Chereads / Our Mistake / Chapter 7 - Pria Dingin

Chapter 7 - Pria Dingin

Radit melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kali ini, dia ingin segera sampai ke tempat tujuan tanpa menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Hasrat yang tertunda membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Dan sosok yang kini sedang ia datangi kemungkinan besar akan memberikan sebuah kejutan.

Tak perlu menunggu waktu lama, iya telah sampai di sebuah apartemen mewah yang cukup mentereng di tengah kota. Langkahnya tergesa menuju ke sebuah tempat yang dihuni oleh seorang gadis cantik yang telah berhasil menarik perhatiannya.

Tanpa perlu mengetuk pintu ataupun memencet bel, Radit sudah lebih dulu menekan beberapa tombol sandi yang sudah ia hapal diluar kepala.

CEKLEK!

Punggung seorang gadis langsung menyapa. Sebuah seringai seumpama serigala yang melihat mangsanya langsung terukir di wajah Radit.

GREP!

Radit memeluknya erat hingga membuat gadis itu terperanjat kaget. Suara pekikan yang terdengar manja lolos secara mulus dari bibirnya.

"Kamu sudah datang?"

"Hm," lirih Radit sambil membenamkan wajahnya tepat di tengkuk gadis itu. Ia menghirup aroma segar yang menguar dari tubuhnya.

"Itu geli, Radit!"

Bukannya mengendurkan pelukan, Radit justru makin mengencangkannya seolah tak ingin mengakhiri kesenangan duniawi ini.

Ia sendiri lupa kalau sudah memiliki istri yang nyaris sempurna di rumah. Bukan. Lebih tepatnya, ia yang berusaha untuk lupa dan menutupinya.

Gadis berparas cantik itu mendorong tubuh Radit dengan kasar. Seketika, raut wajah pria tampan itu berubah dingin dengan gurat kekesalan yang tampak jelas menghiasi wajahnya.

"Kenapa?" Ia bertanya dengan wajah yang menunduk menatap ke arah lantai marmer yang dingin.

Penolakan bukanlah sesuatu yang bisa ia terima. Terlebih lagi, hari ini telah mendapat dua penolakan sekaligus.

Ia datang ke tempat ini bukan untuk mendapati penolakan. Melainkan ia datang karena ingin menjemput kesenangan. Tapi apa ini?

Gadis berparas cantik itu malah menolaknya mentah-mentah.

Radit mendongakkan kepala, menatap nyalang ke arah pemilik manik mata berwarna coklat tua itu.

"Kamu sendiri tau kalau aku tak suka dengan penolakan."

Radit menarik lengannya dengan paksa. Membuat manik gadis itu terbelalak lebar. Ia berusaha sekuat mungkin agar bisa lepas dari cengkraman pria dingin ini. Hanya dengan melihat tatapannya saja sudah bisa mengartikan bahwa sang pujaan hati kini dalam keadaan yang tidak baik. Dan ... ia tahu dengan jelas bahwa pria ini tak akan bersikap lembut saat marah.

Hanya akan ada umpatan serta pukulan sebagai jawaban.

"Sa-sakit!"

Meski berusaha untuk mengiba sekalipun, Radit tak akan luluh semudah itu.

Radit tersenyum sinis, melihat lawan bicaranya kini tampak lemah semakin membuatnya merasa berada di atas awan. Bahkan meski memasang raut wajah mengiba sekalipun tak akan membuat pria dingin ini kasihan.

"Kamu yang memulainya lebih dulu, Sayang. Jadi jangan salahkan aku jika berbuat kasar seperti ini. Jika saja kamu bisa diajak bicara dengan halus, maka aku juga akan memperlakukanmu dengan lembut." Radit berbisik, namun suaranya itu justru semakin membuat bulu kuduk bergidik.

Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu dengan tatapan tajam?

"A-aku minta maaf--"

"Sst!" Sebuah telunjuk mendarat tepat dia atas bibir gadis itu.

Radit tersenyum tipis, "Aku tidak membutuhkan maaf darimu."

Ia melepaskan cengkraman itu. Kini, pergelangan tangan gadis dihiasi dengan bekas cengkraman yang tampak membiru. Ia meringis menahan rasa sakit. Meski begitu, tak membuat pria dingin ini luluh sedikitpun.

Baginya, wanita hanyalah makhluk indah nan menggoda. Ia hanya menganggap pada wanita di dunia ini seumpama barang yang bisa digunakan saat dibutuhkan dan dibuang saat bosan.

Tapi ... dia memperlakukan satu sosok wanita dengan cara yang berbeda. Siapa lagi kalau bukan Sophia?

Bahkan saat ini, Radit masih merasa heran mengapa ia bisa begitu tergila-gila pada wanita itu.

'Hah, mengingat wajahnya membuatmu bergairah!'

Radit beralih menatap gadis itu, lalu tak lama sebuah seringai licik muncul. "Mari kita bersenang-senang, Sayang!"

***

Pukul 18.35 WIB.

Sosok pria tampan yang sedikit angkuh itu masuk ke dalam rumah yang tampak lebih mirip seperti sebuah mansion megah. Di belakangnya, Frans sang asisten pribadi mengikuti langkahnya dengan patuh.

Beberapa pelayan menyambut dengan hormat. Sedangkan pria dingin ini tetap berjalan tanpa memperdulikan sekitar. Tak lama, ia sampai di sebuah ruangan yang kini menampakan beberapa sosok manusia dengan wajah yang tak kalah angkuh.

Adrian Adhitama, pria dingin yang tampan itu tampak tak suka dengan pemandangan yang baru saja disaksikan.

"Ternyata kau masih memiliki muka untuk datang kesini," suara yang terdengar merendahkan itu berasal dari Max, kakak tiri yang sangat dibenci Adrian.

Max melayangkan tatapan tajam, ia benci melihat adik tiri yang jauh lebih pantas disebut musuh itu kini berada di sebuah ruangan yang sama dengannya. Tapi sepertinya Adrian enggan untuk menanggapi ocehan Max, terbukti saat ia malah memilih untuk duduk daripada membalas perkataan Max.

Max mengepalkan tangannya dengan erat. Seperti biasa, Adrian memang selalu berhasil membuatnya murka. Namun kali ini, dia tak ingin tampak ceroboh. Max memilih untuk beralih memandang ke arah sang pemilik Mansion megah ini, Abraham Adhitama.

"Ayah, aku akan menuangkan air untukmu," Max mulai melancarkan aksinya untuk mencari simpati. Ia jauh berbeda dengan Adrian yang acuh dan bersikap dingin dengan segala hal.

Abraham mengangkat tangan, memberi kode agar Max menghentikan tingkahnya yang tampak memuakkan. Ya! Bukankah penjilat memang tampak menjijikkan?

Gurat wajah Max tampak tegang saat menerima pernolakan, namun sebisa mungkin ia tetap bersikap ramah dan menyunggingkan senyum palsunya.

"Apa kau tidak merindukan Ayahmu ini?"

Adrian menghela nafas berat. Ia membuang muka. Malas menanggapi ocehan yang tak penting. Lagipula, untuk apa dia merindukan sosok pria pengecut yang membiarkan anaknya masuk dalam jeruji besi?

"Heh, kau masih sama seperti dulu--"

"Anda juga masih sama." potong Adrian tanpa menghiraukan ucapan Ayahnya.

Kini manik mata mereka bertemu. Satu hal yang paling melekat diantara keduanya, yaitu warna bola mata serta tatapan tajam yang tampak sama. Mereka berdua memanglah ayah dan anak.

Max mengepalkan tangannya dan menatap tajam. "Jangan kurang ajar, Adrian!"

Max memang selalu ikut campur dalam segala hal. Seolah dia tak ingin membiarkan ayah dan anak ini bisa berdiskusi dengan tenang.

Adrian menaikkan alisnya sebelah, "Kurang ajar? Jangan bicara omong kosong seperti ini, brengsek!"

Adrian dan Max, dua orang yang terpaut jarak 2 tahun itu memang tak pernah akur. Sejak kecil mereka selalu berdebat akan berbagai hal. Bahkan bukan hanya mulut saja yang bicara, namun tangan juga ikut berkerja.

Abraham menghela nafas panjang. Melihat dua putranya yang selalu bertengkar tiap saat membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Bahkan meski sudah dewasa, mereka berdua tak pernah bisa bersatu. Layaknya air dan juga minyak.