"Sebelumnya pekenalkan bu, saya Susanto dan Adi. Begini, saya ingin memberi tahu bahwa pak Surya sedang terkapar di depan statsiun bu, sepertinya terlalu kebanyakan minum," jelas dua laki-laki yang masih berdiri tegak di depan pintu rumah Kai.
Mereka bertiga langsung membulatkan matanya lebar-lebar, kaget mendengar berita bahwa sang ayah sudah terkapar.
"Ya Allah, Gustii!! Terus gimana keadaannya sekarang, pak?"
"Sudah di bawa ke rumah sakit bu," ujar salah satu laki-laki.
* * *
Semilir angin menemani Kai dan Raya yang sedang mencari ruangan tempat ayahnya di rawat, rasa cemas menghantui meskipun ada kekesalan di dalam dada mereka masing-masing.
Kai yang sangat menunjukan kekesalan itu di sepanjang koridor rumah sakit terus mengucapkan sumpah serapah kepada sang ayah.
"Kenapa sih ayah tuh nggak bisa diem aja di rumah kalo emang gak ada kerjaan. Kalo kayak gini tuh nyusahin, kasian ibu. Lagi-lagi ibu yang harus ngurusin semuanya," ujar Kai.
Raya hanya diam sambil melekatkan tangannya pada jaketnya.
"Kenapa hidup jadi kayak gini banget sih!"
Setelah mendengar ucapan sang kakak atas kekecewaannya dalam menanggapi hidup, akhirnya Raya membuka suara.
"Kak aku ngerti kalo nggak ada satu orang pun yang mau hidup kayak gini. Tapi please, di saat kayak gini bukan untuk mengeluh. Kaka harusnya lebih dewasa, lebih bisa untuk mengontrol diri sendiri," ujar Raya ketus sambil menatap mata Kai dengan tatapan sinisnya.
Seketika batin Kai langsung seperti tertusuk oleh perkataan adiknya. Ia menyadari sikapnya memang seperti anak kecil yang tidak bisa mengetahui situasi kapan untuk marah dan kapan untuk mengeluhkan kehidupan.
Jam semakin menunjukan waktu pagi, semilir angin semakin membuat jari-jari siapapun bertaut untuk mencari ke hangatan.
Kai dan Raya sudah di depan pintu UGD terlihat ayahnya sedang berbaring tidak berdaya, tidak lama mereka masuk terdengar suara ibu sedang berbicara dengan sang perawat.
"Udah beres bu?"
Ibu hanya menganggukan kepalanya pelan, terlihat raut wajahnya yang sangat mencemaskan pasangan hidupnya ini. Meskipun setiap hari ibu selalu memarahi ayah karena ke tidak jelasan hidupnya ibu masih tetap setia di kala ayah tidak berdaya.
Menjadi paham bahwa setia bukan hanya dinilai saat bahagia melainkan saat perjuangan itu diperlihatkan. Kita harus cukup tahu beberapa orang mengeluarkan emosinya untuk menolong orang yang mereka sayang dari keterpurukan yang ada, meskipun amarah bukanlah bentuk kasih sayang yang diinginkan oleh siapapun.
Dokter menghampiri kasur yang sedang ditiduri oleh ayah, sambil membawa stetoskop di lehernya ia berusaha meraba dada ayah pelan.
Tidak lama dokter memeriksa ayah, ia langsung memberitahu apa yang terjadi oleh ayah.
"Maaf bu, saya ingin sedikit menjelaskan perihal yang terjadi oleh suami ibu. Suami ibu terkena serangan jantung mendadak akibat minum alkohol yang terlalu banyak. Jadi saya sarankan untuk beberapa bulan ini diperhatikan saat mengkonsumsi alkohol," ujar dokter memberikan saran.
Ibu hanya mengangguk meskipun ia tidak tahu bisa mengatur suaminya untuk berhenti mengkonsumi alkohol atau tidak.
"Baik, dok. Terima kasih."
* * *
"Oi, ngelamun aja," kejut Diga sambil menuntun sepedahnya. Ia belum tahu bahwa ayah Kai masuk ke dalam rumah sakit.
"Ayah masuk RS, Ga."
Diga langsung menghentikan langkahnya, terkejut dengan ucapan Kai.
"Hah? Kapan? Kok aku nggak tau?"
"Semalem, aku pusing banget Ga," ungkap Kai lemas.
Mereka berdua akhirnya melipir ke salah satu penjual nasi uduk favoritenya mengingat jam masih menunjukan pukul 06.15.
"Bu, nasi uduk dua. Pake jengkol yang satu tambahin pake tahu."
"Sambelnya banyakin ya bu," teriak Kai.
Sambil menunggu nasi uduk disajikan, Diga terus menanyakan perihal ayah Kai yang masuk rumah sakit.
"Gimana sih kok bisa?"
Kai menceritakan semua kejadian yang telah menimpa ayahnya tadi malam, Diga hanya bisa tertegun mendengarkan cerita Kai, tangan kanannya menopang kepalanya berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Kai.
"Ya ampun. Kamu kenapa nggak telpon aku?"
"Ya, udah malem, Ga. Aku nggak mau ngerepotin kamu sama keluarga kamu."
Diga sedikit kesal dengan kata terakhir yang keluar dari mulut sahabatnya ini, ia merasa bahwa sepertinya tidak harus ada pemikiran seperti itu antara mereka berdua dan keluarganya.
"Kai, kalo kamu ngomong kayak gitu aku jadi semakin ngerasa nggak pernah guna jadi sahabat. Kamu selalu nolong aku setiap kali aku lagi kesusahan, tapi setiap kali kamu susah aku nggak pernah ada di sisi kamu," Diga mulai bersuata tentang tidak keterlibatannya pada masalah Kai.
Kai mengelus rambut Diga kasar, mengacak-ngacak rambutnya dengan senyuman yang khas.
"Haha. Nggak apa, keluarga kamus sering bantu aku. Kamu juga sering bantuin aku cuma kamu nggak sadar aja."
Mereka berdua saling bergantian memasukan nasi uduk yang sudah diberikan oleh penjual, sambil menikmati udara pagi yang segar mereka memikirkan tentang persahabatannya.
* * *
"Anyway, kamu pulang sekolah ada rencana kemana?" tanya Sherina sesaat Kai menaruh tasnya serta botol minum berwarna biru di meja.
Kai hanya diam memikirkan rencana apa saat pulang sekolah, beberapa menit ia menepuk jidatnya kencang.
"Ke rumah sakit," jawab Kai.
Sherina langsung memunculkan wajahnya tepat di depan wajah Kai dengan penuh kebingungan menerka siapa yang sedang sakit.
"Ibu kamu masuk rumah sakit?"
Kai menggelengkan kepalanya pelan seperti ada ke tidak relaan untuk memberi tahu pada teman dekatnya bahwa ayahnya sedang sakit.
"Ayah aku, Rin. Ayah aku masuk rumah sakit."
Sherina langsung memegang erat pergelangan tangan Kai berusaha untuk memberikan empati sesaat ucapan itu di lontarkan oleh teman sebangkunya.
"I'm so sorry to hear that," ucap Sherina masih mengelus tangan kanan Kai.
"It's ok. Udah mendingan kok."
Suara bel masuk kelas membuat obrolan mereka tertunda akan Kai yang masih menginginkan keluhannya di dengarkan, tentang rasa sedih yang ingin di tepuk.
* * *
Malam datang membawa Raya untuk membawakan pakaian bagi sang ayah, serta beberapa buah untuk segera memulihkan tubuhnya yang lemah. Matanya kuyu menatap wajah sang ayah yang kelu, kebingungan memikirkan bagaimana caranya mencium tangan ayahnya karena sudah hampir 3 tahun ini hubungannya semakin memburuk.
Mungkin ini waktunya ego harus diturunkan, meredam segala emosinya kepada sang ayah. Diambilnya punggung tangan sang ayah yang masih terbaring di tempat tidur rumah sakit, ada getaran yang sudah lama tidak Raya rasakan air matanya menetes membasahi pipinya yang dingin.
"Raya rindu, yah," ucap batin Raya.
Tangannya sibuk mengelap air mata yang jatuh karena terdengar suara perawat yang datang untuk mengecek kondisi sang ayah.
"Bapak sudah baikan. Kemungkinan besok sudah bisa pulang, tetapi menunggu konfirmasi dari dokter jantungnya," ujar perawat sambil tersenyum seadaanya.
Raya menganggukan kepalanya pelan.