa lepas dari belenggu Radit. Pria itu bahkan bisa melakukan segala cara untuk terus mengekangnya.
Jessica benci pada dirinya sendiri yang telah jatuh cinta kepada suami sahabatnya. Dia juga tidak ingin memiliki perasaan yang salah seperti ini. Tapi mau menepis bagaimanapun juga, rasa cinta ini tetap hadir dan mengisi ruang kosong di dalam hatinya yang hampa.
'Pia, maaf ... sepertinya aku tidak bisa lagi mengalah untuk cinta.'
Disisi lain,
"Aduh!" Tanpa sengaja, pisau itu menggores jari Sophia. Dia langsung memasukkan jarinya itu ke dalam mulut. Menghisap darah yang keluar dengan telaten.
Biasanya dia tak bersikap ceroboh seperti ini. Tapi entah mengapa, saat memasak dia justru melamun. Seolah ada firasat bahwa hal buruk akan terjadi.
"Ugh! Radit pasti akan mengomel jika melihat keteledoran ku," gumam Sophia sambil tersenyum tipis.
Dia menatap ruangan dapur yang penuh kenangan. Radit selalu memperlakukannya bak seorang ratu yang berharga. Hal itu tentu saja terkesan wajar sebab mereka telah menikah. Kadang, Sophia heran dengan perubahan sikap suaminya. Radit seringkali bersikap begitu romantis. Tapi saat marah ... pria itu langsung berubah drastis.
Akhir-akhir ini, Sophia telah bersikap cukup acuh pada suaminya itu. Maka dia berniat untuk memasak makanan kesukaan Radit. Barangkali masakannya itu bisa menjadi pelipur lara sebab telah lama diacuhkan.
"Hah, kenapa dia belum pulang juga? Biasanya dia datang tepat waktu." Sophia menghela nafas panjang. Beberapa kali mencoba menelpon namun panggilannya itu selalu diabaikan.
Sophia kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Dia memilih untuk kembali berkutat dengan kegiatan memasak. Meski jauh di dalam lubuk hati merasa khawatir tentang keadaan suaminya.
***
"Kamu mau pulang secepat ini?"
"Hm," Radit hanya menjawabnya dengan singkat. Panggilan tak terjawab dari istrinya membuat pria itu khawatir.
Jessica menghela nafas panjang. Selalu seperti ini. Radit datang hanya untuk melampiaskan nafsunya saja. Lalu setelah dia puas bermain maka dengan seenaknya pergi tanpa memikirkan perasaan gadis itu sama sekali.
"Memangnya kenapa harus buru-buru, sih? Lagipula dia juga tidak akan curiga sama sekali 'kan?"
Jessica tahu dengan jelas bahwa sahabatnya itu begitu naif. Sophia selalu menaruh kepercayaan kepada Radit. Padahal pria itu telah mengkhianatinya sejak lama bahkan dia tidak segan untuk mengotori cinta suci mereka.
Radit melirik sekilas, "Dia memang tidak curiga. Tapi aku tidak ingin membuatnya menunggu lama."
Jessica benci mendengarnya. Tidak ingin membuat sahabatnya itu menunggu lama? Lalu apa kabar dengan Jessica? Dia bahkan harus menahan rindu meski itu berat. Dia harus bersabar melihat kemesraan sepasang suami istri itu seolah tak merasakan apapun padahal hatinya terbakar api cemburu.
"Lalu bagaimana denganku, Radit? Apa kamu lupa kalau aku juga seringkali menunggumu?" Jessica kembali merengek. Sungguh dia ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi. Tapi sepertinya pria itu enggan.
Radit menghela napas panjang. Dia melirik dengan malas. "Jangan kekanakan! Apa aku harus mengingatkanmu kembali tentang posisi menjadi orang kedua yang harus selalu mengalah?"
Jessica meremas selimut dengan kesal. Dia hanya ingin mendapatkan waktu lebih banyak meski hanya sehari saja. Setidaknya mereka bisa menghabiskan waktu yang lama tanpa perlu takut dengan gangguan orang lain. Termasuk Sophia.
"Kamu jahat, Radit! Aku hanya ingin bersama denganmu lebih lama, itu saja. Tapi kamu selalu memprioritaskan istrimu itu dibandingkan denganku." Gadis itu memasang wajah masam. Permintaannya ini memang cukup tak tahu diri sebagai seseorang yang telah hadir di dalam hubungan orang lain.
Radit meraih ponselnya di atas meja. Dia memandangi tubuh Jessica. Gadis itu masih setia di atas kasur dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Bukankah kamu juga tau kalau menjadi yang kedua tentu saja akan selalu berada di belakang. Jadi jangan pernah berpikir untuk bisa merangkak ke posisi Sophia. Karena dia berbeda jauh denganmu, Jess."
Setelah mengucapkan kalimat yang menyakitkan. Radit berlalu pergi meninggalkan apartment Jessica. Sedangkan gadis itu hanya bisa menahan amarah yang makin menggunung.
"Sial! Apa aku harus menyingkirkan wanita itu supaya bisa menjadi yang utama bagimu!?"