Aisha menapaki koridor dengan langkah cepat. Napasnya memburu naik turun tak menentu. Max telah membuatnya merasa bimbang. Meski tak ada satupun hal yang perlu ditakutkan mengenai pewaris di keluarga Adhitama. Namun perkataan putranya barusan tak bisa dianggap sepele.
Selama ini, Aisha telah berusaha untuk mengekang sepenuhnya. Dia bahkan tidak segan untuk mengorbankan putra kedua dari keluarga Adhitama. Adrian telah berada di dalam genggaman, namun sepertinya itu masih belum cukup apalagi mengingat tentang kebenaran yang tak bisa ditutupi. Meski Adrian bahkan tidak menginginkan kedudukan apapun namun orang-orang di dalam keluarga ini pasti tak akan tinggal diam.
Apalagi Abraham, suaminya itu pasti akan tetap memberikan hak kepada Adrian.
Meski Max adalah putra sulung, namun di dalam tubuhnya tak mengalir darah keluarga Adhitama. Manusia-manusia busuk itu pasti akan melayangkan protesnya jika mengetahui tentang pewaris utama akan diberikan pada Max.
"Hah, bagaimana caranya untuk menenangkan anak itu? Dia pasti akan melakukan hal bodoh lagi jika emosinya tetap membara seperti ini." Aisha memijat keningnya yang terasa pening.
Dia duduk di sofa besar sambil menyapu pandang ke langit-langit ruangan pribadinya. Ternyata perjuangan untuk menjadi nyonya di rumah ini cukup sulit. Bukan hanya posisinya yang tergeser bahkan diinjak-injak namun putranya juga bisa saja mengalami hal yang sama.
Ingatannya kembali ke masa saat dia masih berumur 22 tahun. Aisha Aswari. Putri bungsu dari keluarga Aswari, dia bertekad untuk merangkak ke dalam ranjang Abraham, pria yang sebentar lagi akan diangkat sebagai pewaris. Bisa disimpulkan, Abraham akan mendapatkan jackpot. Aisha tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja.
Aisha bahkan telah menyingkirkan banyak kandidat dan salah satunya adalah ibu dari Adrian.
Namun sayangnya, Aisha kalah satu langkah. Meski telah berusaha untuk memutus rantai hubungan Abraham dengan wanita itu, dia tetap saja kecolongan.
Terbukti dengan kehadiran Adrian.
Mau tidak mau. Aisha harus menerima kenyataan bahwa kini di dalam biduk rumah tangganya telah hadir sebuah madu yang terasa pahit.
Aisha memang istri pertama. Tapi dia selalu menjadi yang kedua. Bahkan tak jarang terlihat terabaikan. Dia tidak ambil pusing tentang perhatian yang tidak adil. Namun jika kasih sayang itu terus mengalir hanya untuk istri kedua maka bisa dipastikan bahwa kedudukannya bisa saja tergeser. Dan, Aisha tidak ingin hal itu terjadi. Maka bukan hal aneh jika kematian adalah salah satu pilihan.
Meski setelah berhasil menyingkirkan wanita itu dari hidup Abraham. Aisha masih saja dilingkupi dengan belenggu masa lalu yang kelam.
Dia tidak mengandung darah daging Abraham. Max, bukanlah anak kandung Abraham. Tapi untungnya, pria itu masih memiliki belas kasih dan membiarkan Aisha dan putranya hidup.
Tapi apa keuntungan dari itu semua?
Bahkan meski memiliki kesempatan untuk kedua kalinya, Aisha tetap jadi tidak bisa melangkah jauh karena kehadiran Adrian di dalam keluarga Adhitama.
Aisha tersenyum tipis. Ia mencengkram gelas kaca dengan erat hingga tanpa sadar membuat benda itu pecah. Kini tangannya diselimuti dengan wine dan tetesan darah. Tapi sepertinya luka yang menganga itu tidak memberikan efek apapun.
"Aku sudah merangkak sampai sejauh ini. Sangat tidak mungkin untuk kembali apalagi berbalik arah." gumamnya lirih.
Dia membersihkan tangannya. Meski darah terus menetes, ekspresi wajahnya tak berubah. Dia tetap dingin bak boneka cantik yang tak bernyawa.
"Helena ... bahkan meski anakmu hidup sampai sekarang, dia tetap saja membungkuk saat berhadapan denganku. Ini memang sudah seharusnya. Seorang benalu tidak seharusnya bersikap angkuh. Untung saja anakmu yang bodoh dan naif itu mudah diperdaya. Dan aku bersyukur karena telah membunuhmu sejak dulu."
***
Frans menatap sahabatnya yang sejak tadi termenung. Adrian tak pernah bersikap aneh seperti ini bahkan meski pria dingin itu mendapat masalah besar sekalipun.
Tiba-tiba Adrian menolehkan kepalanya. Seolah dia tahu sejak tadi seseorang sedang memperhatikannya. Matanya yang tajam bak belati pedang menghunus keberanian Frans.
"Apa?"
Adrian masih diam. Namun tatapannya yang tajam itu tetap mencabik-cabik keberanian Frans.
"Ini cerita tentang temanku," Adrian mulai berbicara pelan. Namun tatapannya masih serius.
Frans mengernyitkan keningnya hingga kedua alisnya saling berkaitan satu sama lain. Teman, katanya? Sungguh dia ingin tertawa sekarang. Frans tahu dengan jelas bahwa sahabatnya ini tidak memiliki teman selain dirinya. Lalu siapa yang dia ceritakan?
"Kenapa dengan temanmu?" tanya Frans. Meski dia tahu kalau pria di hadapannya ini hanya sedang mengalihkan perhatian.
"Setiap hari dia memikirkan seorang wanita. Bahkan saat tidur sekalipun, dia tetap bermimpi tentang wanita itu."
Frans menahan tawa agar tak meledak. Gila! Apa pria dingin ini sedang tertarik dengan seseorang?
"Lalu apa yang aneh dari hal itu? Mungkin temanmu itu menyukainya. Jadi itu adalah hal yang cukup wajar."
Adrian menghela napas panjang. Dia kembali menatap tajam ke arah Frans. "Masalahnya dia menyukai wanita yang sudah bersuami."
Frans tersentak kaget. Apa sahabatnya ini sedang membahas tentang wanita asing yang telah menghabiskan malam panas bersama dengannya?
Adrian bahkan telah mengetahui bahwa wanita asing itu telah bersuami. Jadi dugaannya pasti benar.
Gila!
Frans senang saat mengetahui sahabatnya yang dingin dan terkenal sulit didekati ini tertarik dengan seseorang. Bahkan rumor buruk yang mengatakan bahwa sahabatnya ini menyukai sesama jenis bisa dipastikan salah kaprah. Tapi satu hal yang membuatnya terganggu. Apa mungkin sahabatnya memang menyukai wanita itu? Padahal Adrian tahu dengan jelas kenyataan bahwa wanita itu telah menikah.
"Hah, apa kau menyukai wanita itu?"
Adrian membelalakkan matanya. "Tidak! Aku bercerita tentang temanku, bukan diriku sendiri."
Frans menghela napas panjang. Apa Adrian menganggapnya bodoh?
"Oke, itu temanmu." Frans tersenyum tipis. "Tapi kenapa ceritanya sangat mirip dengan pengalaman hidupmu, ya?"
Adrian tersentak kaget. Dia diam membeku beberapa saat sebelum kemudian kembali melayangkan tatapan tajam dengan wajahnya yang tampak canggung.
"Sudah kubilang itu bukan cerita tentangku." ujarnya sambil memalingkan wajah.
Frans tak terkejut sama sekali dengan perubahan sikap sahabatnya ini. Adrian tampak sangat berbeda setelah bertemu dengan wanita asing itu. Bahkan meski kenyataan bahwa wanita yang telah menarik perhatiannya itu sudah menikah sekalipun tetap tak menggugurkan niat Adrian.
"Hah, terserah apa katamu." Frans malas untuk berdebat. Meski sudah jelas terlihat bahwa sahabatnya ini memang telah jatuh cinta.
Adrian tampak berpikir sebelum kembali melontarkan pertanyaan. "Lalu apa yang harus dilakukan temanku agar tidak teringat dengan wanita itu?"
Frans mengedikkan bahu acuh. "Entahlah." Dia tersenyum tipis, "Mungkin temanmu itu telah jatuh cinta. Jadi sangat sulit untuk melupakan seseorang sedangkan hatinya telah hilang."
Adrian mengernyitkan kening hingga kedua alisnya saling berkaitan satu sama lain. "Hatinya telah hilang?"
Frans mengangguk pelan. "Ya. Bukankah wanita itu sudah mencuri hatinya?"