Seorang pria terbangun sembari memijat kening yang terasa berdenyut nyeri. Ingatannya kembali bergulir di malam panas yang sempat ia lewatkan semalam. Untuk pertama kalinya, dia memadu kasih bak orang gila yang kesetanan. Ia masih ingat dengan jelas erangan serta desahan yang keluar dari bibir ranum wanita yang berhasil menggodanya semalam. Suara desahan serta gerakan liar wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk bergerak maju mundur hingga mencapai titik kepuasan. Sedetik kemudian ia melirik ke arah samping tempat tidur, tak ada seorangpun.
"Apa mungkin kucing liar itu telah kabur mencari mangsa yang lain?" monolognya lirih. Wajahnya kembali bersemu merah saat kembali mengingat kenangan indah bersama dengan wanita asing yang sempat menghabiskan malam panas bersama dengannya. Meskipun dia telah biasa mengencani beberapa gadis dan membawa mereka ke kamar hotel, namun entah mengapa rasa gairah yang tercipta terasa berbeda. Terasa jauh lebih menggelora dibandingkan dengan biasanya.
Tangannya menyentuh bagian kasur yang kusut. Masih terasa hangat. Jadi kemungkinan besar, wanita yang telah memaksa serta mendorongnya ke atas kasur baru saja pergi beberapa saat lalu.
"Shit! Berani sekali dia pergi tanpa pamit setelah meniduriku, heh?" Pria tampan itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum sedetik kemudian beringsut dari kasur. Namun baru saja berdiri, pandangan matanya justru beralih ke arah nakas, tepat dimana selembar tissue berisi permintaan maaf serta beberapa lembar uang yang ditinggalkan wanita asing semalam.
Dia mengernyitkan dahi dengan mata yang memicing. Meraihnya lalu mulai membaca bait demi bait tulisan acak yang tampak di tissue.
'Maaf untuk kesalahan semalam, aku tidak bermaksud untuk melecehkanmu. Dan ... sebagai permintaan maaf, tolong terima uang bayaran ini!'
Sedetik kemudian, dia terkekeh. Namun suara tawannya itu terdengar menahan rasa kesal. Dia meremas tissue yang masih ada di genggaman tangannya. Rasa murka karena terhina semakin berkumpul saat menghitung jumlah uang tak seberapa.
'Jadi upahku hanya sebesar ini saja?' ucapnya dalam hati dengan senyuman tipis yang tersungging di wajah tampannya yang dingin. Lalu tak lama ia melemparkan uang yang berjumlah tidak lebih dari lima ratus ribu itu hingga jatuh berserakan di lantai marmer yang dingin.
Biasanya, para gadis rela untuk antri hanya agar bisa menaiki ranjangnya. Tapi sekarang?
Dia benar-benar merasa terhina. Semuanya akan terasa jauh lebih baik jika wanita misterius itu pergi tanpa meninggalkan jejak apapun. Tapi apa ini?
"Tak ada seorangpun yang berani menghina Adrian Adhitama, tapi hari ini harga diriku sudah diinjak oleh seorang wanita yang telah meniduriku dengan paksa. Akan kupastikan bisa menemukanmu, sialan!"
***
Sophia termenung di dalam taxi yang terus melaju membelah jalanan. Ia merasa bahwa semua mata tertuju padanya saat keluar dari hotel. Menatapnya dengan tajam dan menusuk, seolah semua orang tengah menghakimi atas kesalahan yang telah dia lakukan semalam.
Dia tidak pernah berniat sekalipun untuk menghianati Suaminya. Apalagi hanya untuk kesenangan duniawi yang sesaat. Andai saja kemarin malam tidak minum terlalu banyak, mungkin ia tak akan dilingkupi dengan rasa penyesalan yang semakin menyiksa secara perlahan.
Sophia tahu dengan jelas bahwa perbuatannya semalam sangatlah fatal. Sekarang dia harus mencari alasan yang tepat agar bisa menutupi kesalahannya.
Sekali lagi, dia kembali menghubungi Jessica. Namun sayangnya gadis itu tak juga menjawab telepon darinya. Bahkan ratusan pesan yang telah terkirim tak kunjung dibaca. Semalam, mereka berdua mabuk berat. Hingga tanpa sadar terpisah satu sama lain dan malah berakhir menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
"Ya Tuhan, aku harap tak akan ada masalah yang terjadi setelah ini."
30 menit kemudian, dia sampai tepat di depan pintu gerbang rumahnya yang menjulang tinggi. Sebelum memasuki area halaman rumah, ia kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
Kini telapak tangannya ditutupi dengan keringat dingin yang terus mengucur. Andai saja ada dua pilihan, mungkin dia akan memilih untuk tidak pulang ke rumah. Ia bukanlah seseorang yang pandai berbohong. Namun sekarang, mau tak mau harus menutupinya dengan harapan agar tak terjadi masalah apapun.
"Ok, tenang, Sophia Vergara! Tak akan terjadi Masalah apapun jika kau berhasil menutupinya dengan rapat, lagipula tak ada siapapun yang tahu tentang kejadian gila malam tadi. Tenanglah!" monolognya lirih sambil berusaha menenangkan diri sendiri.
Ia membuka pintu secara perlahan lalu melongokkan kepala dan menyapu pandang ke seluruh ruangan. Tak ada siapapun yang terlihat, itu artinya dia bisa masuk dengan perasaan yang lega.
"Fyuhhh, syukurlah ...," Perlahan dia mulai menutup pintu. Namun sebelum kekhawatiran di hatinya sirna. Suara bariton yang cukup tinggi berhasil membuatnya berjingkat kaget dengan jantung yang hampir saja copot dari tempatnya.
"Dari mana saja?"
Degh!
Seseorang yang tidak diinginkan kehadirannya saat ini, justru berdiri di anak tangga paling atas sambil melayangkan tatapan tajam. Kini, keberanian yang sejak tadi dikumpulkan langsung terpecah belah. Tak ada satupun yang tersisa. Hanya ada rasa takut dan juga kecemasan yang menghiasi wajah cantiknya.
Radit menuruni tangga menuju lantai bawah dengan wajah yang tampak sangat dingin. Sophia berusaha meneguk salivanya sendiri, namun entah mengapa terasa begitu sulit seolah ada sebuah benda yang mengganjal di kerongkongan.
Kini, pria dingin yang telah menjadi pasangan hidupnya selama lebih dari setahun terakhir ini menatap ke arahnya dengan wajah yang tampak datar. Tatapan dingin dan tajamnya tak juga lekang.
Jujur saja, ia lebih suka mendapatkan amarah dibandingkan harus mendapatkan tatapan tajam yang membuatnya merasa salah tingkah. Meski sosok pria di hadapannya hanya diam tanpa bersuara, namun tetap saja berhasil membuatnya merasa tertekan.
Sophia meremas ujung jarinya dengan gemas. Sekarang, dia bingung dengan alasan yang tepat untuk menutupi kebohongan. Dia bukanlah seseorang yang pandai berbohong, namun disisi lain harus menutupi kesalahannya.
'Sialan! Sekarang aku harus bagaimana, Tuhan?'
"Kamu tidak pulang sejak semalam, Sophia. Dan … kenapa tidak memberikan kabar sekalipun, heh?" Radit menatapnya tajam dengan alis yang naik sebelah.
Sekarang, ia harus memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Sedetik kemudian, sebuah ide hinggap di kepalanya.
"A-aku pergi menginap di rumah Jess--"
"Bohong!" Sebelum kalimatnya selesai diucapkan, Radit telah memotong lebih dulu. Kini tatapan pria itu berubah menjadi jauh lebih dingin dari sebelumnya.
Radit menghela nafas panjang. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu kembali menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan berusaha untuk membohongiku, Sophia ... Apa kamu pikir diriku ini bodoh?"
Sophia menggelengkan kepala perlahan, "Ti-tidak, Radit … bukan begitu maksudku--"
"Lalu apa maksudmu?" Radit kembali memotong ucapannya.
"Menginap di rumah Jessica, heh?" Dia terkekeh geli. Namun suara tawanya terdengar mengejek. "Semalam aku telah mencarimu ke rumahnya, tapi … batang hidungmu tak nampak sedikitpun."