"Kenapa kau masih diam disana? Ayo ikut aku sekarang!" titah Xav pada gadis yang kini sedang mengutuk dirinya dalam hati.
Tanpa keraguan, Xav pun langkahkan kaki menuju kamar mandi. Ia kemudian menggeser pintu kamar mandi, dan seketika pemandangan kamar mandi sebesar flat milik Rose, terpampang di depan mata Anya.
Tahu kalau Anya masih diam terpaku, tanpa menggeser titik koordinat-nya sedikit pun, Xav pun merasa kesal dan menghela nafas dalam-dalam sesaat sebelum melengkingkan suaranya.
"Anya Smith! Cepat masuk ke kamar mandi sekarang!"
"A—aku? Masuk ke kamar mandi denganmu?!" Anya tampak tak terima.
"Apa kau ini idiot? Aku memberimu tugas untuk menggosokkan punggungku, lalu kau kira dimana seharusnya hal itu dilakukan? Di ruang makan atau ... " Xav tampak tertawa dengan nakal.
"Di atas ranjang? Jangan bermimpi Anya Smith! Aku tak mungkin memintamu tidur denganku, seandainya bila kau adalah gadis terakhir di galaksi, aku akan lebih memilih mati dalam keadaan perjaka, " kekeh Xavier yang semakin membuat bibir Anya mengerucut.
Dengan hati dongkol hingga serasa ingin mencakar dan menjambak pria di depannya, gadis itupun mengikuti langkah pria itu masuk ke dalam kamar mandi. Dengan sangat santai dan tanpa rasa bersalah, Xav pun duduk di pinggiran bathtub.
"Yang kecil itu adalah handuk yang akan kau gunakan untuk menggosok punggungku, oh ya jangan lupa ambil minyak zaitun disana, ada di belakang lemari kaca itu," kata Xav seraya menunjuk ke lemari kaca besar. Anya sangat enggan mengatakan apapun, ia hanya mengangguk dan segera menyelesaikan tugas konyol ini secepatnya.
Anya mulai membalurkan minyak zaitun dengan aroma yang sangat harum itu ke punggung Xavier. Kulit lelaki itu berwarna tan, punggungnya bidang dan berotot.
"Pijit yang benar!" titah Xav dengan nada menyebalkan. Pria itu ternyata tak hanya memintanya menggosok punggung, akan tetapi juga meminta dirinya memijit.
"Anya ... " panggil Xav saat sadar bahwa gadis itu sama sekali tak bersuara setelah masuk ke kamar mandi.
"Hmmm ... " sahut Anya dengan malas. Ia sama sekali tak tertarik untuk bercakap-cakap dengan Xavier. Ia hanya ingin ini segera selesai, agar ia dapat segera keluar dari kamar ini.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Xav.
"Lantas kau mau aku berbicara apa?" ketusnya.
"Hmmm, kau bisa mengatakan padaku tentang asal usulmu, atau mungkin cerita tentang bagaimana bisa kau berakhir di tempat itu."
Sejenak Anya terdiam, baru saja ia teringat kembali akan hal tersebut. Mungkin ia tak akan selamat dan berakhir di meja autopsi sebagai mayat tanpa identitas, jika saja pria menyebalkan ini tak menolong dirinya.
"Asalku?" Anya mengulang kata tersebut dengan nada bertanya. Xav pun mengangguk, "apa kau tidak tahu darimana asalmu?"
"Tentu saja aku tahu," kata Anya.
"Aku berasal dari perdesaan. Aku yakin, kau pasti tak akan tertarik mendengar kisah hidupku. Jadi lupakan saja, okay ... selesai. Aku sudah selesai menggosok dan membersihkan punggungmu, sekarang tolong ijinkan aku keluar dari sini. Aku yakin kau tidak akan mandi depanku kan? Tuan muda...."
Xav tersenyum dan menoleh pada gadis yang berdiri di belakangnya, "pergilah, cepatlah tidur, aku akan membutuhkanmu besok pagi-pagi sekali," katanya.
Anya hanya menjawab dengan anggukan malas.
"Apa aku boleh mencuci tangan di wastafel ini? Aku tidak mau mengotori semua pintu dengan tangan berminyak ini," jelas Anya.
"Tentu saja." Xavier kemudian berdiri, menatap gadis yang sedari tadi gemetaran entah karena apa. Tanpa menoleh ke arah Xav lagi, Anya pun segera melangkah pergi, secepat mungkin. Namun belum sempat ia melangkahkan kaki keluar kamar mandi, Xav tiba-tiba saja mengucapkan sesuatu.
"Terima kasih," ujar Xav. Anya kembali menoleh ke arah pria itu dan menjawabnya dengan anggukan.
***
Anya merasa baru saja tertidur saat suara Rimar memanggil namanya sembari mengetuki pintu kamar bertubi-tubi. Anya segera melompat dari kasur busanya, dan membuka pintu cepat-cepat meski dalam keadaan setengah sadar.
"Gadis malang, bersiap-siaplah. Tuan muda sudah menunggumu!" pekik Rimar.
"Bersiap-siap? Sekarang?"
"Tentu saja sekarang, masa besok," Rimar mendorong Anya ke dalam kamar dan segera meminta gadis itu membersihkan diri.
"Dia mau mengajak ku kemana, Rimar?" tanya Anya. Wanita tua itu menggeleng.
"Aku tidak tahu, sebaiknya kau tanyakan kepada tuan muda saja."
"Kalau dia membawaku pergi bersamanya, lalu siapa yang akan membersihkan semua toilet dan kamar mandi?" tanya Anya sesaat setelah keluar dari kamar mandi dan segera mengambil seragam maid di lemari.
"Jangan memakai seragam itu!" pekik Rimar cepat hingga mengagetkan Paris yang masih lelap di ranjangnya.
Anya melirik wanita itu penuh tanya.
"Lalu?"
"Tuan muda meminta mu memakai baju kasual," jelasnya seperti tergesa-gesa. Anya melongo, bingung, ia sama sekali tak punya baju kasual yang 'pantas'. Saat para penagih hutang itu 'menculiknya', ia sama sekali tak membawa sepotong pakaian layak pun. Meski sebenarnya ia tak mempunyai pakaian layak juga.
"Anya cepatlah, apa yang kau pikirkan? Tuan muda sud—"
"Aku tak punya pakaian," jawab Anya cepat.
"Ikut aku sekarang, kenapa kau tak bilang kepadaku dari tadi?" Rimar kemudian menarik Anya. Rimar mengajak gadis muda itu berjalan cepat menuju sebuah bangunan yang terpisah dari bangunan utama. Dimana kamarnya terletak.
"Aku rasa baju Aurelia pasti cukup untukmu," gumam Rimar tanpa memperhatikan wajah bingung Anya. Sesampainya di depan bangunan paviliun tersebut, Rimar dengan cepat membuka pintu kayu bercat putih itu.
"Ini adalah kamarku," kata Rimar sambil mempersilahkan Anya untuk duduk di kursi kayu.
"Duduklah dulu, aku akan mengambil pakaian yang ditinggalkan Aurel," katanya.
Tak berapa lama, Rimar kembali dengan membawa sebuah koper besar berwarna coklat tua. Dengan kesusahan ia menyeret koper itu. Melihat hal itu, Anya segera beranjak dari duduknya dan membantu Rimar.
"Sebentar biar ku ambilkan kunci kopernya, sepertinya tertinggal di kamar Aurel," kata Rimar dengan sikap yang terlihat sedikit aneh di mata Anya. Namun, gadis itu sama sekali tak berani membuka suara. Seraya menunggu Rimar kembali, ia kemudian memutar pandangan matanya meneliti setiap sudut rumah dengan dekorasi serba putih itu. Ada beberapa rak kayu tinggi yang dihiasi dengan potret-potret yang telah dibingkai dengan rapi. Tertarik untuk melihat foto siapa saja yang ada di sana, Anya tanpa sadar pun langkahkan kakinya menuju rak tersebut.
Sesampai di depan rak kayu, ia terdiam, menatap potret masa muda Rimar. Ada beberapa potret yang menunjukan Rimar sedang bersama kedua tuan mudanya, dan satu potret wanita tua itu sedang bersama seorang gadis cantik berambut panjang. Gadis dengan senyum yang indah.
"Apakah itu Aurelia?" batin Anya.
"Disitu kau rupanya, sekarang cepatlah ambil pakaian kasual yang menurutmu cocok. Ganti pakaianmu sekarang, kau tentu tak ingin membuat tuan muda menunggu lebih lama kan?" ucap Rimar dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bibi? Apa kau menangis?" tanya Anya bingung.
"Menangis? Tidak, mataku tadi tak sengaja terkena debu saat mencari ini," katanya sambil mengacungkan kunci koper.
"Cepatlah, tidak ada waktu untuk bercakap-cakap, kau bisa gunakan kamarku untuk ganti baju," jelas Rimar.
Anya segera bertinggung di depan koper, membukanya perlahan, dan mulai memilah baju yang pas untuk ia pakai. Surprisingly, baju-baju di dalam koper itu ternyata masih sangat bagus-bagus dan layak pakai.