"Ya, bahkan sifat kalian sangat bertolak belakang," ucap Anya seraya berjalan mendekat ke arah dimana Noah kini sedang berdiri.
"Anya!" pekik sebuah suara dengan nada mengentak. Suara yang berasal dari Xav, suara yang menyebalkan karena datang di saat yang tidak tepat.
"Sebaiknya kau cepat kembali ke ruangan itu, sebelum adikku mengamuk," kata Noah sembari tersenyum, pria itupun berbalik lalu berjalan melewati koridor yang menghubungkan dua dapur tersebut. Bayangannya menghilang hanya dalam waktu beberapa detik. Meninggalkan Anya yang terpaku menatapnya tanpa berkedip.
"Nona Smith! Tuan muda memanggilmu!" pekik Chef Gio yang tiba-tiba saja muncul dari balik ruang pendingin. Anya tidak menyadari sejak kapan pria bertubuh tinggi besar dengan badan penuh tato itu disana.
Tanpa merespon apa yang Chef Gio katakan, Anya langsung berlari kembali ke ballroom, tempat dilaksanakannya pesta.
Sekembalinya ia disana, Xav sudah berdiri di tengah ruangan. Mata lelaki itu menatapnya tajam, Anya merasa terintimidasi sekaligus tidak nyaman dengan caranya.
"Dari mana saja kau?" tanya Xav dengan suara dingin bergetar. Mata bulat beriris serupa tembaga itu memandang lelaki di depannya dengan tatapan penuh tanya. Entah kenapa kini di benak Anya tiba-tiba merasuk jutaan tanya mengenai bagaimana sifat lelaki ini.
"Aku tanya padamu, dari mana saja kau?!" teriak Xav mengulangi pertanyaannya.
Anya terkesiap, terbata-bata, dia pun menjawab, "a—aku, aku, d—dari dapur."
"Apa yang kau lakukan disana?" tanya Xav mengerutkan dahi.
"Aku ke kamar mandi, kenapa kau menanyakan hal itu padaku? Apa untuk ke kamar mandi saja aku membutuhkan ijinmu?" ketus Anya memberanikan diri. Ia kembali sadar, bahwa ia tak boleh terlihat lemah dimata Xavier. Agar pria arogan itu tak seenaknya menginjak-injak dirinya.
Anya kira Xav akan marah, tapi justru lelaki itu tersenyum. Dia kemudian menepuk tangannya beberapa kali, untuk mengarahkan semua pandangan orang-orang di ruangan itu kepadanya.
"Teman-teman, maaf, pesta kali ini aku hentikan sampai disini saja. Terima kasih atas kehadiran kalian, dan selamat malam!" kata Xav yang kontan membuat seisi ruangan gaduh, lalu satu per satu dari mereka pun meninggalkan tempat itu. Tentu saja setelah berpamitan kepada sang empu rumah. Hanya selang beberapa menit ruangan itu telah kosong, hanya menyisakan Anya, Xavier dan Angel.
"Kenapa kau masih berdiri disana?! Cepat bersihkan ruangan ini," kata Xav seraya menatap Angel, gadis itu terlihat cukup syok dengan apa yang Xavier lakukan. Menghentikan pesta meriah ini begitu saja, padahal ia ingin mencuri kesempatan untuk mendekati salah satu teman majikannya yang bernama Nathaniel.
Anya pun segera membantu Angel yang terlihat tak senang dengan sikap sang tuan muda yang terbilang cukup kasar.
"Anya Smith!" panggil Xav, saat gadis itu hendak membantu Angel membersihkan gelas wine yang bertebaran di sana-sini.
Anya pun menoleh, dengan tatapan penuh tanya.
"Kau, ikut aku sekarang!" seru Xav dengan suara dingin, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Diam-diam membuat Anya bergidik ngeri melihatnya.
"A—aku?" Anya bertanya hal yang sepertinya sudah sangat jelas sekali.
"Sekarang!" pekik Xav dengan menyentak, membuat Anya dengan cepat mengikuti langkah kaki pria itu menapaki tangga. Sedangkan Angel memerhatikan mereka dari kejauhan, hatinya dongkol sekali. Karena kini dia harus membersihkan semua kekacauan di ruangan itu, sendirian.
***
Langkah Xavier terhenti di lantai tiga, ia berdiri di salah satu kamar. Kemudian ia menyeluk sesuatu dari dalam sakunya, sebuah kunci. Entah apa yang ada di dalam pikiran Anya, yang jelas kini, dia berdiri jauh dari Xav. Ia sengaja menjaga jarak, karena merasa ketakutan dengan sikap yang ditunjukkan pria itu.
"A—apa yang akan kita lakukan di kamar ini?" Betapa bodoh pertanyaan yang Anya lemparkan pada Xav. Membuat pria itu menerbitkan satu senyum sinis, karena pemilihan bahasa Anya yang kurang tepat.
"Kita lakukan? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?" balik Xav sembari memutar anak kunci. Selang beberapa detik pun, pintu terbuka. Sang pria muda itu tanpa aba-aba, langsung menarik lengan Anya dengan sedikit kasar. Memaksanya masuk ke dalam. Sontak, Anya pun berusaha berontak dan meronta.
Brak!!
Pintu kamar pun ditutup kembali oleh Xavier, pria itu berdiri menghalangi pintu kayu berwarna kecoklatan tersebut. Anya membelalakkan matanya, keringat dingin perlahan basahi tubuhnya. Ia pun mulai melangkah mundur, saat Xav mulai bergerak maju mendekatinya.
"A—apa yang kau lakukan? Jangan macam-macam denganku!" ketus Anya berusaha terlihat kuat, meski suaranya bergetar. Pria tampan di depannya justru tersenyum, tanpa berniat hentikan langkah. Ia terus bergerak maju, dan Anya perlahan mundur hingga tubuh kecilnya membentur dinding di belakangnya.
"Tolong jangan perkosa aku!" seru Anya sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kontan, ucapan Anya tersebut membuat Xavier terpingkal-pingkal. Pria itu menertawakan Anya hingga memegangi perutnya.
"Apa? Aku? Memperkosamu? Apa kau pikir aku sudah gila, mengorbankan masa depan cerahku hanya untuk meniduri gadis sepertimu?"
Anya yang tadinya terlihat ketakutan, kontan menurunkan tangannya. Kini mata bulat Anya menatap langsung ke mata tajam berwarna seolah tembaga milik Xavier.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Xav kini mulai melucuti pakaiannya. Ia membuka satu per satu kancing kemeja yang ia pakai, di depan Anya. Membuat gadis itu menutup kedua matanya rapat-rapat.
"Apa yang kau lakukan, Xav!"
"Panggil aku tuan muda Xavier," bisik Xavier dingin. Kentara sekali kalau ia tidak suka dipanggil hanya dengan nama saja oleh pelayan.
"Tuan muda Xavier, apa anda gila?" pekik Anya.
"Tidak, aku sangat waras." Xav kemudian memelorotkan celananya. Sehingga kini hanya tersisa boxer saja. Tubuh atletis, dengan otot dada yang menyembul seksi, serta sedikit bulu-bulu halus di dada terekspos jelas.
"Buka matamu!" perintah Xav.
Anya menggeleng, ia tak mau membuka matanya. Ia tak mau melihat apapun pemandangan yang terpampang itu.
"Aku bilang, buka matamu, Anya!" paksa Xav, namun gadis di depan kukuh tak mau.
"Selama kau masih telanjang seperti ini, aku tak mau membuka mataku!" sergah Anya.
"Ha? Telanjang? Siapa yang telanjang? Aku tidak telanjang gadis bodoh!" rutuk Xav tidak terima.
"Jangan bohong!" tuduh Anya.
"Aku tidak bohong, kau pikir aku pole dancer, sehingga telanjang di depanmu? Aku masih waras, Anya. Kau pikir aku akan membiarkanmu melihat Mr. Hotties-ku?" Mendengar racauan Xav, tiba-tiba membuat wajah Anya memerah. Ia malu setengah mati. Disini ia mulai meragukan kewarasannya sendiri. Ia tak tahu siapakah yang sebenarnya gila disini, Xavier ataukah justru pemikirannya?
Perlahan Anya membuka mata, nafasnya seketika tertahan saat melihat penampakan Xav sekarang. Dadanya berotot, seksi, entahlah Anya tak tahu harus menggambarkan seperti apa. Yang jelas tubuh Xav cukup untuk membuat darah Anya berdesir cepat.
"Bantu aku menggosok punggung!" perintahnya, membuat gadis di depannya kembali dibuat syok dan terheran-heran.
"A—apa kau s—serius? Ini tidak ada di job desk-ku!" Anya mengatakan itu dengan nada menolak.
"Job desk? Kau pikir, kau sedang bekerja di kantor?" balik Xav telak. Anya menelan ludah, ia kalah.