Anya mengganti pakaiannya dengan blus biru muda berlengan tiga perempat. Ia memakai celana denim dengan model boot cut jeans. Rambut Anya hanya dirapikan sekenanya, karena ia tak punya cukup waktu untuk menyisir rambut. Begitu selesai, Rimar langsung menggelandang gadis itu ke ruang depan, ternyata tuan muda menyebalkan sudah ada di sana. Duduk dengan angkuh, sialnya lagi mereka tak sengaja memakai paduan warna yang serupa. Tak ingin terlihat canggung, maka Anya berbisik pada Rimar, mengatakan bahwa ia ingin mengganti pakaiannya. Akan tetapi, wanita itu melarang, karena sudah tidak ada waktu lagi. Anya sudah terlalu lama membuat sang tuan muda menunggu.
"Shit!" bisik Anya dalam hati dengan mata melotot menatap Xavier. Pria itu tampak santai, memandang dirinya dengan bibir melengkung seolah ia adalah pria ramah baik hati.
"Bawa semua barang-barangku ke dalam mobil," suruhnya sambil menunjuk seonggok tas berbagai ukuran yang tergeletak di pintu depan. Anya melongo menyaksikan begitu banyak barang yang harus ia bawa.
"S—semua ini?" tanyanya dengan nada tak terima. Xav melirik dengan sengit, "tentu saja, memangnya kau mau tanggung jawab kalau sampai ada barang yang ku butuhkan tertinggal?"
Anya menggeleng, ia meringis lalu segera membereskan semua. Memasukkan tas-tas itu ke dalam bagasi mobil. Sesaat ia bingung harus duduk dimana, karena pria itu sudah duduk manis di jok belakang. Sedangkan jok depan sudah diduduki seorang lelaki tua bertopi, entah siapa namanya, Anya tak mengenal.
"Masuklah, kenapa kau masih berdiri diam disitu?" tanya Xav ketika memerhatikan gadis itu kebingungan di depan pintu mobil yang masih terbuka.
"Dimana aku harus duduk?" tanya Anya tanpa keraguan sedikitpun.
"Apa kau tidak bisa melihat? Bukankah di sampingku masih ada kursi kosong?"
"Tapi kau tuan muda, sedangkan aku adalah pelayan," sahut Anya seraya mengerutkan dahi.
"Lalu? Apa masalahnya?"
"Kata kepala asisten rumah tangga, seorang pelayan tidak boleh duduk berdekatan dengan tuannya," kata Anya.
"Sudah lupakan omong kosong itu, cepat masuklah, aku tak ingin terlambat."
"Baiklah, kalau itu mau anda, tuan muda ... "
Xavier memberengut saat melihat bagaimana ekspresi mengejek yang Anya tunjukkan saat menyebut dirinya tuan muda.
Tidak seperti pelayan lain yang begitu berharap bisa dekat dengan sang tuan muda, Anya justru menyesal karena telah mau saja menjadi pelayan pribadi bagi Xavier. Ia tak suka berada di dekat pria itu. Entah mengapa, mungkin karena ia lebih suka dengan Noah, tentu saja Noah jauh lebih memikat dan menarik dibandingkan Xavier.
Mobil yang mereka tumpangi pun mulai berjalan meninggalkan pelataran istana besar tersebut. Mata Anya yang sedari tadi muram tak bersemangat, seketika berbinar saat menangkap bayangan seorang pria sedang mendribel bola basket di halaman samping istana. Meski hanya sekilas, bagi Anya hal itu lebih dari cukup. Hanya dengan melihatnya saja membuat mood Anya yang tadinya berantakan menjadi lebih baik.
Xav tampaknya menyadari gelagat gadis di sampingnya, yang kentara sekali kalau ia sedang terpesona dengan karisma sang kakak laki-laki. Xav tidak begitu terkejut, karena memang dari dulu Noah adalah idola dari para gadis. Hampir semua orang mengatakan bahwa dia dan Noah seperti sosok malaikat dan iblis. Tentu saja bukan dia malaikatnya, kelakuan rebel Xavier membuat dirinya di cap sebagai sang iblis.
"Itu kakakku," bisik Xav yang seketika membuat Anya terperanjat. Gadis itu sedang membayangkan jika ia bisa sedekat ini dengan Noah. Tapi sayang, kenyataan menampar.
"Aku tahu!" sahut Anya cepat.
"Kau tahu?" tanya Xav dengan nada menyelidik. Seketika Anya mengutuk mulut tanpa filternya. Dia tak seharusnya mengatakan hal itu terang-terangan seperti ini.
"Maksudmu, kau sudah bertemu dengan kakak ku sebelumnya?" tanya pria bermata amber itu.
"Belum pernah," tegas Anya.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia kakakku?"
Anya memutar otak untuk membuat alasan masuk akal, agar pria di sampingnya itu segera alihkan pandangan menyelidik dari dirinya.
"Kalian mirip!" jawab Anya sekenanya, yang kontan mengundang tawa renyah Xavier.
"Kau jangan membual Nona Smith, mirip? Mirip katamu?" Xavier masih terbahak, mungkin bibir pria itu bisa menutupi kemurungan dengan gelak palsunya. Namun, iris mata amber-nya tak bisa berbohong, ada luka yang menyeruak jelas kala ia mengatakan hal itu.
"Tuan, apa kau ingin sarapan dulu?" celetuk laki-laki berjenggot ubanan di depan. Seketika hening, tawa Xav berhenti.
"Tidak perlu, langsung bawa aku kesana saja."
Anya melirik pria yang kini alihkan pandangan ke arah luar, entah apa yang kini ada di dalam pikiran Xav. Yang jelas Anya merasa tak enak. Ia merasa telah mengatakan hal yang menyinggung perasaan pria itu.
"Kita akan menginap," ujarnya tiba-tiba.
"Menginap? Kenapa kau—"
"Anya Smith! Jaga bicaramu pada tuan muda, kau harus sopan kepadanya," pekik lelaki di kursi penumpang depan. Membuat Anya bungkam seketika.
"Dari tadi aku membiarkan mu, kukira kau bisa tahu tempatmu. Karena kau sudah mulai tak terkendali, maka aku harus mengambil tindakan," imbuhnya yang seketika membuat wajah gadis itu memerah. Ia merasa malu, sekaligus jengkel. Malu karena telah melakukan kesalahan yang membuat ia dicerca. Dan kesal karena kini ia harus menghormati pria di sampingnya. Pria yang baginya sangat menyebalkan.
"M—maafkan aku ... " katanya menunduk.
"Apa kau tidak tahu siapa aku?" tanya pria di depan tanpa alihkan pandangan dari jalanan yang kini mereka lewati.
"Tidak, maaf aku tidak mengenal anda."
"Aku adalah Frans D'Viore, aku adalah ayah baptis sekaligus pembimbing belajar tuan muda Xavier."
"Maafkan aku, Tuan D'Viore. Aku tidak bermaksud—"
"Satu hal yang harus kau ingat, kau adalah pelayan. Kau harus punya tata krama kepada tuanmu. Jangan ulangi ini lagi, apa kau paham, Nona Smith?" tanya pria itu dengan penekanan di setiap katanya.
Xavier melirik Anya yang tampak canggung.
"B—baik, sekali lagi maafkan aku."
"Kau hanya akan menjadi pelacur jika bukan karena tuan muda menolongmu."
Anya terhenyak ketika mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Frans D'Viore. Anya meremas tangan, rasa pahit seketika menyeruak di tenggorokannya. Ia tak menyangka jika Xav mengatakan ini kepada pria itu.
Gadis itu menundukkan kepala, memandang sneakers-nya.
"Kau hanya gadis miskin yang kebetulan—"
"Paman sudahlah! Cukup! Jangan perpanjang lagi," sahut Xavier.
"Baik jika itu mau anda, tuan," timpal Frans.
Beberapa menit setelahnya, suasana di dalam mobil menjadi hening. Anya berusaha menahan letupan emosi yang membuat kelopak matanya basah. Ia mengarahkan pandangannya ke luar. Dalam hati ia terus meracau, mengutuk pria bernama Xavier itu. Jika saja bisa, ia ingin meloncat keluar dari dalam mobil itu saja. Tak peduli jika harus terluka atau tertabrak kendaraan lain. Itu terasa lebih baik daripada dia harus dihina-hina seperti ini.