Chereads / BREAK THE RULE OF FRIENDSHIP / Chapter 30 - Kebenaran Yang Terungkap

Chapter 30 - Kebenaran Yang Terungkap

Matahari sudah menyalahkan sinarnya, pertanda pagi sudah menyapa semua makhluk di dunia ini. Raya yang semalaman suntuk tidak tertidur karena pergelangan tangan kanannya masih terasa sakit, baluran minyak panas sudah beberapa kali ia oleskan dengan harapan akan meringankan rasa sakitnya tetapi tidak kunjung mereda.

Terdengar suara ibu sudah sibuk memasak sarapan untuk kami santap, nasi goreng kampung dan telur ceplok sudah terlihat di atas meja makan.

Disela-sela memasak ibu memanggil satu persatu nama anaknya, meskipun hari ini tidak sekolah setidaknya bangun pagi dan sholat subuh adalah kewajiban mereka.

Kai sudah lebih dahulu bangun dengan piyama gambar Doraemon masih melekat di tubuhnya, rambutnya yang acak-acakan menandakan tidur nyenyaknya semalaman.

"Kak, bangunin Raya dulu sana," perintah ibu karena sedari tadi ibu memanggil namanya tidak ada jawaban dari kamarnya.

Kai tanpa menolak langsung bergegas dari duduknya, melangkahkan kakinya ke kamar Raya. Pintunya terbuka sedikit, baru saja Kai ingin memegang gagang pintu terlihat di sela-sela pintu Raya sedang memutarkan pergelangan tangannya dengan raut wajah yang kesakitan.

Kai menyipitkan matanya memastikan bahwa adiknya memang benar sedang mereganggkan pergelangan tangannya berkali-kali.

"Ray, disuruh ibu turun ke bawah. Sarapan udah jadi," ucap Kai ketus.

Raya tidak menjawab ucapan kakanya, ia langsung menghentikan gerakan tangannya lalu berdiri merapihkan rambut serta wajahnya yang semalaman tidak tidur.

"Eh anak ibu udah pada kumpul. Sarapan dulu ya," ucap ibu.

Saat Raya sedang sibuk menata piring dan sendok Kai tiba-tiba saja berceletuk.

"Tumben hari minggu di rumah. Nggak kelayaban?"

Mendengar celetukan kakanya Raya hanya bisa mendengus kesal.

"Huss, udah makan dulu. Oh ya, Raya kamu jadi ke pak RT untuk ngurusin berkas?"

Kai kebingungan ketika ibu melontarkan pertanyaan itu.

"Iya bu, senin pulang sekolah kesana. Hari minggu pak RT juga liburan,"

"Ngapain?" tanya Kai.

"Itu kemarin Raya menang kompetisi apa gitu, Alhamdulillah dapet beasiswa sampai kelas 3 SMP," jelas ibu.

Seketika Kai tertegun terpana dengan penjelasan ibu, ia benar-benar tidak menyangka bahwa adiknya yang selama ini ia anggap hanya bermain ternyata bisa mendapatkan beasiswa.

Keheningan terjadi beberapa detik setelahnya, Kai menatap mata Raya dalam-dalam seperti ada penyesalan di dalam pikirannya tentang sang adik. Jika di dunia ini ada alat untuk menarik perkataan mungkin hal itu yang akan Kai lakukan untuk saat ini. Ia tidak pernah membayangkan betapa pedasnya ucapan yang pernah ia berikan kepada sang adik.

"Congrast," ucap Kai dingin.

Kalimatnya menyetubuhi Raya dengan paksa, ucapan selamat yang diutarakan dengan seadanya masuk ke dalam hatinya dengan baik. Ia tahu betul meskipun kakaknya mengucapkan dengan seadanya tetapi sangat tulus di dalam hatinya.

"Kakak juga kemarin menang lomba dance. Dapet uang Rp10.000.000. Alhamdulillah, anak ibu pinter-pinter. Makasih ya," ungkap ibu.

Pagi ini terasa sangat hangat, sudah lama tidak ada perbincangan membicarakan tentang kehidupannya masing-masing. Rasa syukur seolah menyelimuti hati semuanya.

* * *

"Kamu kok nggak bilang kalo ada kak Pratama di rumah?" tanya Kai kesal saat baru bertemu dengan Diga di taman.

"Nggak penting."

Kak Pratama sedang tidak berdinas seminggu ini karena ia mengambil cuti untuk mengurus kedai barunya. Ya. Kak Pratama memang sedang merambah ke arah bisnis, ia seolah tidak puas dengan karirnya di militer.

"Kedai barunya mau buka. Enak dong, Ga kalo mau makan tinggal minta," goda Kai meskipun ia tahu bahwa pasti Diga tidak senang mendengar itu.

"Eh, Ga. Mau tau nggak si Raya ternyata dapet beasiswa dari sekolahnya, kata ibu dia menang lomba apa gitu. Keren ya," ungkap Kai lagi.

Diga menghembuskan nafasnya panjang seolah ada kelegaan di dalam dadanya ketika mendengar Kai memuji adiknya, karena belakangan ini ia selalu saja kesal dengan tingkah laku sang adik.

"Nah, kan. Aku juga bilang apa, nggak semua yang Raya lakuin kamu bilang jelek. Mungkin aja kemarin dia pulang sekolah selalu sore karena lagi perisapin itu. Emang kadang pikiran kita lebih jahat dari apa yang terjadi sebenarnya," ucap Diga menusuk relung hati Kai.

Lalu, pikirannya melayang penyesalan itu semakin kuat Kai rasakan. Ia semakin menyalahkan dirinya atas ucapan kasarnya dan prasangka buruk yang ia pikirkan tentang sang adik.

Dering telepon berbunyi, ponsel yang ada di saku kanan Diga bergetar dengan kuat terlihat nama sang ibu di layar ponselnya.

"Berapa banyak bu?"

"Oh iya, yaudah aku juga lagi sama Kai nanti sekalian keluar," jawab Diga sepertinya ibunya menyuruh untuk membelikan sesuatu.

"Kai, beli nasi padang dulu buat tamu ibu," ajak Diga sambil membenarkan sepedahnya.

Kai yang tidak membawa sepeda dibonceng oleh Diga.

Sesampainya di rumah makan Padang, terlihat sosok perempuan di tempat cuci piring menyerupai Raya. Lagi-lagi Kai menyipitkan matanya sambil menyenggol tangan Diga yang sedang sibuk memilih lauk yang dihidangkan.

"Ga, liat. Itu Raya bukan, sih?" tanya Kai memastikan sambil menunjuk ke arah tempat cucian piring.

Diga langsung mengalihkan pandangannya, melihat dan sedikit melangkahkan kaki mendekat ke arah tempat cucian piring.

"Raya?" panggil Diga.

Raya yang sedang sibuk dengan tumpukan piring yang berserakan kaget melihat Diga yang sedang menyapanya.

Genggaman piring kotor serta spons yang penuh dengan busa sabun seolah melemah, piring itu langsung jatuh dengan cepat ke bak yang berisi air.

"Eh kak," jawab Raya pelan.

Kai kemudian mendekat memastikan bahwa perempuan yang sedang berbincang dengan Diga adalah adiknya Raya.

"Dek? Kamu ngapain di sini?" tanya Kai dengan nada yang sangat penasaran.

Setelah banyak perbincangan akhirnya Raya mengaku bahwa dirinya sudah lama bekerja di rumah makan ini, berharap pendapatan dari ia bekerja paruh waktu menjadi tukang cuci piring menutupi uang SPPnya.

Penyesalan semakin melekat pada benak Kai, penyesalan akan sebuah pikiran yang kotor terhadap adiknya. Pikiran tentang bagaimana sang adik tidak pernah mengerti dengan keadaan keluarganya yang sekarang.

Kesedihan semakin melekat di dada Kai. Ia langsung mengulurkan tangannya ke pundak sang adik yang sedang berdiri di sampingnya, mengelus kepalanya dengan lembut tidak terasa tetesan air mata jatuh di pipinya.

"Maafin aku ya Raya. Maafin aku," ucap Kai dibarengi dengan suara isak tangis yang tak kunjung sudah.

"Maafin aku juga kak, udah selalu ngelawan dan nggak pernah dengerin omongan kakak. Kalo aku jujur mungkin hubungan kita nggak akan merenggang kayak gini," ungkap Raya suaranya juga terbawa sesak karena tangisannya.

Diga hanya bisa mematung melihat sahabatnya dengan adiknya sudah kembali membaik, seperti hujan yang merindukan puisinya kini puisi itu sudah dibawakan dengan merdu.

Sekarang hanya Diga dengan kakaknya yang sepertinya tidak mungkin sehangat itu hubungannya.